KATA MAAF

18 2 0
                                    

- Hanif -

____________________

Sudah beberapa bulan berlalu sejak kejadian itu. Hubungan persahabatan antara aku dan Ragil renggang. Kami tak berangkat kuliah bersama lagi, bahkan kemarin saat kami sama-sama mengantar Amar saat akan pulang ke Indonesia, Dia bahkan mengabaikan ku.

Aku merasa kehilangan. Setiap kali aku ingin berbicara padanya, Ia langsung menghindar atau pergi begitu saja.

"Gil, berangkat bareng yuk," ajakku.

Ia tak menjawab, masih sibuk mengikat tali sepatunya. Aku masih menungguinhnya.

Ia berdiri, memakai tasnya lalu berjalan mendahuluiku.

"Gil, nanti sore kita ke sungai Nill yuk. Capek aku mikirin skripsi terus."

Sekarang kami memang sedang berada di penghujung semester. Kami semua sudah masing-masing sibuk dengan skripsi dan sidang.

Ragil tak menanggapi. Bungkam, seolah aku tak ada di sampingnya. Tapi aku tak menyerah. Aku akan menguatkan kembali tali persahabatan kami yang renggang.

Ia menaiki bus terlebih dahulu lalu aku mengikutinya di belakang.

"Assalamu'alaikum, Nif," sapa seseorang. Dan ternyata itu Elza yang ternyata naik bus itu juga.

"Waalaikumussalam," jawabku.

"Ehemm,"

"Eh, Ragil. Assalamu'alaikum," ucapnya pada Ragil sambil tersenyum.

Ragil membalas salamnya dengan lengkungan di bibir yang terlihat terpaksa di tunjukkannya. Kenapa kami harus di satukan dalam bus ini? Ragil pasti kesal bukan main padaku.

"Nif, Amar udah balik ke Indo yah?"

"Iya, Za," jawabku singkat. Ku lirik Ragil yang sudah memasang wajah datar.

"Maa syaa Allah ya Amar udah selesai aja kuliahnya. Kita juga bentar lagi nih."

"Iya," jawabku singkat pertanda aku tidak ingin ada percakapan yang lebih.

Mungkin karena itu, Elza tak bertanya lagi. Ia duduk di kursinya dengan tenang. Sementara Ragil masih memasang wajah kesal. Aku tahu, Ragil sedang cemburu.

***

Setelah perkuliahan selesai, aku memutuskan pergi ke sungai Nill sendirian. Aku memandangi hamparan air di depan sana. Dulu, aku, Ragil dan Amar datang ke sini bersama. Tapi sekarang....

Jujur, aku merindukan mereka. Merindukan kebersamaan kami.

"Nif, kamu di sini juga,"

Aku berbalik. Itu Elza. Ini kedua kalinya kami bertemu dalam sehari ini.

"Iya, Za. Lagi refresing, capek sama skripsi," jawabku.

"Kok kita sama yah? aku juga kesini karena itu."

Aku hanya tersenyum menanggapi.

"Elza."

"Hanif."

Ucap kami bersamaan. Aku dan Ia sama-sama tertawa.

"Kamu duluan aja," tawarku.

"Kamu aja deh, Nif."

"Hmm .... ok kalau gitu." jawabku tanpa basa-basi.

"Za, aku pengen ngomong sesuatu. Soal surat yang pernah kamu titipkan pada Amar."

Elza terlihat menunduk, mungkin mu aku membicarakan itu. Tapi ini penting dan harus ku tuntaskan.

"Maaf, Za, aku sudah mencintai wanita lain," ucapku ragu.

1 detik

2 detik

3 detik

Setetes air mata ku lihat jatuh dari pelupuk matanya. Aku merasakan sesak, dengan sengaja aku sudah melukai seseorang. Tapi aku harus memutuskan, aku harus memilih.

"Maaf..." ucapku sebelum pergi meninggalkannya.

Apa aku jahat? meninggalkan begitu saja perempuan yang sudah tulus mencintaiku? tapi aku akan lebih jahat jika menerimanya dengan kata terpaksa.

Aku berjalan menyusuri trotoar hingga seseorang menghadang jalanku.

"Kenapa lo lakuin itu?"

Aku mendongak. Itu Ragil. Berdiri dengan wajah datar di hadapanku.

"Apa?" tanyaku tak paham.

"Kenapa lo matahin hati Elza? dia itu udah tulus cinta sama lo!" ucapnya emosi.

"Lalu kenapa?" pancingku.

"Lu masih punya hati gak sih? lo laki-laki kan? kenapa segitu teganya lo nyakitin dia? dasar PECUNDANG!!"

Ia meneriaki ku, meluapkan semua emosinya.

"Kamu yang pecundang, Gil!" aku mulai terpancing.

"Kenapa kamu peduli soal aku dan Elza? kenapa hah?"

"Terserah gua!!"

"Yaudah, terserah saya juga!"

Ia tersenyum meremehkan setelah mendengar jawabanku. Tanpa apa-apa Ia sudah berjalan mendekat untuk melayangkan satu bogem ke wajahku.

Aku tak berhasil menghindar. Tinjunya tepat mengenai rahangku. Aku pun tersulut emisi, aku mengambil ancang-ancang, melakukan serangan balik. Dan hap, aku berhasil.

"Stop ini, Gil! Kamu lupa kuta ini sahabatan!" ucapku lantang saat aku sudah mulai menguasai emosiku.

"Aku tau kenapa kamu kayak gini. KAMU SUKA KAN SAMA ELZA!!"

Ragil tak menampik dan itu artinya " IYA"

"Kalau kamu suka sama dia, gak gini caranya. Jangan paksa aku buat nerima rasa dia sedangkan hati aku udah ada orang lain. Kamu harusnya tau, hati orang bisa berubah. Kenapa kamu gak berusaha merubah rasa Elza cuma buat kamu. Bukannya buat hubungan kita runyam kali kayak sekarang!! Aku capek,Gil! Bukan cuma kamu yang ke siksa, AKU JUGA!!"

Aku berkata lantang. Mencoba menjelaskan ini pada Ragil.

Ragil diam, entah sedang memikirkan apa.

Sedetik kemudian Ia berhambur memelukku.

"Maafin gua, Nif. Gua bodoh!"

"Kamu emang bodoh!" jawabku sambil tertawa. Ragil juga tertawa, kami seperti dulu lagi.

"Kalau kamu suka, perjuangin. Buktiin sama dia."

"Emang bisa, Nif? gua pesimis. Suami idaman Elza itu yang kayak lo, bukan kayak gua gini,"

"Hati itu yang paling gampang berubah, Sob! Usaha dulu lah, jangan pesimis gitu. Katanya ngaku ganteng haha,"

"Haha emang gua ganteng sih. Ok baiklah, Elza tungguin gua. Tapi nanti, gua memantaskan sir dulu."

Kami sama-sama tertawa. Menertawakan tingkah kami yang salah hanya karena masalah cinta. Kini aku dan Ragil seperti sedia kala, menjadi sahabat, sama-sama berjuang  di sini.

"Yaudah, pulang yuk!" ajakku.

Aku dan Ragil berjalan saling berangkulan. Rasanya sudah lama kami tak berbicara seakrab ini.

Dan ternyata tanpa kami sadari, sedari tadi ada yang diam-diam memperhatikan kami. Mendengar semuanya.

***

Assalamu'alaikum gaezz hehe

Part 15 nih

Happy reading yah,

Salam sayang,

Bk2

Skenario TuhanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang