9. Kepingan memori

337 54 5
                                    

Suara panggilan telepon yang terus berdering dari dalam tote-bag tidak cukup menggerakkan hati Seline untuk menjamah ponselnya saat itu juga. Ia biarkan suara tersebut menginvasi keheningan di dalam angkutan umum yang ia naiki hingga tak berapa lama, satu dari sekian banyak penumpang memerhatikan Seline dan bertanya. "Suara hape Mbak ya?"

Yang ditanyai terpaksa mengangguk.

Seline mengeluarkan hape bukan untuk menerima panggilannya, tapi untuk mencabut kartu provider dan membuat suara berisik itu langsung berhenti. Dengan begitu Bianca tidak bisa menghubunginya lagi.

"Diangkat?" tanya Saga pada Bianca yang cemas akan ketidakhadiran Seline, padahal tadi dia cuma pamit mau ke toilet.

Bianca menggeleng, "Nomornya malah nggak aktif lagi masa?"

"Udah lo samperin belum ke toilet?" mungkin aja dia masih di sana."

"Udah," Bianca menjawab yakin lalu menggigit kuku jarinya, mulai merasa bingung. "Apa jangan-jangan dia diculik orang ya?"

Saga tertawa pelan mendengar dugaan nyeleneh dari cewek di sampingnya itu. "Yakali di tempat se rame ini dia diculik? Cari mati banget itu si penculiknya," Saga terdiam sebentar sembari menatap ke arah lain lalu menjumpai sepasang netra Reina meliriknya sinis. Mungkin karena sejak tadi Saga terus mengobrol dengan Bianca alih-alih dirinya.

"Kayaknya temen lo itu udah balik duluan deh ke rumah. Mungkin karena ada urusan yang mendadak dan dia nggak sempet lagi ngasih tau lo. Coba berpikiran positif aja dulu, Bi. Lo jangan panik." Saga melanjutkan.

"Ih, gue nggak panik tau. Syukur kalau emang Seline ada urusan mendadak yang bikin dia terpaksa balik tanpa pamit dulu. Gue takut aja kalau dia kenapa-kenapa."

Tertarik dengan kekuatiran yang diungkapkan cewek itu, Saga bertanya. "Lo sama dia itu sepupu apa bukan?"

"Bukan." Bianca menjawab cepat.

"Terus?"

Mendongak ke samping sambil menatap sepasang bola mata Saga yang berwarna kecoklatan, cewek itu mengernyit, "Terus apa?"

Saga memasukan dua tangan ke saku sembari mengendikkan bahu. "Ya gue heran aja ngeliat lo kuatir banget sama dia, udah kayak kakaknya."

"Kan tadi gue udah bilang, gue tuh kasihan sama dia."

Seakan nggak sepenuhnya setuju, Saga buru-buru menimpali. "Kalau cuma kasihan sama dia kayaknya nggak logis aja sih, Bi. Nggak semua orang tuh suka lho dikasihani. Karena perasaan kayak gitu justru malah bikin orang itu ngerasa hidupnya sangat menderita. Gue berpendapat begini bukan karena gue mau nyalahin alasan lo. Oke, lo kasian sama dia. Terus apa? Lo mau sukarela jadi temen Seline walaupun lo tau dia ngebosenin? Dan lo akan berusaha ngenalin Seline ke dalam lingkup circle lo dengan harapan dia bisa berubah?"

Bibir Bianca mengkerucut, ditatapnya lurus-lurus cowok tinggi itu bersamaan dengan alis yang terangkat. "Maksud lo apa sih?"

"Nggak maksud apa-apa. Gue cuma mikir, sifat Seline yang pemalu kayak gitu aja udah aneh banget buat gue. Di usia segini, usia yang bukan anak kecil lagi, harusnya dia nggak perlu pake takut dan menjauh segala dari orang-orang."

Bianca diam dan memerhatikan Saga lekat-lekat seolah dia menanti kalimat cowok itu selanjutnya.

Saga menggigit bibir bawah, satu tangan dibalik kantung jinsnya beralih ke kepala, menggaruk bagian itu karena gatal. "Pertama kali gue ketemu sama dia, gue emang ngiranya Seline bisu. Tapi lama-lama gue mikir, cara dia menolak kontak mata sama orang-orang yang dia temui di sekitarnya, atau ketika dia lebih milih berkomunikasi melalui perantara hape— padahal kenyataannya dia bisa ngomong itu kan agak aneh dan patut dicari tahu juga alasannya. Iya nggak tuh?"

GUIDE TO YOUR HEART ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang