SEBUAH PERMINTAAN

11 2 0
                                    

- Salma -

____________

Pagi-pagi aku sudah sibuk mempersiapkan bekal yang akan ku bawa ke rumah sakit. Semalam, Ibu yang menemani Bapak di rumah sakit sedang aku pulang untuk beristirahat. Dan pagi ini aku akan menggantikan Ibu.

Setelah masakanku selesai aku bersiap diri. Mandi dan memakai gamis sederhana. Pagi ini aku akan berangkat menggunakan angkot.

Ku kunci rumah yang sudah beberapa hari ini selalu sepi. Tidak ada lagi canda tawa Bapak dan Ibu yang selalu menemaniku. Aku menghela napas, di setiap doa selalu ku panjatkan pinta agar Bapak lekas sembuh.

Seperti biasa, sebelum sampai ke pangkalan angkot, aku harus berjalan terlebih dahulu. Sesekali ada warga yang menyapaku dan menanyakan keadaan Bapak.

Tak jauh dari tempatku sekarang, aku melihat Rifki. Dan yah, dia tak sendiri. Dia bersama Kak Hanif.

Rifki menyapaku duluan, tapi Kak Hanif hanya diam di tempatnya tanpa berujar apapun.

Aku berbincang-bincang sebentar dengan Rifki, kemudian ia pamit karena akan menemai Kak Hanif keliling kampung.

Saat Rifki sudah pergi, Kak Hanif malah tak beranjak. Aku bingung, apa ada yang mau dia tanyakan?

"Ada apa, Kak?" tanyaku.

"Hmm ... aku ... aku..." Ia terlihat gugup.

"Kak Hanif mau nanya sesuatu?" tebakku

"I .. iya. Boleh?"

Aku mengangguk meng-iyakan.

"Kapan kamu menikah?"

"In syaa Allah hari jum'at, Kak." jawabku

"Maa syaa Allah, sebentar lagi yah. Selamat yah, Sal,"

"Ma ... makasih," ucapku terbatah karena tiba-tiba saja aku merasa sesak saat Kak Hanif mengucapkan selamat atas pernikahanku.

"Aku telat yah, Sal," ucapnya sambil terkekeh. Dari nada bicaranya aku tau dia seperti sedang kecewa.

Lagi-lagi dadaku sesak. Kenapa sesakit ini menghadapi fakta kalau nyatanya kita tak berjodoh?

"Ma ... maaf," lirihku.

Aku tidak tau meminta maaf untuk apa. Aku hanya merasa kata itu yang paling cocok untuk ku ucapkan sekarang.

Kak Hanif mengatakan kalau aku tak perlu meminta maaf. Ini skenario Tuhan dan kami hanyalah tokoh, tidak punya kehendak mengatur alur cerita.

Aku hanya menunduk, mataku berkaca-kaca. Aku tak berani mendongak.

Hingga tiba-tiba Kak Hanif bertanya....

"Apa ... apa kamu mencintai Bayu?"

Apa yang harus ku katakan. Apa aku harus mengatakan bahwa aku sebenarnya tak mencintai Kak Bayu, tapi aku mencintai pria yang sekarang berdiri di hadapanku?

Tolong, Kak jangan bertanya soal itu. Aku takut, aku takut melukai dua hati sekaligus....

Dan pada akhirnya aku mengangguk.

Maaf ... maaf karena aku berbohong.

Entah apa yang di rasakan Kak Hanif sekarang. Hancur? mungkin lebih dari itu. Tapi di seberang sini, aku juga merasakan.

Percakapan kami berhenti saat dari kejauhan terdengar suara Rifki yang memanggil Kak Hanif.

Aku menghela napas, setidaknya percakapan rumit ini berakhir.

Skenario TuhanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang