5. Tentang Seline

413 59 5
                                    

Pagi-pagi sekali, Fanny sudah bangun untuk membuat sarapan anaknya. Ini baru jam setengah tujuh, seragamnya bahkan belum berganti menjadi blazer atau mungkin blouse. Masih berupa daster bercorak bunga-bunga Daisy.

Seline nggak suka ribet kalau sarapan. Apa saja makanan tersaji di atas meja pasti dia santap. Sesekali dia pernah minta dibuatin bubur abalon, itupun karena dia sering nontonin drama Korea 1988, selebihnya sih dia nurut. Dan Fanny selalu ngerasa bersyukur punya anak yang nggak banyak maunya dalam hal makan.

Karena setahu Fanny selama menjadi ibunya sejak delapan belas tahun lalu, Seline anak yang jarang bicara untuk menyuarakan keinginannya. Sedari kecil dia dikenal pemalu dan menjadi lebih pemalu apabila bertemu banyak orang.

Dulu, hal tersebut nggak pernah Fanny pikirkan sebagai salah satu tanda bahwa ia mengalami indikasi gangguan bicara. Baginya anak pemalu bukanlah penderita gangguan, ia terus mengembangkan asumsi demikian hingga waktu mengajak Fanny melihat anaknya beranjak remaja, mulai mengalami menstruasi pertama, dan bahkan mendapati rona cerah terpancar di pipi karena dia mulai menyukai laki-laki.

Lambat laun Fanny mulai merasa cemas. Seline selalu nampak diam dan nggak mau bicara kalau bukan dengan anggota keluarganya. Jika hanya sekadar menjawab pertanyaannya, Seline masih bisa. Tapi tidak dengan pertanyaan yang datang dari teman sebaya, guru di sekolah, atau orang-orang yang dia temui di jalan.

Seorang psikolog yang pernah ia tanyai pernah berkata, tak banyak anak di dunia mengalami gangguan bicara, perbandingannya satu banding seribu anak. Sementara untuk kasus Seline dimana ia mulai dikenal pemalu sejak masih kecil hingga sekarang usianya menginjak delapan belas tahun. Kasus gangguan bicara Seline termasuk sulit untuk diubah.

Satu hal yang Fanny tanamkan dalam benaknya mengenai kondisi Seline saat ini. Yakni, dia selalu berpikir dan mengolah informasi bahwasanya Seline seperti ini mungkin saja disebabkan oleh hancurnya rumah tangga yang Fanny bangun bersama mantan suaminya.

Sejak Seline kecil dia sering melihat pertengkaran orangtuanya tepat di depan matanya sendiri. Kekerasan, teriakan, serta tindakan abusive dari kedua orang tuanya menjadi pemicu utama mengapa Seline semakin lama semakin diam dan menolak untuk bicara.

Sesekali Fanny akan menangis kala mengingat memori kelam tersebut. Dan kendati hubungannya bersama sang mantan suami sudah tak lagi terjalin erat—dalam artian telah berpisah tanpa sekalipun bertemu. Fanny tetap saja merasa sedih atas kenyataan yang ia hadapi di depan mata.

Apa yang salah? Tidak tahu pasti. Mereka hanya masih terlalu muda untuk memulai rumah tangga yang harmonis. Masalah ekonomi, isu orang ketiga, serta komunikasi yang tak hangat ialah alasan utama mengapa mereka harus bercerai. Kalau tidak, mental Seline akan semakin terpuruk.

Setidaknya, mereka sudah hidup tenang walau hanya berdua. Fanny bisa memberikan segala yang Seline mau tanpa harus memikirkan keterbatasan ekonomi.

Fanny mengetuk pintu dengan kepalan tangannya. Anak perempuan di dalam sana memang tak menyahut jika dipanggil, dia lebih kepada tersenyum lalu bangkit dari kasurnya.

"Mama," ucap anak itu dengan mata berbinar-binar cerah.

Setiap kali panggilan itu keluar dari mulut anaknya, Fanny selalu ingin menulis caption lebay di sosial medianya. There's a cutie baby in the house, and she calls me Mama, semacam itu.

"Sarapan, Nak. Mama bikinin pancake sama saus karamel kesukaan Seline. Mau sarapan sama Mama ya?"

Seline mengangguk lalu mengekori langkah kaki mamanya ke ruang makan.

Fanny menyiram saus karamel di atas pancake lalu Seline mengambil garfu sambil menyuap satu potongan kecil pancake ke dalam mulut. Rasanya manis, Mama pandai membuat menu ini. Tidak hanya itu, beliau juga tidak begitu buruk dalam hal memasak menu makan siang maupun makan malam.

GUIDE TO YOUR HEART ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang