20. Pelukan hangat

390 58 19
                                    

Untuk kali pertama dalam hidup Saga, dia nggak tau mau ngapain di hari super sibuk yang disebut senin. Sejak bangun pagi dan diberi tahu kalau jadwal kuliahnya kosong sebab ada event penting di fakultasnya dan mereka wajib berpartisipasi. Saga justru mangkir dari kewajiban tersebut dan menikmati waktunya sendirian bersama gitar akustik kesayangan.

Waktu menunjukkan pukul lima sore dan dia nggak kunjung keluar kamar. Mami mengetuk pintu setelah berbulan-bulan nggak pulang ke rumah, namun meski wanita itu membawa oleh-oleh seharga milyaran sekalipun, yang Saga butuhkan bukan itu.

"Saga? Nggak mau peluk Mami? Ayo dong keluar, kata Mbak Ari kamu nggak keluar kamar dari tadi siang ya?"

"Nggak kok," terdengar sahutan dari dalam. Saga baru saja selesai mandi dan sejenak mencantelkan handuk ke leher sambil berjalan menuju lemari dan mengambil satu kaus tanpa lengan. "Tadi siang udah keluar beli bakso yang lewat di depan rumah. Udah kenyang, Mi. Nggak usah kasih aku makan lagi!"

"Itu kan tadi siang sayang. Ayo keluar dulu! Udah lah kalau putus tinggal cari yang lain. Anak Mami ganteng gini ndak akan susah cari wanita lain toh? Bener ndak?"

"Apaan sih? Orang kagak putus juga!" Saga membantah, ia berdiri di depan lemari sambil memakai kausnya kemudian menyusuri pintu kamar dan membukanya hingga bisa bertatap dengan sang ibu. "Nggak ada yang putus cinta, Mam. Sok tau!"

"Ya terus kenapa ndak keluar-keluar? Biasa ne Mami datang langsung dipeluk, dikasih cium, dimanja-manja. Ini ndak, aku koyok ndak punya anak lanang ae."

Serentetan kalimat maminya luar biasa membuat Saga semaput. Sepertinya karena pertengkaran di restoran waktu itu membuat sang ibu merasa bersalah dan datang ke rumah tepat selepas ia menyelesaikan perjanjian bisnisnya di Singapore. "Mau peluk aja kan?" Saga membuka lebar-lebar pintu kamar lalu merentangkan tangannya.

Perawakan sang ibu yang tinggi semampai menjadikan posisi mereka sejajar. Hangat pelukan ibu nggak bisa tergantikan dengan apapun barang termahal di dunia. Sekalipun hanya bisa ia rasakan sesekali, namun Saga sudah cukup merasa tenang.

"Saga sudah setinggi ini ya? Mami nggak percaya bisa besarin kamu sampai kayak gini. Tanpa Mami selalu awasi, kamu nyatanya bisa tumbuh dengan baik. Nggak pernah protes sama kasih sayang Mami yang kadang kurang. Nggak pernah marah walau Mami jarang pulang ke rumah. Selalu ngelakuin terbaik biar nggak malu-maluin orang tuanya. Sayang banget Mami cuma punya satu Saga di dunia ini."

Mami melepas pelukannya. Sedikit condong ke atas, mata keduanya lagi-lagi bertemu. "Maafin Mami ya? pertengkaran kemarin akan jadi yang terakhir. Mami nggak akan berantem lagi."

Lebih-lebih tersentuh akan ucapan ibunya, Saga justru tergelak. "Kata orang, namanya suami istri itu pasti bakalan ada berantemnya. Nggak mungkin harmonis terus."

Saga mengatubkan bibir, tangannya saja yang bekerja di sela-sela telinga Mami yang terhias anting-anting mutiara. "Harusnya janji untuk nggak berantem di depan aku. Capek banget, Mi, nungguin kalian diem."

"Iya," Mami mengangguk cepat. "Janji, nggak akan gitu lagi."

Berdamai dalam situasi ini menjadi pilihan utama cowok itu. Suara ponselnya yang terletak di atas kasur tiba-tiba berdering ribut, Saga kontan memutar kepalanya. "Udah ah. Geli banget peluk-pelukan segala. Kayak ABG aja."

Mami tersenyum lebar. " Yaudah, angkat gih teleponnya."

Sepersekian detik berikutnya, presensi wanita itu dengan cepat berlalu dan turun ke lantai bawah.

Saga masuk kembali ke dalam kamar dan langsung menjamah ponselnya. Nama Reina terpampang di layar. Semula tarikan napas bekerja lambat di paru-paru Saga. Ia kurang berminat menjawab panggilan itu. Kalau tidak karena ia akan diteror terus-terusan, mungkin sudah dia silent deh ini hape.

GUIDE TO YOUR HEART ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang