22. Bagaimana rasanya

343 56 22
                                    

Genangan air hujan menghantam deras sewaktu mereka masih dalam perjalanan pulang, akibat dari itu kendaraan kesayangannya terlihat sangat kotor, terutama di bagian depan.

Ketika sampai di rumah lalu memarkirkan mobil ke bagasi, Saga turun dengan wajah super jutek. Namun cukup terbilang ajaib ketika hanya dalam sekejap, kekesalan Saga bisa tiba-tiba hilang begitu ia melihat Seline turun ke jalan dengan kaki telanjang.

"Handuk, Ga. Dingin," kata Seline, sambil menahan gigi-gigi atas bawahnya bergetar hebat. Semua yang dia kesalkan betul-betul hilang tertimpa efek gemas melihat Seline. Wah, bisa imut juga ya ini si adik kecil? Saga tertawa.

"Masuk, Lin, ujannya makin gede." Saga merangkul pundak Seline dengan sebilah tangan. Kala berdekatan seperti ini, tinggi Seline dilihat-lihat sudah melewati batas telinga cowok itu, membuat Saga memandanginya takjub. Padahal Seline kan masih delapan belas tahun ya? Apa dia memalsukan umur?

Ah, bedebah. Saga geleng-geleng kepala, berusaha melenyapkan sekelumit pemikiran anehnya tentang Seline. Segera selepas memasuki area di dalam rumah, Saga mendudukkan gadis itu ke sofa.

"Mau teh anget?" Ia menawari sambil mencari handuk kecil di salah satu lemari yang berdiri di dekat ruang tamu. Biasanya Mbak Ari meletakkan handuk juga di sana.

Menemukan satu handuk berwarna pink pastel kemudian diterima dengan baik oleh si perempuan bersama satu senyuman simpul.

Saga kembali ke sisi Seline dan mempertanyakan jawaban dari pertanyaan yang tadi dia ajukan. Seline masih kedinginan, bibirnya tak kuasa mengeluarkan banyak kosa kata.

"Aduh, takut gue kalau lo demam!" Saga berdiri dari duduknya yang semula berlutut di kaki Seline kemudian mengelilingi segala penjuru rumah. "Mbak Ari jangan pake earphone terus, hey! Gue manggil nih!"

Selang lima detik salah satu pintu di lantai dasar terbuka lebar. Perempuan berusia sekitar tiga puluh tahunan lebih berlarian mendekat.

"Lho, Mas Saga?! Aduh maaf-maaf, Mbak kira kamu nggak pulang ke rumah."

Bola mata Mbak ari langsung tertuju ke Seline, dan dia panik. "Sopo iki Mas? Pacar? Atau simpenanmu?"

"Eh mulut ya, hati-hati kalau ngomong, enak aja simpenan gue." omelnya.

"Terus sopo, Mas?"

"Udah ih banyak banget nanya ya! Bikinin Teh aja dong, Mbak. Sama bawain makanan apa gitu yang hangat, mana tau dia laper."

Dia yang dimaksud tentu saja Seline. Tatkala mengingat ucapan Saga sewaktu mereka berada di mobil- yang mengatakan dia kepingin makan mie sama telor. Seline tiba-tiba menagih. "Kan kamu bilang mau Mie?" Seline berujar masih dengan bibir bergetar, meski sudah tak separah tadi.

"Hah?"

"Saga bilang mau makan mie tadi. Aku inget."

"Oh iya?" Saga menjentikkan jarinya, pura-pura ketawa. "Lo juga mau?"

"Iya." katanya, manggut.

Garis di dahi Saga lagi-lagi berkerut samar. Sambil dalam hati membatin.

Kok dia jadi nurut gini ya? Apa karena hujan, makanya otak dia baru aja di refresh sama Tuhan?

Anjir.

Saga geleng-geleng. Mikir apaan sih gue? Buang-buang tenaga aja.

Balik ke Mbak Ari dan kebingungan beliau akan perintah si anak majikan. Sebelum perempuan itu betulan beranjak ke dapur, Saga memperbarui pesanannya. "Nah Mbak. Dua mangkuk indomie dikasih telor. Bikinin, nggak pake lama. Kalau lama gue pecat nih!" ancamnya, sok galak. Padahal belum tentu ucapannya tersebut terealisasikan. Sebab Mbak Ari merupakan pelayan rumah kesayangan sang Mami yang sudah mereka anggap sebagai keluarga sendiri, sampai-sampai dia di sekolahkan ke jenjang perguruan tinggi.

GUIDE TO YOUR HEART ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang