SUNGAI NILL

35 6 6
                                    

- Hanif -

___________________

Rencana kami kemarin untuk membeli peralatan yang sekiranya kami butuhkan selama di asrama, nyatanya baru terlaksana hari ini. Kemarin Ragil merasa terlalu lelah, hingga meminta agar kami berangkat esok hari saja.

"Eh, kita jalan-jalan saja dulu. Pulang nanti baru kita tokohnya," kata Amar saat kami berjalan bersisian.

"Aku sih ok aja. Kayaknya kita harus jalan-jalan dulu, takutnya kalau sudah masuk kuliah nanti kita gak ada waktu. Kalau kamu, Gil?" tanyaku pada Ragil.

"Gua ngikut kalian aja." jawabnya santai.

"Yaudah, kita ke Sungai Nill aja dulu. Tempatnya dekat dari sini, cuma jalan beberapa menit sudah nyampe."

Kami berjalan di bawah panasnya terik matahari. Tahu sendiri bukan, Sudan salah satu negara di benua Afrika, tentu saja cuaca panas sudah menjadi hal biasa. Apa lagi negara ini termasuk negara miskin, tingkat kriminalitasnya tinggi. Tapi kata Amar tidak usah khawatir, penduduk lokal baik kok sama mahasiswa asing dengan catatan tetap menghormati budaya dan kearifan lokal mereka.

Dua puluh menit kami berjalan, tapi belum sampai juga di tujuan. Muka Ragil yang tergolong putih terlihat memerah.

"Ini sampainya kapan sih! kaki gua dah pegel. Kenapa gak naik taxi atau bus aja sih dari tadi." gerutu Ragil sambil mengipas-ngipas wajahnya.

"Sabar, Gil. Bentar lagi nyampe kok." Amar menenangkan.

"Di Sudan ada skin-care gak sih?" tanya Ragil.

"Skin-care itu apa, Gil?"

"Lo, gak tau, Mar? itu loh yang biasa cewek-cewek pake," jelas Ragil.

"Kayak bedak gitu? atau lipstik?"

"Gimana ya ngejelasinnya," Ragil menggaruk kepalanya yang tidak gatal "Pokonya namanya skin-care."

"Kalau soal gituan aku gak tau, Gil. Tapi kalau soal makanan aku ahlinya. Aku udah hapal makan apa aja yang ada di sini." Amar cengengesan sedang Ragil mendengus menanggapi.

"Emang buat apa skin-care, Gil?" tanyaku kemudian.

"Pengen beli gua. Di sini panas banget ternyata. Bisa-bisa gua pulang udah gak ada yang ngenalin saking dekilnya."

"Haha, kamu ada-ada aja, Gil," kekehku.

Tak terasa kami sudah menempuh tiga puluh menit lamanya. Di depan sana sudah terlihat hamparan sungai terpanjang, Sungai Nill yang indah.

Amar mengajak kami ke pinggir sungai. Banyak wisatawan ataupun warga lokal yang mengunjungi tempat ini.

"Haah, Subhanallah...." ucapku sambil merentangkan tangan.

Ragil sudah sibuk dengan hpnya. Memotret sungai yang ada di depan kami sekarang. Sedangkan Amar berdiri di sampingku, berdiri terpukau.

"Kamu sering ke sini, Mar?" tanyaku.

"Kadang-kadang sih, Nif. Biasa kalau bosan atau lagi banyak pikiran aku larinya ke sini hehe."

"Emang ya, Mar tempat ini bagus buat di jadiin tempat menenangkan diri. Pemandangannya indah."

" Iya, Mar. Allah maha baik yah, nyedian ini semua buat kita. Gratis lagi."

"Itulah, kita jadi manusia harus selalu bersyukur. Harus jaga apa yang Allah titip, bukannya malah ngerusak." jelas ku.

"Tapi manusia sombong, Nif. Ngerasa apa yang ada di bumi ini milik mereka semua. Ngerusak alam demi kepentingan mereka."

"Bener ka...."

"Eh, foto yuk!" ajak Ragil memotong pembicaraan.

"Ayuk, ayuk." Amar antusias menjawab ajakan Ragil.

Aku hanya tersenyum. Lalu mengikuti mereka berdua yang sudah mencari spot terbaik untuk mengabadikan foto mereka.

Ragil dan Amar berfoto ria. Saling mengabadikan diri dengan kamera hp kepunyaan Ragil. Aku hanya mengamati, sesekali mereka juga menyuruhku memotret mereka.

"Gil, foto yuk. Kita bertiga," ajak Ragil yang sudah berangkulan denga Amar. Mereka cepat sekali akrab ternyata. Tidak heran sih, karena Ragil orangnya humble.

"Gimana caranya, lah yang motoin siapa?" protes ku.

"Tunggu ... tunggu,"

Amar menahan seseorang yang kebetulan berjalan di depan kami. Setelah berbicara sebentar, orang itu nyatanya mau menjadi fotografer dadakan kami.

Kami bertiga saling merangkul, dengan posisi Amar di bagian tengah, aku di sebelah kanan dan Ragil di seberang lainnya. Mengabadikan awal kebersamaan kami, saling memamerkan senyum merekah saat di bidik kamera.

Kami berpose dengan berbagai gaya, beberapa pose di instruksi oleh Ragil. Katanya "Kayak gini yah, supaya ala-ala selebgram" katanya. Aku dan Amar hanya mengikut.

Setelah mengucap terimakasih pada orang itu, kami bertiga mengamati hasilnya. Cukup memuaskan dan beberapa ada yang menggelikan.

"Ih ini kok aku merem sih," protes Amar ketika melihat fotonya.

"Makanya kalau foto jangan tidur." Ragil tertawa terbahak.

"Ais, orang itu tadi gak bagus caranya." gerutu Amar.

"Astagfirullah, Mar. Jangan gitu, udah bagus kan di fotoin," ucapku mengingatkan.

"Nah, denger tu, Mar. Lagi pula lo kelihatan lebih ganteng kalau pas merem gini, hahaha." Ragil sekali lagi tertawa.

Amar hanya mendengus kesal. Aku ikut tertawa, melihat mereka berdua yang masih adu argumen. Amar yang meminta foto itu di hapus, tapi Ragil kekeuh untuk menyimpan, katanya Amar terlihat tampan di sana.

"Eh, liat deh mereka. Harmonis banget yah," kataku sambil menunjuk sekelompok turis yang menurut perkiraanku adalah satu keluarga.

"Haahh, liat mereka bikin aku rindu Emak sama Abah di Indonesia," ucap Amar sedih.

"Rindu sama orang tua baru terasa kalau kita jauh gini yak," kata Ragil sambil menghela napas.

"Banyak-banyakin doa, agar suatu hari nanti kita bisa kayak mereka. Bisa sama-sama menikmati pemandangan Sungai Nill bersama orang yang kita sayang." jawabku.

Kami bertiga hening beberapa saat, larut dengan pikiran masing-masing.

"Nanti gua bilang ke Papi gua, buat kesini nengokin. Jadi bisa deh liat Sungai Nill sama-sama."

"Kalau aku sih, nunggu sukses dulu hehe. Biaya ke sini mahal, aku harus nabung dulu supaya Emak dan Abah bisa ke sini. Naik pesawatkan mahal." ucap Amar.

"Kalau lo, Nif?" tanya Ragil padaku.

"Orang tuaku gak mungkin bisa ke sini, Gil."

"Kenapa emang?"

"Karena mereka udah terlalu jauh. Beda alam." jawabku sambil tersenyum.

Ragil paham maksudku. Ia tidak bertanya apa-apa lagi, mungkin takut membuatku sedih.

"Tapi suatu hari nanti aku akan membangun keluarga kecilku sendiri, dan mereka pasti akan ku boyong ke sini. Menikmati indahnya Sungai Nill, menghabiskan kebersamaan di sini." ucapku dalam hati.

***

Assalamu'alaikum gaezz
Masih bersama Hanif di part ini wkwk

Jangan lupa VOTE, KOMEN, dan SHARE cerita ini yak supaya aku tambah semangat nulisnya.

Salam sayang untuk kalian,

Bk2

Skenario TuhanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang