18. DIBENCI

27 15 3
                                    

Reza mengeringkan rambut Ara dengan handuk. Lalu merapikannya dengan sisir. Tidak lupa dia mengobati luka luka lebam di wajah dan bagian tubuh lain Ara. Namun, Ara belum berhenti nangis.

"Kenapa mereka semua lakuin itu ke lo?" tanya Reza. Wajah seriusnya membuat Ara sedikit takut.

"Gu--gue gak tau,"

"Udah,jangan nangis lagi," kata Reza menenangkan. Kedua tangannya merengkuh tubuh Ara.

Syukurnya,ditaman itu hanya ada mereka berdua. Ara lebih tenang. Ia malah membalas pelukan Reza. Dalam hatinya,ia berharap tidak ada lagi yang menjahatinya.

Namun ia salah.

Bahkan bukan hanya satu kelasnya,tapi seluruh sekolah menatap benci kepadanya. Terkhususnya siswi.

Seperti kemarin,ia dikunci di toilet sekolah oleh seseorang hingga jam pelajaran usai. Akibatnya,ia dianggap membolos dan dihukum.

Tidak hanya itu. Setiap ia lewat,semua orang menatapnya dan langsung berbisik bisik. Ia tidak tau apa penyebabnya. Namun hal ini hanya Ara seorangng yang merasakan. Saat Ara sedang bersama Reza, semua siswi sekolah bersikap manis kepadanya. Seolah tidak ada apa apa.

Ara bingung sendiri apa yang salah dengannya?

Pagi ini Ara menolak tawaran Reza untuk mengantarnya pulang. Sehingga,Ara pulang berjalan kaki kos an nya. Ya,memang jarak sekolah dan kos annya cukup jauh. Tapi tidak ada pilihan lagi.

Ia ingin sekali mengambil mobilnya yang ada dibengkel. Tapi,dia tidak punya uang. Bukannya tidak ada,tapi dia berusaha menghemat. Sejak tinggal sendiri ia berusaha hidup hemat. Ia takut tabungannya tidak cukup membiayai kehidupannya. Sewa kos,sekolah,dan makan. Apalagi dia tidak kerja.

Ah,sejenak timbul keinginan untuknya kerja.

Dipintu depan kos an nya,Ara menemukan sebuah kotak kecil dengan pita berwarna merah. Ia meraihnya.

Buat apa kotak ini ada disini? Gue pesan barang kah? Enggak deh kayaknya. Jadi ini punya siapa?,batin Ara.

Ia melihat sekeliling kos annya. Sepi. Lala pun tampaknya belum pulang sekolah. Akhirnya ia memutuskan membuka isinya. Baru saja membukanya,Ara langsung melempar kotak itu karena terkejut.

Ia bergegas masuk kamar  dan mengunci rapat pintu. Ia berusaha mengatur kecepatan jantungnya.

Apa apaan tadi?! Siapa orang yang mengiriminya kotak berisi pisau berlumuran darah?!

Gawat! Ada apa sebenarnya ini?!

***

"Kapan sih kamu mau mendengar kata Papa?!"

"Kapan sih Papa berhenti ikut campur masalah Juan?!"

"Kamu itu anak saya! Saya berhak atas kamu!"

"Tapi dengan Papa mencampuri urusan Juan,Juan malah berpikir kalau anda bukan Papa saya!" balas Juan dengan suara keras.

Ia sudah muak. Muak dengan tingkah Papanya yang selalu mencampuri masalah asmaranya.

Papanya selalu mengirim gadis untuk mendekatinya. Itu membuat nya jengah. Dan waktunya berkumpul dengan Juan dan Aldi berkurang.

"Sudah,Pa," Mama Juan berusaha menenangkan Papa Juan yang sebentar lagi akan meledak.

"Papa ini Papa kamu Juan! Papa cuman mau kamu bahagia,"

"Dengan mencarikan jodoh bagi Juan? Juan bahkan belum tamat SMA,Pa!"

"Papa mencari jodoh buat kamu bukan agar kamu menikah. Papa mengerti kamu belum mau menikah. Kamu masih ingin menikmati masa mudamu bersama teman teman kamu." Papa Juan menarik nafas sebelum melanjutkan. Suaranya turun dan tatapannya membuat Juan tak bisa mengelak.

"... Tapi Juan,Papa khawatir. Sifat kamu yang dingin ke banyak orang bagaimana kamu bisa mencari pacar. Bahkan teman teman kamu hanya Reza dan Aldi. Tidak selain itu. Hanya itu Juan. Itu yang papa cemaskan. Karena Papa sayang sama kamu,"

Juan menunduk. Tak sanggup melihat wajah Papanya yang tampak menahan tangis. Ia memilih meninggalkan ruang keluarga. Mencari udara segar,mungkin.

***

Jejaknya kakak:)

Jerniati
01 Juli 2020

8 LETTERS  [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang