PILIHAN SULIT

19 2 0
                                    

- Salma -

_____________

Setelah mengajar anak santri aku pergi ke sungai. Aku suka di sini. Tenang, hanya di temani gemercik air.

Tiba-tiba aku merasa ada yang berdiri di belakangku. Aku menoleh dan mendapati Gibran berdiri di sana.

"Ada apa, Gib? Aku di cariin sama Bu'de?"

"Gak kok hehe"

"Terus ngapain ke sini?"

"Yaa mau aja."

"Ish kamu gaje!"

Ia kemudian memilih duduk di batu besar tak jauh dariku.

Gibran Pradibta. Dia sebenarnya bukan santri di sini. Tugasnya di sini hanya mengamnakan anak santri yang nakal.

Dari tampangnya dia seperti anak brandal. Jangan bayangkan dia memakai baju kokoh dan sarung seperti yang lain, ia malah memakai jaket jeans dan celana levis.

Dan aku baru tahu dari Rama, Gibran adalah anak seorang pengusaha kaya di Jakarta yang di titipkan di sini. Katanya dulu dia sangat nakal hingga orang tuanya mengirimnya ke sini.

Tapi belakangan ini ia mulai berubah. Mulai dari penampilan hingga sikapnya.

"Sal, kenapa kamu ke sini?"

"Hah? Maksudnya?"

"Ya ... kenapa kamu memilih ke tempat ini? Yang jauh dari kota dan jauh dari kata nyaman."

"Aku hanya ingin menenangkan diri, Gib."

"Dari?"

"Dari semua masalah."

"Bukannya masalah itu di hadapi yah?"

Aku menghela napas lalu menjawab.

"Iya, tapi aku belum siap. Nanti kalai aku siap, aku akan pulang dan menghadapinya."

"Masalahnya berat yah?"

"Hmmm gitulah."

"Cinta?"

"Iya."

"Siapa?"

"Kamu gak perlu tau. Aku saja berharap bisa lupa namanya."

"Masa lalu bukan untuk di lupakan. Bagaimana pun kita tidak bisa pura-pura lupa seperti itu. Kita hanya perlu mengikhlaskan."

Aku hanya mengangguk lalu tersenyum. Gibran sudah jauh berbeda, ia lebih dewasa sekarang.

"Oh, iya Gib, kamu sekarang banyak berubah yah," ucapku mengalihakan pembicaraan.

"Hehe itu semua karena kamu."

"Haha aku? Kenapa aku?"

Gibran tak menjawab. Ia malah memandang ke bawah air.

"Karena melihat kamu membuatku memikirkan masa depan. Dulu aku tidak pernah memikirkan soal itu. Yang ku pikir hanya main dan bersenang-senang. Tapi saat bertemu dengan kamu, aku merasa aku ingin berjuang."

"Berjuang untuk apa?"

"Berjuang untuk kamu, masa depan aku."

Aku pikir Gibran hanya bercanda, tapi tadi ia mengatakan itu dengan raut wajah serius.

"Salma, will you marry me?"

Ucapnya sambil menatap penuh harap padaku.

"Gibran, apa maksud kamu? Tolong jangan bergurau seperti ini!"

"Gak, Sal. Aku gak lagi bercanda. Aku mau nikahin kamu. Aku mau menutupi setiap luka yang kamu rasakan sekarang."

Mataku mulai berkaca-kaca. Apa yang harus aku lakukan?

Menolaknya?
Atau....
Menerimanya?

Gibran pemuda yang baik. Dia tampan dan aku mengakuinya. Dia juga sudah banya belajar ilmu agama selama ada di pesantren ini. Apa itu sudah cukup untuk aku menerimanya?

Dulu aku pernah membuat hati seseorang yang mencintai dengan tulus hancur berkeping-keping. Yah, Kak Bayu. Dia baik tapi aku malah melukainya.

"Gimana, Sal? Will you marry me?" tanyanya lagi.

"Gibran apa kamu yakin? Usia kita bahkan berbeda, aku lebih tua dari kamu."

"No problem. Usia tidak jadi masalah. Jadi bagaimana, will you marry me?" tanyanya yang ketiga kali.

" I ... i ...."

Baru saja aku akan menjawab tapi sebuah suara menghentikanku.

"Salma!"

Suara itu, suara yang dulu sering ku dengar melantunkan ayat suci Al-qur'an saat Ia menjadi imam di surau. Tapi kenapa aku mendengar suara itu di sini?

Aku menoleh dan mendapati Kak Hanif sedang berdiri di sana. Lalu di belakangnya ada Dania dan juga Rifki.

Mereka kemari untuk apa?

Aku cukup kaget dengan kedatangan mereka. Bahkan Gibran bertanya siapa mereka. Tapi aku tak langsung menjawab.

"Kak Salma," panggil Dania dengan nada ceria.

Aku tersenyum ke arahnya. Untuk apa mereka ke sini? Kedatangan mereka hanya membuatku mengingat luka lama.

Aku bahagia saat Dania menghampiriku lalu memelukku hangat. Ia sudah kembali seperti dahulu, Dania yang ceria.

"Kenapa kalian kemari?" tanyaku akhirnya.

"Jemput kamu."

Itu Kak Hanif yang menjawab.

"Untuk?"

"Yaa pulang lah, Kak."

"Aku belum mau pulang" tolakku.

"Kak Salma gak kasihan sama Kak Hanif, dia udah uring-uringan tuh nyariin kakak."

Bukannya bahagia aku malah merasa tidak enak. Kenapa Rifki mengatakan itu padahal ada Dania di sini.

"Dania dan Rifki sudah menikah," ucap Kak Hanif yang mengerti raut wajahku.

Rifki maju satu langkah mendekati Dania lalu merangkulnya mesra.

"Iya, Kak. Aku dan Dania udan nikah hehe. Iya kan, sayang?"

"Ish, Rifki jangan manggil gitu kalau banyak orang. Aku malu."

Tunggu, tunggu, kenapa Rifki dan Dania? Bukannya Kak Hanif dan Dania?

"Banyak kejadian yang kamu lewati, Sal saat kamu pergi. Pada akhirnya Rifki yang menikahi Dania. Ceritanya panjang."

Aku tidak bergeming.

Aku seperti de javu

"Sal, aku sekarang datang. Aku mau mengkhitbah kamu. Aku mau mengulang khitbah yang dulu tertunda."

Aku menoleh pada Kak Hanif yang baru saja menyatakan ingin mengkhitbah ku lagi. Gibran yang sedari tadi hanya diam maju selangkah menghampiriku.

Dua khitbah dalam waktu yang bersamaan. Aku bingung dan juga takut. Takut salah mengambil keputusan.

Aku harus menolak salah satu di antara mereka.

Atau....

Menolak keduanya.

Aku kembali di perhadapkan pada pilihan rumit.

Gibran, laki-laki baik yang siap menerimaku apa adanya.

Kak Hanif, cinta yang sejak dulu ku nanti.

Siapa? Siapa yang harus ku pilih? Atau sebaiknya tak ada yang ku pilih?

***

Assalamu'alaikum, happy reading yah:)

Salam sayang,

Bk2

Skenario TuhanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang