TERPAKSA PERGI

16 2 0
                                    

- Salma -

______________

Aku menangis. Mengunci kamar. Sedari tadi Ibu sudah mengetuk tapi tak aku buka.

Hari ini, Kak Hanif mengatakan akan datang ke untuk mengkhitbah. Tapi musibah yang menimpa Pak Dana dan keluarganya membuat Kak Hanif membatalkan niatnya untuk datang hari ini. Aku maklum akan hal itu, Bapak dan Ibu juga memaklumi.

Tapi bukan itu yang membuatku menangis. Kejadian tadi, kejadian saat Kak Hanif mengatakan bahwa ia akan menikahi Dania membuat hatiku patah dan hancur berkeping.

Baru saja ku cecap manis, tapi akhirnya pahit jua yang ku dapat.

"Salma, sudahlah Nak. Jangan nangis lagi."

Ibu masih setia menungguku membuka pintu.

"Jangan salahkan Hanif sepenuhnya. Ia hanya ingin menyelamatkan nyawa Dania."

Iya, menyelamatkan satu nyawa tapi menghancurkan banyak hati.

"Percayalah, Nak. Hanif mungkin lebih kacau dari kamu. Ia lebih sakit dari kamu. Ia mencintaimu tapi harus menikahi perempuan lain. Dia di paksa keadaan, Nak."

Apa aku harus mengalah lagi? Aku aku tidak boleh egois?

"Salatlah Salma. Hanya dengan itu hatimu akan menjadi tenang."

Benar kata Ibu. Aku terlalu larut dalam kesedihan hingga aku lupa mengadu pada yang di atas.

Aku berusaha bangun. Menangis sejam lebih membuat mataku terasa bengkak.

Dengan langkah pelan aku masuk ke dalam kamar mandi. Mengambil air wudhu lalu bersegera untuk salat.

Ku laksanakan dua rakaat salah hajat. Yah, aku ingin meminta, meminta Allah agar melapangkan dadaku.

Aku mengadahkan tangan meminta pada sang Maha Pengatur segala.

"Yaa ... Rabbi, aku datang kepadamu. Mengadahkan tangan, meminta pertolongan-Mu.

Yaa ... Rabbi, kejadian hari ini membuat hamba sakit. Tapi hamba tau, dengan ini Engkau ingin mengajarkan hamba agar menjadi lebih kuat dan tabah.

Yaa ... Rabbi, di hadapan-Mu aku meminta, lapangkanlah dadaku. Luaskan hatiku menerima semua ini. Jika memang Kak Hanif bukan jodoh hamba, ajari hamba ikhlas. Tuntun hamba agar bisa melepaskan.

Yaa ... Rabbi, hanya kepadamu aku meminta dan hanya kepada-Mu aku memohon

Aamiinn....

Aku mengambil Al-Qur'an di atas nakas. Aku mulai membacanya. Dengan ini aku merasa lebih tenang hingga aku tak sadar tertidur di atas sajadah.

***

Hari ini aku mulai menata hati kembali. Mencoba untuk belajar ikhlas....

Tapi aku tak sekuat yang mereka fikir, aku manusia biasa. Aku memutuskan untuk pergi dari kampung ini. Aku tak kuat jika harus melihat Kak Hanif dan Dania menikah. Mereka berdua adalah orang-orang penting dalam hidupku, dan aku ingin melihat mereka bahagia.

"Nak, apa kamu yakin?" tanya Bapak.

Aku tersenyum lalu menjawab

"Iya, Pak. In syaa Allah ini keputusan terbaik. Ini cara terbaik agar aku dan Kak Hanif bisa sama-sama saling mengikhlaskan. Ini juga demi kebahagiaan Dania yang sebentar lagi akan menjadi istri Hanif."

"Tapi seberapa lama kamu mau pergi, Nak?" tanya Ibu.

"Entahlah, Bu. Mungkin beberapa bulan."

"Bapak dan Ibu hanya bisa mendukung dan mendoakan setiap keputusan kamu, Nak."

Aku memeluk kedua orang tua ku lama. Pelukan ini akan aku rindukan.

Pukul 7 pagi aku berangkat menuju stasiun kereta diantar salah satu mobil dari saudara Bapak.

Berat, berat rasanya meninggalakan kampung ini.

***

Perjalan kurang lebih empat jam membuat sekujur tubuhku lelah. Kondisi hati yang memang sedang tidak baik, membuat tubuhku juga terasa lemas.

Aku memutuskan untuk mengasingkan diri di sebuah pesantren yang didirikan oleh Bibiku. Dia adik dari Ibu. Ia dan suaminya mendirikan sebuah pesantren yang jauh dari perkotaan. Di sana aku akan mengakar sebisaku.

"Assalamu'alaikum, Bu'de, aku udah nyampe di stasiun," ucapku.

"Waalaikumussalam. Rama udah Bu'de suruh buat jemput kamu. Tadi dia bilang udah sampe kok."

"Oh, gitu yah Bu'de. Kalau gitu aku nyari dia dulu."

"Iya, kalau gak ketemu telpon Bu'de lagi yah."

"Iya, Bu'de."

Lima belas menit mencari akhirnya aku melihatnya. Itu Rama, adik sepupuku.

"Rama!" panggilku sambil melambaikan tangan.

Ia melihatku kemudian mendekat.

"Assalamu'alaikum, Kak salma. Udah lama yah sampainya. Maaf yah, tadi aku makan dulu di warung sana hehe."

"Waalaikumussalam. Belum lama, Kok."

"Woi, Ram! Kok ninggalin gua sih!"

Seseorang menepuk punggung Rama. Seorang pria dengan tampang seperti anak brandalan.

"Kamu sih lelet banget."

"Ihh dasar!"

"Eh, btw kakak sepupu lu udah nyampe belum?"

"Udah, Nih." Rama menunjukku.

Aku tersenyum pada teman Rama itu. Ia hanya memandangku tanpa berkedip.

"Hei!! Jangan lama-lama mandanginnya. Nanti kamu jatuh cinta lagi sama kakak aku."

"Emang gua udah jatuh cinta," ucapnya sambil memegang dadanya dramatis.

Aku hanya terkekeh mendengarnya.

***

Hari demi hari ku lalui di tempat ini. Dengan ramainya anak pesantren membuatku sedikit demi sedikit melupakan kejadian pahit yang sudah ku alami. Aku juga dengan rutin menghubungi Bapak dan Ibu di kampung.

Rama dan temannya, Gibran namanya, membuatku bisa tertawa kembali.

Tapi setiap malam aku masih memikirkan Kak Hanif. Bahkan sampai sekarang aku tidak pernah berani menanyakan perihal Kak Hanif dan Dania pada Ibu atau Bapak.

"Kamu seneng gak di sini?" Gibran menayaiku.

"Iya, aku seneng." jawabku.

Sekarang kami bertiga sedang memancing di sungai belakang pesantren.

"Kamu percaya gak cinta first sight?"

"Hmm ... percaya sih."

"Jadi kamu percaya dong kalau aku benar-benar jatuh cinta sama kamu saat pertama bertemu."

Aku cukup kaget dengan pernyataan Gibran. Tapi sedetik kemudian aku hanya tertawa, aku pikir dia hanya main-main. Tapi Rama pernah mengatakan padaku bahwa Gibran pernah mengatakanpadanya kalau ia menyukaiku.

***

Assalamu'alaikum, happy reading yah:)

Salam sayang,

Bk2

Skenario TuhanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang