TELAH BERLALU

12 2 0
                                    

- Hanif -

_______________

Hari-hari sulit telah berlalu. Bukan hal mudah saat Bayu mengatakan membatalkan pernikahannya dengan Salma di depan orang tua Salma dan Mamanya sendiri.

Awalnya mereka semua menentang, tapi Bayu menjelaskan dengan tenang. Untunglah, Bapak dan Ibu Salma lambat laun setuju juga. Sedangkan dari Mama Bayu, ia mendukung setiap pilihan anaknya.

Hari ini aku memutuskan berjalan menyusuri jalanan perkampungan yang jauh dari kata ramai oleh kendaraan. Memudahkanku menikmati pemandangan langit yang sebentar lagi berubah jingga.

Aku tak pernah menyangka, tongkat yang ku kira sebentar lagi akan patah nyatanya kembali lurus seperti semula.

"Sekarang waktunya kamu berjuang kembali."

Itu yang di katakan Bayu padaku. Benar apa yang dia katakan. Saatnya aku memperjuangkan Salma kembali.

Baru saja aku memikirkannya, Salma muncul tak jauh dari tempatku sekarang. Ia berjalan dari arah berlawanan.

"Assalamu'alaikum, Sal," salamku padanya.

"Waalaikumussalam, Kak."

"Dari mana?"

"Ini dari warung," jawabnya sambil memperlihatkan kantong kresek yang ia pegang.

"Sal, apa aku boleh bertanya?"

"Silahkan, Kak. Gratis kok, gak usah sungkan," jawabnya terkekeh.

"Kalau aku melamarmu, apa kamu menerimanya?"

Salma masih menunduk. Posisi kami sekarang saling berhadapan tapi sama-sama di sisi jalan yang berbeda. Kami di pisahkan jalan beraspal yang tak begitu luas.

"Kalau Kak Hanif mau tau jawabannya, tanyakan itu pada Bapak."

Ucapnya lalu kemudian beranjak pergi. Aku lalu tersenyum penuh arti.

"Tunggu sebentar, Sal. Aku pasti akan menemui Bapakmu," ucapku sambil tersenyum bahagia.

***

Malam harinya selepas salat isya, aku menghubungi Paman dan Bibi. Aku ingin memberitahu kalau aku akan melamar Salma.

"Jadi gimana, Bi? Bibi setuju tidak?"

"Bibi mah setuju-setuju aja, Nif. Yang penting perempuannya solehah."

"In syaa Allah, Bi."

"Nif, kamu mau Paman temani tidak datang ke rumah calonmu. Kalau mau Paman bisa pesan tiket kereta ke sana." Kali ini Paman yang berbicara.

"Gak usah, Paman. Pak Dana siap nemenin aku."

"Ohh, lurah yang kamu ceritain itu, Nif?"

"Iya, Paman. Orangnya sangat baik."

"Yaudah, nanti kalau butuh sesuatu bilang sama Paman dan Bibi, yah."

"Iya, Paman. In syaa Allah."

"Paman sama Bibi cuma bisa doain buat kamu. Semoga di lancarkan yah, Nak."

"Aaminn ... Makasih Paman, Bi."

"Iya, Nak."

"Yaudah, Hanif matikan dulu. Nanti Hanif telpon lagi. Assalamu'alaikum."

"Waalaikumussalam."

Tut

Sambungan itu terputus.

Aku menerawang ke atas. Betapa aku tidak menyangka semua ini akan terjadi.

Betapa indahnya skenario-Mu yaa Rabb

Lalu tiba-tiba handphone ku berdering lagi. Aku pikir itu telepon dari Paman atau Bibi, tapi ternyata sebuah panggilan vidiocall dari Ragil. Aku memperbaiki posisi lalu mengangkatnya.

"Woi lu dari mana aja hah?!? gak pernah ngabarin!" ucap Amar di seberang sana.

"Haha salam dulu, Gil. Langsung marah-marah aja."

"Assalamu'alaikum," ucapnya sedikit ketus.

"Waalaikumussalam," jawabku terkekeh.

"Lu sibuk ngapain sih? Selama balik Indo lu gak pernah ngabarin lagi."

"Yahh Maaf, aku pikir kamu lagi sibuk ngurusin pernikahan kamu makanya aku gak hubungin."

"Alasan lu! Pokoknya gua nikah lu sama Amar harus ke sini."

"Siap, in syaa Allah. Prosesi lamarannya udah, Gil?"

"Alhamdulillah udah, Nif. Akadnya nanti tanggal 1 bulan depan."

"Alhamdulillah, akhirnya kamu gak jomblo lagi haha."

"Iya dong. Lu tuh sama Amar masih betah aja ngejomblo."

"Eh sorry yah, bentar lagi aku juga mau nikah."

"Astaga! Demi apa?!? Serius lu?"

"Iya, doain aja. Bentar lagi ana mau lamaran hehe."

"Tunggu, tunggu, si Amar harus tau berita ini. Lu pasti belum ngabarin dia kan?"

Aku menggeleng, sedetik kemudian Ragil menambahkan Amar dalam panggilan kami.

"Assalamu'alaikum."

Itu suara khas milik Amar.

"Mar, Amar!! Ada berita panas, si Hanif mau nikah!"

"Hah? Seriusan? Bukannya kamu, Gil?"

"Iya gua juga, kemarin udah lamaran. Nah tuh si Hanif, katanya bentar lagi dia juga bakalan lamaran."

"Beneran, Nif? Antum udah mau nikah?"

"Iya, Mar. Doain yah."

"Nah tuh kan bener. Haha berarti tinggal kamu, Mar."

"Ngejek kamu yah, Gil. Awas aja!"

"Haha makanya gercep dong cari calon."

"Yahh ini juga lagi usaha."

"Oh, iya, Nif. Calon kamu siapa?" tanya Ragil.

"Namanya Salma."

"Salma? Hmm ... Oh Salma yang pernah kamu ceritain kan?"

Aku mengangguk.

"Wihh jodoh emang gak bakal kemana."

"Lamarannya kapan, Nif?" tanya Amar.

"Besok in syaa Allah aku bakalan ke rumahnya buat ngekhitbah. Doain yah."

"Siap. Doain ana juga supaya bisa nyusul kalian hehe."

"Gua aaminin." kata Ragil tulus

"Aaminn...." ucapku.

Obrolan kami berlanjut. Banyak hal yang kami bahas. Rinduku pada dua sahabatku ini benar-benar terobati walau hanya sebatas virtual.

Besok. Besok aku akan datang ke rumah Salma untuk mengkhitbah. Sebelumnya aku sudah mengabari Bapak dan Ibu Salma bahwa aku akan datang.

Pak Dana dan istrinya juga sudah tahu. Mereka sangat senang ketika tahu bahwa aku akan melamar salah satu warga di sini. Bahkan Pak Dana siap menemaniku.

Sekali lagi aku tak menyangka alurnya akan seperti ini. Benar kata orang, banyak hal yang tak terduga yang bisa terjadi.

Aku sangat berterimakasih atas kebesaran hati Bayu. Mengikhlaskan memang sangat sulit, tapi ia rela melakukan itu asal Salma bahagia walau harus jauh darinya.

"Ya .. Rabb, terimakasih atas segala nikmat-Mu," lirihku sebelum tidur.

***

Assalamu'alaikum, happy reading yah:)

Salam sayang,

Bk2

Skenario TuhanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang