MELEPAS RASA

14 1 0
                                    

- Salma -

______________

Kedatangan Kak Hanif sungguh tak ku duga. Aku bingung harus bahagia atau malah harus bersedih.

Kak Hanif kembali dan sekarang ada di ruangan yang sama denganku. Tapi aku sedih, dia terlambat. Jika saja ia datang sedikit lebih cepat, mungkin aku bisa saja merubah pilihanku. Tapi apa boleh buat, aku sudah meng-iyakan untuk menikah dengan Kak Bayu.

"Waalaikumussalam," kami membawa salam Pak Dana dan Kak Hanif yang baru saja masuk.

"Eh, Pak Dana, mari silahkan duduk," Ibu mempersilahkan.

"Iya, makasih, Bu. Gimana keadaan Pak Herman?"

"Alhamdulillah, sudah agak mendingan."

"Alhamdulillah, syukur kalau gitu. Oh iya, saya dateng sana Hanif," Pak Dana menunjuk Kak Hanif yang duduk di sebelahnya.

Ibu mulai memperhatikan Kak Hanif, mulai mengingat-ingat.

"Hanif ini yang pernah jadi imam di surau kita beberapa tahun lalu. Ingat gak?"

"Ohh, yang itu. Duh maaf yah, ibu sudah tua jadi suka lupa."

"Iya, Bu. Gak apa-apa," jawab Kak Hanif.

"Udah lulus kuliah? atau udah kerja?"

"Alhamdulillah, udah lulus, Bu. Sekarang baru mau nyari kerja."

"Hanif ini lulusan Sudah. Baru aja beberapa hari lalu pulang," jelas Pak Dana.

Aku hanya menyimak percakapan mereka. Kadang-kadang juga Mama Kak Bayu ikut menimpali. Sedang aku dan Kak Bayu hanya diam.

"Bu, aku beli minum dulu yah di kantin," pamitku.

Setelah Ibu meng-iyakan aku keluar dari kamar inap Bapak. Aku tidak tahan harus satu ruangan dengan Kak Hanif.

Melihatnya membuatku semakin terluka. Bagaimana aku harus memulai kata dengannya. Apakah aku harus menjelaskan situasiku sekarang yang sebentar lagi di peristri orang?

Aku berjalan dengan tidak fokus. Terlalu banyak yang ku pikirkan. Keadaan Bapak, Pernikahan Kak Bayu, dan kedatangan Kak Hanif. Situasi ini sangat pelik.

Aku membeli beberapa minuman dingin di kantin rumah sakit yang kebetulan ada di lantai pertama. Setelah membayar, aku kembali dengan menenteng kresek di tangan.

Aku menaiki tangga satu persatu menuju ruang inap Bapak. Karena menghayal aku bahkan hampir terjatuh.

"Hati-hati, Mba," ucap salah satu suster yang tadi dengan sigap memegang tanganku saat akan terjatuh.

"Iya, Mba makasih. Saya tadi kurang fokus."

Aku kembali melanjutkan perjalanan, hingga beberapa meter lagi dari kamar Bapak, aku melihat seseorang sedang berdiri di depan sana.

Ragu-ragu aku ingin mundur untuk menghindari pertemuan dengannya, tapi sudah kepalang tanggung karena ia menoleh dan mendapatiku yang tak jauh darinya.

Aku memutuskan melanjutkan langkah. Sebisa mungkin aku menormalkan detak jantungku. Untuk kesekian kalinya, aku berdebar dan cemas dalam satu waktu.

"Kenapa ada di luar, Kak?" tanyaku alhirnya setelah tadi berpikir keras untuk menyapanya atau tidak. Ku pikir tidak sopan jika aku hanya melewatinya begitu saja tanpa menyapa.

"Hmm ... aku baru aja terima telfon. Gak enak kalau di dalam makanya aku keluar," jelasnya.

"Ohh, gitu."

Canggung. Itu yang ku rasakan. Rasanya aku ingin cepat-cepat masuk ke dalam kamar Bapak.

Tapi sebelum aku melangkah, Kak Hanif sudah memanggilku.

"Salma,"

"I ... iya, Kak?" tanyaku gugup.

"Hmm ... apa kabar?"

"Tidak baik, Kak," lirihku dalam hati.

"Alhamdulillah, baik," jawabku akhirnya.

"Sal, boleh aku nanya?" tanyanya dengan gugup.

Aku hanya mengangguk meng-iyakan.

"Aku tau ini bukan waktu yang tepat untuk menanyakan ini, tapi aku gak mau menyia-nyiakan waktu. Sal, apa kamu udah nikah?"

Aku tersentak dengan pertanyaan Kak Hanif. Aku memang belum menikah, tapi akan.

Aku menggeleng menjawab pertanyaan Kak Hanif, tapi sebelum aku menjelaskan yang sebenarnya, Ibu muncul dari balik pintu.

"Sal, kok malah berdiri di situ. Ayo mana sini minumannya!" minta ibu padaku.

"Iya, ini ada kok."

Aku buru-buru masuk ke dalam kamar. Takut ibu berpikir yang tidak-tidak karena melihatku bersama Kak Hanif.

Setelah aku masuk, Kak Hanif juga mengikut lalu duduk kembali di samping Pak Dana.

"Telpon dari siapa, Nif?" tanya Pak Dana.

"Bibi saya, Pak. Nanyain udah sampe atau belum."

"Oh, gitu yah. Oh, iya Nif. Kenalan dulu sama Nak Bayu."

Kak Hanif berdiri dan menyalami Kak Bayu.

"Hanif."

"Panggil aja Bayu."

Mereka berdua saling melempar senyum.

"Nak Bayu ini pengusaha sukses loh. Punya perusahaan besar," puji Pak Dana.

"Maa syaa Allah, saya jadi kagum," kata Kak Hanif.

"Alhamdulillah, hehe. Ini juga berkat doa Mama saya," balas Kak Bayu.

"Salma beruntung yah dapat calon suami kayak kamu."

Bak mendengar geledek di siang hari, Kak Hanif terlihat terkejut dengan pernyataan Pak Dana. Aku tau, cepat atau lambat pasti Kak Hanif akan mendengar kabar ini.

Aku hanya bisa menunduk. Rasanya aku ingin menangis. Kesal, marah tapi alu bisa apa? ini pilihanku dan aku harus menjalaninya.

"Maa syaa Allah, benar kata Pak Dana, Salma beruntung mendapatkan calon suami seperti kamu Bayu," ucap Kak Hanif dengan sebuah senyuman.

"Makasih, yah Nif. Doakan semoga lancar sampai hari H."

"Aaminn...."

Percakapan berlanjut tapi aku tak begitu menyimak. Apa yang di rasakan Kak Hanif sekarang? apa ia juga hancur seperti aku sekarang?

Setelah beberapa menit kemudian, Pak Dana dan Kak Hanif pamit pulang. Saat akan keluar pintu, aku memandangi punggung Kak Hanif. Tapi ia menoleh dan pandangan kami bertemu. Ia tersenyum. Senyum yang mengisyaratkan bahwa ia tidak baik-baik saja.

Kisah kami mungkin di takdirkan untuk saling terluka.

***

Assalamu'alaikum gaez

Happy reading

Salam sayang, Bk2

Skenario TuhanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang