TERASA BERBEDA

13 1 0
                                    

- Hanif -

Empat tahun kemudian.

Lagi-lagi langit Sudah masih menyuguhkan matahari cerah. Panas yang begitu terasa, tanah yang kering tanpa pepohonan.

Aku menatap buku tebal di hadapanku. Tak terasa sudah hampir lima tahun aku meninggalkan Indonesia dan merantau di Sudan. Sesekali rasanya aku ingin pulang saat kuliah sedang libur, tapi aku terkendala biaya. Indonesia - Sudan berbeda benua, tiketnya pun lumayan.

"Nif, bentar lagi kita lulus S1 yah, gak kerasa," ucap Ragil yang berbaring di kasurku.

"Iya, Gil. Waktu berjalan cepet banget yah."

Untuk menyelesaikan S1 di sini memang di butuhkan waktu sekitar lima tahun. Dan tak terasa, Aku dan Ragil sudah hampir menyelesaikannya. Sedang Amar sudah di jenjang akhir.

Aku melirik Ragil, rupanya Ia tertidur. Dia memang selalu begitu, setiap bertemu kasur dan bantal.

Pikiranku mulai menerawang. Aku rindu Indonesia. Rindu kampungku, rindu sanak saudara, dan rindu dia yang tak pernah ku tahu kabarnya.

Ku ambil secarik kertas, aku ingin menulis sebuah surat.

Untuk, Salma

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Dek Salma apa kabar di Indonesia? semoga selalu dalam keadaan baik-baik saja. Mungkin ini surat yang kedua yang Dek Salma dapat dari saya. Surat yang pertama mungkin sudah kamu baca beberapa tahun lalu. Dan sekarang aku menulis surat ke dua ini. Jika dulu surat itu sebagai tanda kepergiaanku, maka surat kedua ini menjadi tanda kepulanganku.

Sudah hampir lima tahun aku merantau di sini. Dan sudah selama itu juga rasa yang dulu selalu ku jaga. In syaa Allah setelah lulus kuliah saya akan pulang. Dan seperti yang Dek Salma tahu, jika Dek Salma belum bersuami dan saya sudah kembali maka saya in syaa Allah siap untuk mempersunting. Surat ini saya tulis sebagai tanda keseriusan saya.

Semoga Dek Salma mengerti.

Salam
Hanif Alfaridzi

Setelah tulisan itu selesai, aku melipatnya menjadi dua lalu memasukkannya ke sebuah amplop. Aku akan mengirimnya besok saja. Mungkin ini terlihat norak. Bida saja aku meminta nomor telpon Salma pada Rifki, tapi menurutku itu sudah hal biasa. Aku cintaku berjuang, seperti surat ini yang harus berjuang dulu untuk bisa sampai ke penerimanya.

"Assalamu'alaikum, Nif."

Amar datang dan mengucap salam.

Aku berbalik lantas menjawab salamnya.

"Waalaikumussalam. Eh, Amar. Baru pulang?" tanyaku.

"Iya, Nih. Pusing aku nyusun skripsi," keluhnya.

"Haha sabar, Mar. Sarjana udah di depan mana antum tuh."

"Iya, Nif doain yak. Ehh itu si Ragil tidur?"

"Iya, molor dia dari tadi."

"Haha gak berubah emang."

"Haha untung Dia betah yah sampai semester ini," ucapku menatap Ragil.

"Eh, Nif aku lupa, ada sesuatu buat kamu."

Amar mengeluarkan sesuatu dari kantong bajunya. Sebuah surat lalu Ia sodorkan padaku.

"Dari siapa? kok tumben."

"Dari penggemar rahasia kamu, Nih hehe."

"Ada-ada aja kamu,Mar."

"Yaudah yah, aku kesini cuma mau ngasih itu. Aku mau lanjut kerja skripsi dulu."

"Ok, semanga!" ucapku mengepalkan tangan.

Setelah salam, Amar keluar meninggalkan kamarku.

Ku pandangi ampol itu. Ku buka perekatnya dengan hati-hati. Ada secarik kertas di dalamnya.

Assalamu'alaikum, Hanif.

Mungkin kamu bingung karena surat ini. Tapi aku mohon agar kamu tetap membacanya. Butuh keberanian lebih saat aku memutuskan mengirim surat ini. Tapi apa pun nanti yang terjadi aku akan terima.

Pertama, aku ingin mengucapkan terimakasih. Terimakasih karena dulu kamu pernah menolongku. Aku tahu pertemuan kita waktu itu bukanlah sebuah kebetulan, tapi sebuah takdir.

Seperti apa yang ku rasakan sekarang. Rasa yang sudah di takdir kan Yang Maha Cinta.

Nif,

Ana....

Uhibbuka

Maaf karena telah mencintaimu saat kita pertama kali bertemu.

Salam,
Elza.

Apa ini? apa maksudnya? aku kaget bahkan tak bisa berkata apa-apa.

Jadi benar Elza menaruh hati padaku? bahkan sejak pertama kali kami bertemu dan itu sudah bertahun-tahun lamanya.

Apa yang harus ku lakukan. Aku mencintai orang lain, tapi juga tidak ingin menyakiti perasaan Elza.

Ku akui Elza adalah gadis yang cantik. Baik hati dan juga cerdas. Tapi mau bagaimana lagi? tidak mungkin aku memaksakan sebuah perasaan.

Tanpa sadar sudah ada orang yang berdiri di belakangku.

Sett

Dengan sekali hentakan, kertas itu sudah berpindah tangan. Aku kaget dan spontan menoleh.

"Ragil!" panggilku.

Aku tak sempat mengambilnya kembali. Ragil sudah mulai membacanya. Ku lihat perubahan di raut wajahnya.

Semenit kemudian Dia hanya memandangku datar.

"Ini," ucapnhya sambil mengembikan surat itu.

Baru saja aku akan menjelaskan, tapi Ragil sudah pergi. Apa Ia marah? baru pertama kalinya Ia bersikap seperti itu.

Aku terduduk lemas. Aku paham, Ragil menyukai Elza sudah lama. Wajar jika Ia merasa kecewa. Aku paham, tapi aku harus apa?

Hati mana yang harus ku jaga? hati mana yang harus ku biarkan terluka.

Salma?

Elza?

Lalu, bagaimana dengan Ragil. Dia sahabatku.

Lalu bagaimana dengan hatiku? siapa yang Ia pilih.

Kenapa cinta serumit ini. Kenapa harus ada yang terluka dan kecewa? apa itu sudah hukumnya?

Aku menatap pintu tempat Ragil keluar baru saja. Aku bangkit, aku harus bicarakan ini pada Ragil. Bagaimana pun Ia adalah sahabatku sejak pertama kali menginjakkan kaki di Sudan.

Apa hanya karena cinta kami harus renggang? apa hanya karena itu kami harus saling mengecewakan?

Semoga tidak....

Skenario TuhanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang