BALAS DENDAM

15 2 0
                                    

- Hanif -

_____________________

Tak terasa sudah enam bulan lebih aku di sini. Beradaptasi dengan panasnya cuaca di Sudan. Jauh dari keluarga, jauh dari kampung halaman.

Aku baru saja selesai sarapan bersama teman kamar yang lain. Memang setiap pagi kami akan makan bersama seperti ini. Mengakrabkan walau beda negara, ras, warna kulit tapi kami di satukan dalam persamaan iman.

"Mau berangkat sekarang, Nif?" tanya Amar.

"Iya, ayok."

"Eh, si Ragil masih sakit yah?"

"Iya tuh."

Ragil sudah dua hari ini tidak masuk kampus. Ia sedang tidak enak badan. Jadilah jika ke kampus hanya aku berdua bersama Amar. Sekarang sudah agak mendingan, tapi Ia masih merasa lemas dan sekarang masih tiduran di atas kasurnya.

"Syahakallah syifaan ajilan," doa Amar untuk Ragil.

"Aaminn ..." balas Ragil dengan suara lemah.

"Gil, kami berangkat dulu yah. Bentar lagi Saad kemari untuk menemanimu."

Saad juga adalah salah seorang mahasiswa dari Indonesia. Kami cukup akrab. Karena Ia masuk kuliah siang, maka kami meminta tolong untuk menjaga Ragil selagi kami pergi.

Ragil hanya bergumam pelan. Setelah mengucapkan salam aku dan Amar berangkat.

"Kita jalan kaki aja, Mar. Mumpung masih pagi ini," ajakku.

"Yaudah, aku mau sekalian olahraga hehe."

Kami berjalan menyusuri tepi jalan. Tak banyak pohon yang rindang seperti trotoar di kebanyakan jalan di Indonesia. Di sini benar-benar kami di uji daya dengan teriknya panas matahari.

"Nif, aku mau beli minum dulu," kata Amar saat kami melintasi sebuah toko.

"Yaudah, Mar. Aku tunggu di sini yah."

Amar masuk untuk membeli minum sedang aku berdiri di depan toko, memperhatikan aktifitas penduduk Sudan di pagi hari.

Dua orang berbadan tegap memperhatikanku sejak tadi dari seberang jalan sana. Awalnya ku kira bukan aku yang mereka perhatian, tapi ternyata mereka menghampiriku.

"Hei! kau kan yang pernah menghajar kami berdua?!" ucapnya lantang saat sudah di hadapanku.

"Maaf, kalian siapa? saya tidak pernah berurusan dengan kalian," jawabku tenang.

"Hei! jangan pura-pura lupa! kau yang pernah menyelamatkan seorang perempuan yang menjadi mangsa kami," ucap pria yang satunya.

Aku ingat sekarang. Karena sudah lama aku sampai melupakan kejadian saat aku menyelamatkan Elza.

"Oh, itu kalian. Mau apa lagi hah?"

"Jangan sok jagoan kau di sini! sudah lama aku ingin membalas mu. Hari ini kau akan habis di tanganku."

"Ayo, mari kita serang dia!"

Mereka maju satu persatu memberikan pukulan, semuanya meleset, aku bisa menghindar. Saat mereka lengah aku menyerang balik. Mengeluarkan segenap jurus yang pernah aku pelajari dulu.

Pertarungan kami menjadi pusat perhatian. Ramai, tapi tak satupun di antara mereka yang mau melerai.

Aku mulai kewalahan. Serangan mereka bertambah brutal. Aku mencoba mengimbangi. Dua lawan satu, benar-benar tidak adil. Tapi akan ku buktikan kalau mereka akan akan kalah untuk kedua kalinya.

Bakk!!!

Aku berhasil memukul telak salah satu di antara mereka hingga Ia tersungkur jauh kebelakang.

Satu lagi, dan....

Bakk!!!

Dua orang itu sudah sama-sama berbaring di tanah. Keringatku bercucuran. Tenagaku terkuras habis.

"Hanif!" Amar menghampiriku dengan wajah panik.

"Kamu gak apa-apa, Nif?"

Aku menggeleng.

Ku lihat salah satu diantara preman itu bangkit lagi. Aku langsung mendorong Amar agar menepi.

Preman itu mengambil ancang-ancang untuk maju menyerang kembali. Aku sudah siap untuk menangkis. Tapi sayang perkiraanku meleset. Ia bukannya mau memukul tapi....

Tess....

Darah segar mengalir dari perutku yang baru saja di koyak sebilah pisau. Lu lihat tanganku kini penuh darah. Preman itu ternyata membawa senjata tajam.

Orang-orang panik saat melihatku tersungkur ke tanah. Dua preman itu sudah jauh berlari.

"Hanif ... Hanif! sadar Nif!"

Itu suara Amar. Aku masih bisa mendengarnya, begitupun suara bising di sekitarku.

"Tolong, panggil ambulance!"

"Hubungi polisi!"

"Ambulance akan segera datang."

"Siapa pemuda itu?" kasihan sekali."

"Iya, sepertinya mahasiswa asing,"

Aku masih bisa mendengar semua suara itu, tapi aku tidak mampu berbicara apa pun. Aku merasakan sakit, teramat sakit di bagian perutku. Aku merasakan begitu banyak darah yang mengucur dari luka itu.

Apa ajalku telah tiba? apa aku di takdirkan untuk tidak pernah akan kembali ke kampung halamanku, Indonesia?

"Yaa ... Rab... aku berserah diri padamu,"

Hanya itu yang bisa ku ucapkan dalam hati. Aku mulai tidak bisa mendengar kebisingan di sekitarku. Pengluhatanku mulai pudar.

Aku merasakan ada yang berusaha membuatku tetap sadar dengan menepuk-nepuk pipiku. Aku berusaha, berusaha bertahan. Menahan sakit yang teramat.

Semakin lama semakin aku merasakan tubuhku mati rasa. Tak ada lagi yang bisa ku gerakkan. Hanya mataku yang sekali memejam. Sebentar lagi, sebentar lagi dan aku merasa aku akan pergi.

"Hanif, bertahanlah. Aku mohon, Nif. Kita masih harus sama-sama berjuang, kau jangan pergi dulu sebelum kita menyelesaikannya." Itu suara Amar, aku masih mendengarnya walau tak begitu jelas. Pendengaranku mulai berdengung.

Hingga aku merasa di puncak kesakitan. Aku tak tahan lagi. Setetes air mata jatuh. Aku mulai bersyahadat dalam hati.

"Maaf, Amar. Sepertinya perjuanganku sampai di sini." lirihku dalam hati.

Pendengaran ku semakin berdengung seiring dengan pandangan ku yang mulai menggelap. Tapi sebelum benar-benar terpejam, aku mendengar sebuah suara....

"Amar bertahanlah!" suara seorang perempuan dengan tangis sambil meneriaki namaku.

Salma? apa itu kau?

***

Assalamu'alaikum gaezz

Happy reading yah,

Salam sayang,

Bk2

Skenario TuhanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang