29. Jika hanya

347 54 60
                                    


Soundtrack ; If we can't see tomorrow - Han Seungwoo 💙🎶



↪↩

Melihat anak perempuannya masih setia uring-uringan di atas kasur bersama bantal guling dalam pelukan sembari menghadap ke arah lemari pakaiannya, hati Fanny sebagai ibu serasa tercabik halus. Seline bilang dia sudah punya teman, tapi kenapa masih saja sibuk sendirian?

Anak ini...

Fanny menggeram tertahan. Ia berdiri dengan anggunnya di depan pintu. "Sendirian aja anak gadis Mama, nggak malam mingguan?"

Seline buru-buru membalikkan posisi wajahnya ke arah sang ibu sambil memiringkan badan dan menyanggah tangan di kepala. "Emangnya ini hari minggu, ya, Ma?"

"Saking jomblonya anak gue sampe nggak sadar hari ini hari apa? Hadeuh..." Fanny garuk-garuk kepala, ia merasa gatal meskipun nggak ada satupun ketombe rontok di bahunya.

"Buat Seline semua hari itu sama kok, Ma," ia tersenyum sesudah mengatakan itu seolah nggak ada hal yang patut ibunya kuatirkan tentang kesendiriannya.

Fanny menarik diri lebih mendekat, telapak kakinya menyatroni kasur Seline sambil duduk bersila. "Anak Mama..."

"Iya?"

"Mama nggak minta Seline  sering-sering keluar kok, tapi masa iya nggak ada yang ngajakin anak Mama jelong-jelong malam ini? Gimana dengan jalan sama Kak Daniel?" senyuman Fanny tahu-tahu mengembang lebar, Ia menjetikkan jari. "Ah, Mama inget dia mau ngajak kamu ke festival kuliner di kota tua. Ayo! Pergi aja sama Daniel, mau ya? Mama telepon dia sekarang!"

Kebetulan Fanny mengantongi ponsel di saku piyamanya, segera dia ambil dan mencari nomor kontak Daniel diantara ratusan kontak yang tersimpan apik. Ponsel tertempel di telinga nggak lama setelah ia berdebat cukup sengit dengan sang anak yang mati-matian menolak sarannya.

"Mama!!!" Seline berusaha merebut ponsel ibunya, tapi Fanny terlalu gesit untuk dikalahkan.

"Hallo Daniel? Dimana? Oh, udah mau nyampe rumah? Kebetulan tante punya anak yang sibuk ngelamun di rumah. Kesian belum ada abang-abang yang ngapelin dia. Kamu katanya mau ngajakin dia ke festival kuliner, bener? Oh gitu.. Bagus dong?! Ajak Seline ya? Bawa dia keliling Jakarta, bosen Tante ngeliat dia di kamar mulu. Iya-iya.. See you, Niel."

Fanny menutup telepon dengan cengiran lebar menghiasi kedua pipinya. Terbayang muka lesu Seline yang selalu marah dan geram apabila mendengar nama Daniel di agung-agungkan mamanya seolah kewajiban anak itu ialah menjadi sosok penghibur Seline di kala suka maupun duka. Padahal melihat wajah Daniel saja Seline sudah takut, apalagi betulan jalan-jalan berdua.

Singkat cerita, Daniel betulan datang ke rumahnya. Seline mengenakan dress kuning selutut dan sepatu converse putih yang terlihat trendy di kakinya. Tidak lupa rambutnya hari itu sengaja diikat cepol asal-asalan oleh sang ibu biar cepat.

"Pake helm, ya, Lin?!"  Daniel menyodorkan satu helm berwarna hitam. Seline cemberut. "Nggak mau ah, helm kamu mirip kayak punyanya om-om tukang ojek pengkolan."

"Mana ada," Daniel tertawa geli. "Ini tuh helmnya mahal tau. Seharga motor."

Mata bulat Seline membesar. "Masa sih?"

"Lah iyalah, untuk bisa dapetin helm ini, gue harus beli motornya dulu. Nah, abis beli motor baru deh di kasih gratis dua helm yang sama."

Otak Seline cenderung berpikir rasional, dia nggak serta merta kagum akan harga helmnya dan lebih tertarik memikirkan mengapa pihak perusahaan motor ini bisa dengan anehnya menjual helm seharga sama seperti motornya. Bukankah itu kebodohan?

GUIDE TO YOUR HEART ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang