Bayangan hitam yang selalu menyelimutinya. Menenggelamkan segala cahaya hangat yang terpancar darinya, hilang begitu saja bersama hembusan nafas sang ibu. Segala yang terucap dari mulut ibunya, bagaikan sihir yang membuatnya patuh dan tak dapat membantah sedikitpun. Elusan tangan ibunya yang dingin, menyentuh kulit pipinya. Senyum tipis dengan sorot mata kelam sang ibu, terpantul dari cermin yang ada di depan mereka.
"Kau...tidak akan pernah bisa mengenali dirimu sendiri. Yang kau tau, hanyalah namamu...Lee Jihoon. Jadilah seperti yang ibu katakan, jadilah seperti ibu...kau tidak akan pernah bisa menemukan jati dirimu, kecuali kau bisa mendapatkan cintamu...arraseo?" Nada itu terdengar tenang, pelan dan menakutkan. Bukan seperti sebuah nasihat, melainkan kutukan baginya.
Apakah ia akan terjebak dalam kelamnya hidup sang ibu? Akankah ia berada di kegelapan ini, bersama bisikan sang ibu? Atau mungkin, ada seseorang yang datang untuk menjemputnya pergi?
Bertahun-tahun berlalu, hidup dengan kegelapan telah mengajarinya banyak hal. Bukan soal kebaikan, tapi tentang bagaimana menuruti bisikan yang ada di dalam dirinya.
Tangannya yang semula bersih, kini sudah ternodai. Sorot matanya menatap lurus ke bawah, menatap sosok wanita yang sudah tak bernyawa dengan kepalanya yang sudah terbentur keras di tanah belakang rumahnya yang berlapis semen.
Ia tersenyum tipis, lalu berbalik masuk ke dalam rumahnya. Membiarkan jasad itu membusuk dengan sendirinya, mungkin. Tapi tidak, ia lebih menghampiri sosok wanita itu, yang tak lain adalah ibunya.
Berjalan mendekati jasad itu, membiarkan telapak kakinya ternodai dengan darah sang ibu. Berjongkok dan mengusap kepala ibunya dengan senyum yang menyeramkan, terlukis di wajahnya.
"Aku sudah menjadi yang seperti ibu katakan, ikuti semua bisikan yang ada di dalam diriku. Kau pasti bahagia, karena akulah yang mengantarmu ke surga. Selamat tinggal ibu, aku menyayangimu..." Ia mengecup pipi ibunya, lalu bangkit dan berjalan masuk ke dalam rumahnya.
Tanpa rasa bersalah sedikitpun, ia pergi menuju kamar mandi. Membersihkan kaki dan juga tangannya, lalu pergi ke kamarnya dan tidur. Seolah-olah yang dilakukannya adalah sebuah mimpi yang menyenangkan dan baru saja ia lakukan.
•••
Sorot matanya yang tajam dan dingin, wajahnya yang tanpa ekspresi. Jarang bicara dan selalu memancarkan aura gelap, yang membuat siapapun yang berada di dekatnya bisa merasakan.
Terjebak dalam kegelapan bersama sosok ibunya, membuatnya kehilangan banyak hal yang seharusnya ia lakukan di umurnya yang telah menginjak 24 tahun. Jatuh cinta, ya Jihoon ingin merasakannya. Sekaligus, ingin segera menghilangkan kutukan sang ibu pada dirinya.
Tapi apakah itu bisa ia lakukan? Bahkan semua orang yang berhadapan dengannya saja, selalu lari begitu melihatnya.
Semenakutkan itukah dirinya?
"Tuan...waktunya pergi" Ujar seorang bawahannya, Vernon.
"Siapa yang harus ku kunjungi lebih dulu...ayah atau ibuku?" Tanya Jihoon tanpa berminat untuk menoleh ke arah Vernon.
"A-aku tidak tau tuan...itu terserah anda..."Ujar Vernon penuh ketakutan. Rahang Jihoon mengeras, matanya memicing ke arah bawahannya itu.
"YAH!!!"pekik Jihoon, membuat tubuh bawahannya itu bergetar sambil menundukkan kepalanya ketakutan.
"Pergilah ke makan ayah anda terlebih dahulu..." Sahut seseorang yang datang dari salah satu ruangan di rumahnya. Seseorang itu berjalan mendekat ke arah mereka, lalu berdiri tepat di hadapan Jihoon.
"Vernon-sshi, pergilah. Biar aku yang mengantar tuan Lee hari ini..." Vernon mengangguk patuh, ia membungkukkan tubuhnya sopan, sebelum akhirnya pergi meninggalkan ruangan itu.
Ia Seungkwan, orang kepercayaan ayah Jihoon. Mereka seumuran. Dulu, saat ayah Jihoon sakit-sakitan, ibu Seungkwan-lah yang merawat ayah Jihoon, karena ibunya bekerja sebagai pelayan disini. Ayah Jihoon menitip pesan pada ibu Seungkwan, untuk menjaga Jihoon setelah ia pergi. Tak lama setelah kematian ayah Jihoon, 6 bulan kemudian ibu Seungkwan menyusul dan berakhirlah Seungkwan yang kini menjaga Jihoon.
"Kajja, kita pergi...setelah dari makam mereka, anda harus ke kantor. Hari ini ada meeting penting, anda tidak boleh menundanya lagi" Ujar Seungkwan panjang lebar. Jihoon menghela nafasnya, lalu meninggalkan Seungkwan pergi terlebih dahulu.
Hanya Seungkwan yang mampu membuat seorang Lee Jihoon yang keras dan pemarah, bisa luluh dan mau mengikuti apa yang ia katakan. Walau, seringkali Seungkwan juga menjadi imbas kemarahan tuan mudanya itu.
•••
Disinilah mereka, di makam ayah Jihoon. Seungkwan berjongkok untuk mengelus nisan tuan besarnya, lalu menaburkan bunga ke atas makam itu. Berbeda dengan Jihoon, ia hanya berdiri diam di sebelah Seungkwan sambil menatap tanpa minat ke apa yang dilakukan Seungkwan.
Jihoon memang selalu begitu, jika diajak ke makam orang tuanya. Entah kenapa, ia bisa bertindak setidak peduli itu, bahkan dengan orang tuanya sendiri.
Jihoon melangkahkan kakinya berjalan menuju makam sang ibu, yang tak jauh dari makan sang ayah. Menatap angkuh batu nisan bertulisan ' Lee Jyeri ' itu, lalu tersenyum sinis.
Seungkwan hanya diam di makam ayah Jihoon, sambil menatap apa yang dilakukan oleh tuan mudanya.
"Lee Jyeri...apa kau tidur nyenyak disana? Tidak, kau pasti disiksa bersama iblis dari kegelapan mu, bukan? Selamat menikmati. Aku menyayangimu..." Sebuah kalimat yang tidak pantas untuk dikatakan seorang anak, bahkan untuk ibunya yang sudah tiada. Ia seharusnya mendoakan, bukan mengatakan hal yang tidak baik seperti itu.
Crak~
Suara batang kayu yang patah karena diinjak seseorang, membuat Jihoon mengalihkan pandangannya ke depan. Mendapati seorang pria dengan bucket bunga ditangannya, tengah berjongkok menatap sebuah batu nisan dengan senyum tipisnya.
Tak lama kemudian pria itu menyadari bahwa dirinya tengah diperhatikan, lantas ia menoleh menatap seorang pria dengan tatapan datar yang kini tengah menatapnya. Jihoon tersenyum tipis, membuat pria itu juga ikut tersenyum canggung.
"Siapa yang kau kunjungi?" Tanya Jihoon tiba-tiba, membuat pria itu menaikkan sebelah alisnya.
Pria itu meletakkan bucket bunga yang ia bawa ke atas makam itu, lalu berdiri berseberangan dengan Jihoon.
"Dia kekasihku...dia meninggal setahun lalu, karena kecanduan obat terlarang" Ujar pria itu, Jihoon tersenyum miring menatap nisan yang dimaksud pria itu.
"Sayang sekali, ia menyia-nyiakan hidupnya. Padahal, ada seseorang yang sangat menyayanginya..." Pria tersenyum tipis mendengar perkataan Jihoon.
"Mungkin, memang kami tidak ditakdirkan bersama. Tak apa, aku juga sudah merelakannya..." Jihoon menatap pria itu, entah apa yang kini di pikirkan Jihoon. Tapi, ia tertarik dengan pria itu.
"Menarik, aku ingin bermain-main dengannya..."
•••
Update seminggu sekali ya, setiap malam rabu.
Makasih, stay safe ya💖
#Two_Sides
KAMU SEDANG MEMBACA
Two Sides || Soonhoon
Fanfiction[Version :1/2] - "He just wants to feel what the happiness is in his life" - ⚠️ B×B Rated [🔞] TW// many harsh words, murder, traumatic, etc. Homophobic ❌ Tidak untuk ditiru, jadilah pembaca yang cermat. • Not for minor!! • - Happy Reading - © L I A...