SURAT MERAH

67 7 8
                                    

- Salma -

__________________

Ku tutup mushaf yang baru saja ku baca. Aku berdiri menuju lemari, mengambil sesuatu di bawah pakaian yang tertumpuk. Sebuah amplop merah, surat Kak Hanif yang Ia titipkan pada Rifki. Ingin ku buka, tapi entahlah Aku masih ragu.

Ku pilih duduk di tepi ranjang sambil memegang amplop itu.

"Apa ku buka saja sekarang?" tanyaku dalam hati.

Baiklah, bismillah. Aku mulai melepas pelan-pelan perekatnya. Butuh waktu beberapa lama, karena aku tak ingin ada sisinya yang robek.

Amplop merah itu sudah terbuka sempurna, ku lihat ada kertas putih di dalamnya. Ragu kembali menggelora, tanganku ragu untuk mengambilnya. Ini hanya sebuah surat, tapi kenapa Aku memperlakukannya seperti sebuah pusaka yang akan hancur jika ku sentuh?

Aku mulai mengeluarkan kertas itu, selembar kertas yang terlipat dua. Ku mencoba membuka lembarannya. Ahh ... rasanya jantung ku di pompa dua kali lebih cepat.

Tulisannya mulai terlihat, rangkaian kata yang tertulis rapi dan indah. Di atas kertas putih itu, tertulis....

Bismillah
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Untuk Salma,

Teramat....

"Salma." Tiba-tiba Ibu memanggil. Ku sembunyikan cepat surat yang ku pegang ke bawah bantal.

"Eh, Ibu. Ada apa?" tanyaku saat Ibu sudah masuk.

"Makan yuk, Bapakmu udah nunggu tuh."

"Iya, Bu." jawabku sambil tersenyum.

"Yaudah, jangan lama ya," perintah Ibu. Aku hanya mengangguk dan tersenyum.

Huft ... aku bernapas legah. Setidaknya Ibu tidak melihat kalau aku menyembunyikan sesuatu.

Aku bergegas menuju dapur, sebelum Ibu protes karena aku terlalu lama.

Saat sampai di sana, aku duduk di kursi yang biasa ku tempati, di samping kiri Bapak. Kami makan dengan khuyuk. Tanpa suara.

"Salma, duduk dulu. Itu biar Ibu mu yang bawa." titah Bapak saat aku bersiap membawa piring kotor untuk di cuci.

"Iya, Pak."

"Bapak mau membicarakan sesuatu yang penting."

Aku diam, menerka kira-kira apa yang mau di katakan Bapak.

"Kamu kan sudah lulus SMA, sudah besar. Bapak rasa kamu juga sudah cukup dewasa. Bapak dan Ibu mu ini juga pasti akan menua atau bahkan kami bisa menghadap Tuhan kapan saja. Maka dari itu, Bapak mau lihat kamu udah ada yang jagain supaya Bapak dan Ibu bisa tenang."

Aku terdiam, firasatku setelah ini semuanya tidak akan baik-baik saja.

"Bapak mau kamu menikah nak."

Dorr!

Mataku membulat mendengar kalimat itu.

"A ... apa Pak? nikah?" Mengucapkannya saja aku ragu.

"Iya, Nak. Sudah ada laki-laki yang datang menemui Bapak. Jika kamu setuju, Bapak akan memberitahukannya. Dan pernikahan kalian bisa segera di gelar." terang Bapak.

Aku hanya diam, menatap meja di depan ku.

Menikah? apa harus sekarang? bagaimana dengan hatiku yang sudah di isi orang lain? apakah aku harus menolak lamaran itu? tapi Bapak? apa yang harus ku pilih?

Pikiranku berkecamuk.

"Salma belum bisa jawab sekarang, Pak," ucapku menunduk.

"Iya, Nak. Tak apa, kamu pikirkan saja dulu."

Bapak berdiri, mengelus kepalaku lalu pergi.

"Ibu tahu ini sangat mendadak, pikirkan baik-baik ya, Ibu percaya sama pilihan kamu."

Ibu tersenyum, mengelus rambutku. Aku menyandarkan kepalaku di bahu Ibu. Tempat ternyaman, tempat ku berkeluh kesah.

"Aku takut Bu, takut salah memilih."

***

Hingga jam menunjukkan pergantian tanggal, aku masih setia terjaga. Hingga tak sengaja tanganku menyentuh sesuatu di bawah bantal. Ahh, surat Kak Hanif.

Aku bangun, menyalakan lampu berniat membaca kembali surat itu.

Aku mulai membuka lipatan kertas, di sana tertulis...

Bismillah....
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Untuk Salma,

Teramat cantik senja di kala itu.
Berlalu, hingga ku harap esok berjumpa di lain waktu.

Teramat elok fajar kala itu.
Membekas, mencairkan embun membeku.

Teramat indah pelangi kala itu.
Mewarnai, menunjukkan asa baru.

Dan, teramat dalam perjumpaan waktu itu.
Menetap, membuat hati menginginkan pertemuan baru.

Mungkin saat kamu membaca surat ini, Aku sudah jauh di benua sana. Tapi tak apa, sebelum pergi, aku ingin menyampaikan sebuah rasa yang sudah ku sampaikan lewat makna tersirat dari puisi di atas. Semoga kamu mengerti bahwa ada perasaan lebih yang mulai tumbuh. Ku rasa Dik, Salma tahu. Saya tidak bisa memastikan kapan pertemuan itu akan tiba lagi, tapi saya harap jika ia datang, rasa ini masih sama dan untuk orang yang sama. Saya tidak akan memberikan sebuah janji, tapi jika kelak nanti kita di beri kesempatan bersua kembali dalam keadaan belum ada yang memiliki, maka saya siap mempersunting. Tapi jika nanti ada yang lebih dulu datang dan kamu juga menginginkan, maka di sini saya akan merelakan. Karena kita sama-sama tidak bisa menjamin kekalnya sebuah rasa dan tepatnya sebuah janji, karena hati manusia yang sering berubah. Semoga Kamu mengerti....

Hanif Alfaridzi

Tes....

Aku menangis. Surat ini membuatku dilema. Membuatku semakin susah memilih.

Cintaku nyatanya tak sepihak doa. Ada rasa yang sama antara kami. Tapi Kak Hanif sudah jauh di sana, sedang aku di sini? baru saja tadi Bapak memberitahukan sebuah lamaran yang ku tak tau dari siapa.

Menanti? atau pergi?

Aku butuh jawaban. Dan aku tahu siapa yang harus ku tanyai. Dia yang Maha mengatur segalanya, Dia yang tahu segalanya.

Ku simpan surat itu kembali, lalu bergegas menuju kamar mandi. Berwudhu untuk salat, menghadap Ilahi, meminta jawaban atas semua kegelisahan ini.

Dan aku tahu, Allah lah sebaik-baik pemberi petunjuk.

***

Assalamu'alaikum gaezz ... Yey part 2 dah muncul nih. Jangan lupa vote, komen dan share cerita ini yak.

Salam sayang untuk kalian💕

Bk2

Skenario TuhanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang