SEBUAH IZIN

28 7 1
                                    

- Salma -

__________________

Aku berdiri di teras masjid. Menyaksikan anak-anak yang sedang bermain sepakbola. Tertawa riang, tanpa beban. Begitu mengasikka.

Tak seperti dunia orang dewasa. Terlalu banyak yang di pikirkan. Kadang kala merasa ingin menyerah pada keadaan. Pelik, tapi harus di jalani.

"Kak, kok ngelamun?" tanya Dania menepuk pundak ku.

"Eh, kamu Nia. Aku gak ngelamun, cuma liatin anak-anak itu main aja," sergahku.

"Gak usah bohong deh Kak, aku bisa baca raut wajah orang loh."

"Kamu ini ada-ada aja. Beneran kok gak apa-apa," kekeuh ku.

"Ayo, dong Kak cerita. Aku tau, Kak Salma pasti lagi punya masalah."

"Terlalu susah, Ni. Aku bingung mau cerita dari mana." Aku menatap langit yang mulai gelap.

"Masalah Kak Hanif yah?" tebaknya.

Dania memang tau perihal aku dan Kak Hanif. Walaupun aku dan dia tidak sebaya, dia setahun lebih muda dariku, tapi dengan Dia aku merasa punya adik untuk bercerita.

"Gak sepenuhnya tentang Kak Hanif sih, tapi ada kaintannya."

"Apa Kak? Ayo dong cerita," paksanya.

"Ada yang ngelamar aku, Ni."

"Siapa Kak, siapa?" tanyanya ingin tahu.

"Aku belum tau, Bapak belum bilang."

"Wah, parah kalau gitu. Pantesan Kak Salma galau. Jadi gimana Kak?di terima atau langsung di tolak? Aku kira Kak Salma pengen lanjut kuliah?"

"Aku belum jawab, Ni. Aku masih mikir. Di satu sisi, hatiku sedang menunggu seseorang, tapi di sisi lain aku gak mau ngecewain Bapak sama Ibu."

"Kak pikirin ini baik-baik. Apa pun yang Kak Salma pilih hari ini, itu yang bakalan Kak Salma jalani di masa depan. Menikah itu ibadah, kalau dari awal udah gak ikhlas alias terpaksa, nanti jatuhnya malah bikin tersiksa lahir batin," ucap Dania.

Aku memikirkan kata-kata itu. Nikah itu ibadah, lalu bagaimana akan bernilai ibadah kalau sedari awal aku hanya terpaksa. Apa pun pilihan ku hari ini pasti akan berdampak pada kejadian di masa depan.

"Iya, Ni. Aku rasa juga gitu. Hati aku juga buat orang lain, gak mudah buat merubah itu secepat mungkin. Aku takut, pernikahan itu hanya bakalan nyakitin orang itu."

"Nah, maka dari itu Kak, jangan paksakan sesuatu yang gak Salma suka."

Iya, aku harus bisa menolak lamaran itu. Walau susah mengatakannya pada Bapak, tapi aku harus mencoba. Kalau tidak, banyak hati yang akan tersakiti.

***

Sepulang dari mengajar, aku mendapati Bapak dan Ibu sedang bersantai di ruang keluarga sambil menonton tv. Aku mendekati mereka berdua, ingin membicarakan perihal lamaran tempo hari.

Ragu, tapi akan ku coba.

"Pak ... Bu, aku mau bicara," ucapku dengan nada suara kecil.

Bapak dan Ibu menoleh, memperbaiki posisi duduk mereka menghadapku.

"Iya, Nak ada apa?" tanya Bapak.

"Hmm ...soal lamaran itu pak."

"Iya, kenapa nak? Kamu sudah punya jawabannya?"

Aku tak langsung menjawab, ku hela nafas panjang sebelum berucap....

"Iya, Pak. Dan aku menolak. Aku belum mau nikah." kataku tanpa menatap Bapak ataupun Ibu.

Hening, tak ada yang bersuara. Takut-takut aku menaikkan pandangan. Bapak dan Ibu masih menatapku. Tanpa ekspresi, dan itu membuatku merasa sudah salah bicara.

"Kamu yakin, Nak?" tanya Bapak.

Aku mengangguk. Bapak akhirnya menjawab walau ku liat ada raut kecewa di wajahnya. Ibu hanya diam, karena apa pun keputusan pasti akan di tentukan Bapak.

"Apa kamu tidak mau memikirnnya lagi?" tanya Bapak lagi.

Aku menggeleng lemah. Keputusan ku sudah bulat.

"Bapak dan Ibu kepengen kamu nikah, Nak. Biar gak jadi fitnah, biar kamu ada yang ngejagaiin," ucap Bapak. Aku tahu, pasti Bapak kurang setuju dengan ini.

"Tapi Pak, ini keputusanku. Aku belum mau nikah, aku mau kuliah dulu, Pak" sergahku.

"Untuk apa kuliah, Nak. Toh, akhirnya kamu kadi ibu rumah tangga juga. Ngurus suami, masak, ngurus anak?!"

"Tapi Pak, aku mau jadi perempuan yang berpendidikan. Aku mau lanjut kuliah, Pak. Aku tidak mau menikah terlalu cepat."

"Cepat bagaimana? Kamu kan sudah lulus SMA? Banyak di luar sama yang setan lulus mereka menikah, punya anak."

"Tolong, Pak. Aku belum mau nikah."

Aku mulai terisak. Aku tidak sanggup lagi menjelaskan pada Bapak. Aku tidak mungkin memaksakan hati yang ternyata untuk orang lain.

Ibu memelukku, membuatku sedikit lebih tenang.

"Sekarang kamu ke kamar yah, biar Ibu yang bicara sama Bapakmu," perintah Ibu.

Aku mengangguk. Berjalan menuju kamar lalu menutup pintu.

Aku tak mendengar apa yang di bicarakan Bapak dan Ibu. Aku menenggelamkan kepala ke bantal. Hingga kemudian aku mendengar suara pintu di buka.

"Salma, ayo bangun, Nak." Itu suara Ibu.

Aku masih tak bergeming di tempat.

"Jalani pilihanmu, Bapak dan Ibu hanya ikut. Kamu sudah besar, sudah berhak menentukan masa depan mu sendiri."

Aku membalik diri, ku lihat ibu tersenyum. Aku memeluknya. Menyurkan perasaan legah.

"Makasih, Bu,"kataku.

Kami berpelukan hingga beberapa saat. Lalu Ibu pamit keluar dari kamarku.

Aku tersenyum bahagia, walaupun pahit di awal, walaupun sulit mengatakannya tapi akhirnya aku bisa menjalani pilihanku. Aku bisa mengikuti kata hatiku.

Ku ambil sesuatu di dalam laci. Secarik kertas, surat Kak Hanif. Ku pandangi lalu ku baca ulang. Kebiasaan ku akhi-akhir ini mengulang setiap kata dalam tulisan itu.

"Kak Hanif, apa kabar?" lirihku dalam hati.

***

Assalamu'alaikum...
Yey Part 5
Semoga suka yah

Salam sayang,

Bk2

Skenario TuhanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang