28. Sebuah rasa

377 56 36
                                    

Mentari di siang hari terasa semakin terik menyengat kulit putih Saga yang tengah berjalan santai dari minimarket kecil di seberang jalan menuju ke blok rumah nomor lima.

Sambil menjilat es krim rasa coklat yang basic di tangannya, Saga melangkah gontai lurus ke depan. Lalu ia berhenti tepat ketika dilihatnya cewek berbaju pink casual dipadukan jins high waist abu-abu serta berkaca mata bulat, berdiri di depan pagar rumahnya.

"Bi, mau kemana?" Saga berlarian mendekat, masih mengemut es krim.

Bianca yang gugup sebab tersadar akan sosok Saga berdiri di sebelah kanannya langsung awas. Takut-takut dia melirik ke dalam poros lubang hitam menjerat di kedua bola mata Saga yang indah.

"Ngg, Gue mau ke rumah dosen," jawabnya tanpa menoleh.

"Mau es krim nggak?" Saga menyodorkan sebungkus es krim rasa yang sama, berharap diambil. Namun Bianca yang memang tengah berjuang melupakan rasa sukanya pada cowok itu menjadi semakin nggak karuan.

Haduh tolonglah jantung, jangan berdetak cuma karena cowok itu bersikap manis. Es krim lima ribuan doang lo bisa beli kok, Bi. Iya, lo pasti bisa kok, bisa.

"Gue tadi abis dari alfamidi lho. Baru gue beli itu es krimnya. Masa nggak mau?"

Tangan Bianca terangkat, bukan untuk mengambil es krim yang tersodor melainkan untuk menghalau sinar mentari menerobos ke matanya. "Gigi gue suka ngilu kalau makan es krim, Ga. Mending lo makan dua-duanya aja deh." Bianca beralasan.

"Yah.." bahu Saga merosot, dia masukkan kembali es krim tersebut ke dalam plastik. "Udahlah kalau emang nggak mau. Gue anterin aja gimana?"

"Hah?"

Bianca melotot.

Dimana korelasinya coba dengan nolak es krim pemberian dia sama nganterin ke rumah dosen gue?

"Apaan?" akhirnya Bianca menoleh, mata silindernya bertemu milik Saga yang normal dan tak bercelah.

"Tuh kan nengok juga lho akhirnya." Saga cengengesan. Dia membuka bungkus es krim baru, membuang semua sampah plastik yang ada di tangannya ke keranjang sampah di dekat pagar. "Gue nggak ada kerjaan nih. Jalan-jalan doang ke mini market, tapi cuma ketemu es krim yang gue pengen. Sisanya nggak ada. Untung lo masih di rumah, belum pergi. Jadi gue bisa jalan sama lo dong, buat ngilangin bosen. Hehe."

Rentetan ucapan Saga sebetulnya bisa Bianca percayai andai dia memang terlahir sebagai Saga yang kurang banyak bergaul dan nggak punya temen. Tapi untuk kenyataan yang tak sebanding dengan apa yang terlihat, rasa-rasanya, Saga cukup mengada-ada.

Mana mungkin pribadi seperti Saga nggak punya temen dan menjadi gabut.

"Kenapa bisa lo nggak punya kegiatan apa-apa di hari kamis begini?"

"Ya bisa lah, kan gue nggak kuliah."

"Di DO?"

"Astaga mulut ya, Bi?!" mata sipit cowok itu melebar. Senyumnya tersungging tipis. "Nggak ada gue di DO. Orang emang nggak ada jadwal kok."

"Lo tuh kuliah apaan sih kok nggak ada jadwalnya?"

Sedetik setelah tembakan tanya melesat, Bianca tiba-tiba menyesal. Karena pertanyaan tersebut malah membuat dia tanpa sadar membuka obrolan baru dengan cowok itu. Padahal, Bianca ingin menghindari.

Ah dasar.

"Ya kuliah, emangnya ada aturannya kalau kuliah itu harus setiap hari?"

Bianca menjawab dengan cengiran."Nggak juga sih." melirik ke jam tangan di pergelangan, Bianca memutuskan beranjak pergi. "Eh gue cabut dulu ya, Ga?!"

GUIDE TO YOUR HEART ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang