13. Biasa

151 49 2
                                    

Pattar melanjutkan kegiatannya mengeluarkan sayuran dan bahan-bahan lain dari kantong belanja untuk meredam rasa malu yang kini ia rasakan. Reva yang duduk di sampingnya terus menggoda Pattar dengan menyenggol lengannya berkali-kali. Bunda yang melihat kejahilan putri bungsunya hanya bisa tertawa kecil. Setelah menyelesaikan kegiatannya, Pattar langsung pamit pulang karena tujuannya sudah selesai dengan mengetahui apa yang dilakukan Hana dan Petra. Pattar berjalan melewati Hana yang tengah duduk kaku memandang paper bag yang ada di meja.

"Pattar, maaf." Hana menolehkan kepalanya ke arah Pattar yang hendak menuju pintu depan.

Pattar berbalik kemudian tersenyum. Senyumannya terlihat dingin dan ada sorot kekecewaan di matanya. "Lo gak punya salah apa pun. Besok berangkat bareng gue atau Bang Petra?"

Mata Hana bergetar dan kedua tangannya meremas satu sama lain, "Gue sudah punya janji sama Bang Petra."

"Oh oke, kalau gitu besok gue bisa jemput yang lain." Pattar segera melanjutkan langkahnya menuju pintu depan. Ia tidak menolehkan kepala sama sekali.

Hana memandang punggung Pattar yang semakin lama semakin menjauh. Hana menyesali kata-katanya, seharusnya ia lebih dulu menjelaskan alasannya berangkat bersama Petra. Besok mereka harus mengambil poster sebelum berangkat ke sekolah, karena itu Hana setuju untuk berangkat bersama Petra. Selama Pattar tidak ada, Hana jarang sekali pergi atau pulang sekolah bersama Petra. Mereka hanya pulang bersama ketika ada keperluan yang harus diselesaikan.

***

Pattar melepaskan ikatan pada rambutnya setelah ia tiba di garasi. Gelang karet hitam yang sebelumnya digunakan sebagai ikat rambut kembali ia kenakan sebagai gelang di tangan kirinya. Pattar meletakkan helmnya di rak dekat motornya, kemudian ia berjalan menuju pintu depan. Pattar mendorong salah satu daun pintu yang ada di hadapannya, ia menutup pintu pelan dan berjalan dengan lambat untuk mengurangi suara yang mungkin ia timbulkan saat masuk.

"Kamu dari mana?" Suara wanita yang usianya sudah melebihi setengah abad itu tiba-tiba terdengar. Ia berjalan mendekati Pattar dengan langkah yang mantap kemudian ia berdiri dengan tangan terlipat di depan dada.

"Rumah Bunda." Pattar menjawab pelan dan ia menundukkan kepalanya. Masih jelas dalam ingatan Pattar, beberapa waktu lalu Mama menunjukkan perhatian dengan memberikannya seragam baru. Tapi, nada suara Mama saat bertanya tadi mengingatkan Pattar akan fakta bahwa ia bukan siapa-siapa di rumah ini.

"Kamu selalu pergi ke sana dan makan di sana. Rumah kamu itu di sini. Kan Mama sudah bilang, jangan sering merepotkan orang. Sejak kecil kamu memang sulit diatur." Mama terus menaikkan nada suaranya.

Kepala Pattar menunduk semakin dalam. Ia sedang menimbang-nimbang untuk beranjak dari tempatnya ketika sebuah suara kaca pecah diiringi teriakan dari lantai dua terdengar. Mama kontan berlari melompati anak tangga seperti orang kesetanan. Pattar sebenarnya khawatir, tapi ia mengurungkan niatnya untuk ikut menuju sumber suara. Ia tetap berdiri di tempatnya dengan kepala yang masih menghadap ke lantai. Tanpa sadar, Pattar bersikap seperti itu karena tubuhnya sudah terbiasa. Sejak kecil ia sudah terbiasa dengan hukuman berdiri menghadap tembok dan merenungi kesalahan sampai Mama mengizinkannya untuk duduk.

Tak lama kemudian, Mama berteriak memanggil asisten rumah tangga mereka menuju lantai dua. Setelah asisten rumah tangga mereka tiba di lantai dua, Mama menuruni anak tangga dengan wajah yang masih terlihat dingin.

"Sudah tahu kesalahan kamu apa?" Mama bertanya kepada Pattar dengan nada yang masih sama tinggi dengan sebelumnya.

"Sudah." Pattar mengangkat kepalanya dan menatap mata wanita yang telah melahirkannya.

"Kamu boleh masuk ke kamar."

Pattar berjalan melewati Mama dan ia langsung menuju tangga. Ketika baru setengah jalan, ia berpapasan dengan asisten rumah tangga mereka yang tengah membawa pecahan gelas di kotak sampah.

"Kenapa, Bi?" Pattar berbisik.

"Mas Petra gak sengaja senggol gelas di meja belajarnya. Tapi Mas Petra baik-baik aja kok, gak ada luka."

"Baguslah." Pattar mengangguk kemudian melanjutkan langkahnya.

***

Petra baru saja keluar dari kamar dengan gelas kosong di tangannya ketika ia mendengar suara motor Pattar memasuki garasi. Petra keluar dari kamar untuk mengambil minum di dapur. Ia berjalan cepat untuk menghindari berpapasan dengan Pattar, tapi langkah Petra terhenti ketika melihat Mama yang keluar dari kamar dan berjalan ke arah pintu depan. Petra mendengar percakapan Mama dan Pattar, ia juga baru mengetahui kalau tadi Pattar berada di rumah Hana.

Mama mulai membentak Pattar. Pattar hanya diam dan tertunduk. Ia terus menunduk tanpa memberikan alasan. Salah satu hal yang paling Petra benci adalah ia tidak pernah punya keberanian untuk membela adiknya. Dulu, ia hanya berdiri dan tak bersuara ketika Pattar dimarahi karena kesalahan yang sebenarnya ia lakukan. Kini Petra sudah dewasa dan ia harus mengumpulkan keberanian untuk membela Pattar.

Petra kembali ke kamarnya dan mengangkat gelas kosong di tangannya tinggi-tinggi kemudian dengan sengaja ia menjatuhkan gelas itu. Tak lama kemudian, pintu kamar Petra dikuak. Mama berdiri sambil memegangi lutut, napasnya terengah. Petra berharap tindakannya dapat menghentikan Mama untuk memarahi Pattar.

"Kamu gak apa-apa? Gak ada yang luka?" Mama meraih tangan Petra dan memperhatikan tiap sisi tangannya.

"Aku gak apa-apa, Ma." Petra tersenyum, sepertinya rencana ini berhasil.

"Bi...Bibi..." Mama berteriak memanggil asisten rumah tangga mereka.

"Biar Bibi yang beresin, kamu jangan pegang apapun di dekat situ. Mama mau selesaikan urusan sama Pattar dulu." Mama mengusap pelan lengan Petra.

"Tapi, Ma." Kalimat Petra terhenti, suaranya enggan keluar. Petra mengepalkan tangannya untuk mengumpulkan keberanian, "tolong jangan bentak Pattar, Ma."

"Pattar itu urusan Mama, kamu lanjutkan belajar aja." Mama berjalan meninggalkan Petra yang kini menghela napas karena kecewa. 



#30daywritingchallenge #30DWCJilid24 #Day17

The Untold Story ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang