15. Kontradiksi

356 56 7
                                    

Sebenci-bencinya Seline dikasihani, dia jauh lebih membenci sebuah keadaan atau situasi yang mengharuskannya berbicara dan meminta tolong kepada orang lain. Apalagi orang itu ialah mereka yang berada di kelasnya sendiri—yang tak lain berupa sekelompok remaja seusia dengannya namun memiliki perbedaan mencolok dari segi pergaulan, fashion, serta cara pandang mereka terhadap perkembangan zaman serba modern ini.

Seline tidak punya orang di dekatnya selain Bianca. Dia juga tidak bisa berbicara selayaknya orang normal yang sewaktu-waktu akan berada pada posisi dimana dia butuh bantuan orang lain, dan mendapat perlakuan baik dari mereka.

Tidak. Segera selepas ketua kelasnya mengumumkan bahwa kelas listening dilaksanakan di gedung UPT bahasa inggris yang mana gedung tersebut letaknya sangat jauh sekali. Seline cuma bisa termenung di kursinya sambil mengemasi buku-buku ke dalam tas.

"Ih, mager banget tau nggak sih? Kenapa Mam Hilda pindahin ruang belajar kita ke gedung itu? Mana hari ini panas terik pula. Hadeuh, males bingit ya Tuhan!!"

Suara Raya menggerutu menarik perhatian beberapa penghuni kelas di tengah perjalanan mereka keluar pintu. Sembari menambah polesan lip cream ke bibirnya, gadis itu membuat tiga teman perempuannya nungguin dia selesai bersolek sampai lima belas menit lamanya. "Bentar, girls. Gue touch up dulu."

"Ray, gue tunggu di parkiran!" seru Alisa, sohibnya. Raya lagi nggak fokus saat itu karena jerawatnya di bawah dagu tiba-tiba muncul yang membuat dia langsung panik.

"Ray, masih lama? Alisa udah ke parkiran tuh!"

"Tungguin gue. Kalau mggak mau nungguin ntar gue teriakin kalian semua biar pada malu!"

Lia memutar bola matanya, bersandar di pintu sambil melipat tangan di dada. "Iya deh iya... Cepetan makanya!"

Perhatian Lia pindah ke Seline, matanya menyipit tatkala menyadari gadis itu sibuk termenung sendirian padahal semua orang sudah berlalu dari kelas. Nggak ada Bianca sih. Makanya dia nggak punya temen, pikir cewek itu, lalu berbelas detik setelahnya ia berlalu dari pintu tak lama selepas melihat Raya sudah selesai akan urusannya.

"Yuk Beb!" Raya menggandeng tangan Lia dan berjalan seiringan ke parkiran.

Sekarang cuma ada Seline sendirian duduk bersama angin dan debu yang berterbangan. Bianca hari ini izin nggak masuk kuliah karena sakit, maka dari itu Seline nggak punya siapa-siapa untuk diajak bicara. Apalagi mau nebeng ke gedung UPT sama-sama. Seingat Seline, orang-orang di kelas nggak ada yang menyukainya kecuali Bianca. Mereka kurang respek terhadap Seline dan cenderung bodoh amat. Mau bicara apa kagak itu terserah lo, paling lo sendiri yang rugi. Begitulah yang Seline sering dengar dari belakang.

Seline berdiri seraya mengamit tas ke bahu. Berhubung Seline nggak bawa kendaraan pribadi, alhasil dia cuma berharap bus kampus masih beroperasi dan mau mengantarnya ke gedung UPT.

Di depan pintu ponselnya bergetar, notif pesan dari Bianca menyembul di permukaan layar.

Bianca Anindita:
Sama siapa ke gedung UPT?

Seline mengigit bibir. Sedikit garis senyum terulas di sana. Bagaimana Bianca tahu kalau Seline nggak punya siapa-siapa untuk dimintai tolong? gimana bisa?

Jesseline Arthadinata:
Naik bus.

Hanya jawaban kurang menyakinkan yang bisa dia tulis. Seline nggak yakin Bianca percaya.

Bianca Anindita:
Beneran?
Kalau lo sendirian, gue chat Saga aja gimana?
Biar dia yg nganterin lo kesana

Seline membaca pesan itu berulangkali. Perlu lima detik untuk Seline betulan percaya makna ketikan itu berarti dia akan naik mobil Saga untuk kedua kalinya. Ah, ini aneh. Seline sedang tak ingin berjumpa dengan cowok itu. Saga terlihat tidak suka akan dirinya sejak pertemuan mereka beberapa hari lalu.

GUIDE TO YOUR HEART ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang