10. Selebrasi dan kenangan

377 60 5
                                    

Mengangkat gelas berisi Barley beer yang kesekian, lidah Saga seolah belum puas merasakan lagi dan lagi nikmatnya minuman berperisa pahit dan getir itu. Hingga mentari sore di penghujung senja mulai unjuk kebolehan di hadapan Saga dan membuatnya berpikir untuk berhenti lalu pulang.

Namun hanya sesekon, ia langsung mengurungkan niat.

Bukan jalan pulang tujuannya setelah ini. Saga tak seharusnya kembali sebelum ia menuntaskan janji yang selalu ia tepati setiap tahun, di setiap peringatan kematian gadis itu.

"Hey," suara halus dari perempuan di sampingnya membuat Saga terkesiap. Sinar mentari sore itu menyinari wajah Reina. Rambut panjang sebatas punggung yang ia warnai dengan sentuhan blonde seolah menyatu dengan kulit putih susunya. Menciptakan perpaduan indah.

Saga tersenyum tipis meski sinar di dua bola matanya perlahan meredup dan mungkin dalam hitungan beberapa puluh detik ke depan, dia bisa saja menjatuhkan kepalanya ke atas meja.

Reina memegangi dua sampai tiga botol beer kosong, menandakan sudah berapa lama Saga menikmati kesendiriannya dengan menenggak habis minuman itu. Terdengar ledekan dari bibir Reina, mentertawainya. Namun Saga seolah tak acuh dan masih bisa mentolerir gelagatnya sebab Reina sore ini terlihat sangat cantik.

"Gue tahu lo bakalan ke sini setiap tanggal tiga belas Juni. Dan, yeah," gadis itu terkekeh kecil sambil mengulurkan tangannya ke atas punggung tangan Saga. Mengusapnya beberapa kali. "Udah ke makam?"

Saga mengangguk.

"Ketemu orang tuanya?"

Gelengan kepala Saga adalah jawabannya, membuat bibir Reina langsung menurun ke bawah. "Kenapa belum? Lo selalu ngunjungi mereka setiap kali Jeanna ulang tahun."

"Belum gerak maksud gue. Biarin gue napas dulu kali ya. Gue cuma punya tangan dua. Nggak bisa multi asking. Lagian jarak dari Bougenville ke jalan Fatmawati juga jauh."

"Iya Sagaaaa. Iya.." Reina tersenyum geli, menarik tangannya untuk menuang bir ke gelas kosong. "Minta ya?"

"Dikit aja."

"Yey, ini cuma sebelas persen. Lo aja udah minum berapa banyak gelas tapi belum mabok juga kok."

"Siapa bilang?" bantah Saga cepat. Ia menarik dagu Reina mendekat kemudian mengecup pelan bibirnya. "Nih. Gue udah mabok."

Reina menggigit bibir, ada rasa pahit terselip di sela-sela ciuman mereka tadi. Sial. Cewek itu mengerang. "Kok nggak enak sih? Nggak mau ah."

Botol beer di tangannya segera ia singkirkan jauh-jauh. "Gue mau minum jus aja deh kalau gitu."

Reina baru saja hendak bangkit berdiri, namun Saga menahannya sebentar. "Apa?" gadis itu mengerutkan kening.

"Rein.."

"Hmm?" tatap mata Reina melembut, dia tahu sebentar lagi Saga akan mengatakan sesuatu tentang apa yang bergejolak di dalam dadanya. Sebuah perasaan bersalah yang nyaris setiap tahun ia ungkapkan seolah ada sebuah kotak suara di kepalanya yang sengaja diciptakan untuk menyimpan penyesalan mendalam. Dan sialnya, suara-suara menjengkelkan itu akan keluar begitu si pemilik merasa lelah dan ingin bermuram murja.

"Seandainya.. Seandainya gue bilang ke dia tentang semua perasaan gue, apa itu cukup untuk menambah alasan dia tetap bertahan hidup?"

Reina bereaksi, ia menumpuk telapak tangannya kembali bertumpu di atas tangan Saga. Menggenggamnya erat.

"Dont be too ridiculous, Baby. You weren't the superhero at that time."

"Gue cuma pengen dia tahu gue sayang dia, Rein. Cuma itu."

GUIDE TO YOUR HEART ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang