Langit cerah dan matahari bersinar terik, hal ini sangat kontras dengan kondisi di pemakaman saat ini. Prosesi penguburan diiringi tangis, kecuali satu orang yang tidak meneteskan air mata sama sekali. Wajahnya lebih pucat dari biasanya, mata cokelatnya berubah menjadi kelam dan ia berdiri di tempat yang sama tanpa bergerak. Setelah prosesi pemakaman, laki-laki itu bergerak menghampiri saudaranya.
"Gue bawa mobil sendiri. Gue titip Mama." Petra berkata dengan wajah datar.
Adiknya mengangguk kaku kemudian menepuk pundak saudaranya, "Hati-hati bawa mobilnya."
"Iya." Petra menjawab dan mengulurkan tangan Mama - yang sejak tadi ia genggam - kepada adiknya.
Pattar meraih tangan kanan Mama dan menuntun wanita itu menuju parkiran. Ia sudah jauh lebih tenang dari sebelumnya.
Petra memilih untuk tidak meninggalkan pemakaman yang sudah sepi itu. Ia justru duduk di samping makam yang masih basah dan ia terus memandang sebaris nama yang ada di nisan. Ia masih tidak percaya. Semua terasa seperti mimpi. Bayangan dari minggu lalu memenuhi kepalanya.
Petra sedang libur dari aktivitas koasnya. Ia memilih untuk menghabiskan hari liburnya di rumah. Ia bangun terlalu pagi karena sudah terbiasa dengan jadwal magangnya. Masih dengan pakaian tidurnya, ia berjalan ke luar rumah dan meregangkan badan di halaman. Tiba-tiba perhatiannya teralihkan pada mobilnya yang sudah sangat lama tidak ia cuci. Mobil hitamnya sudah berubah menjadi abu-abu.
Petra meraih selang air dan mengambil peralatan mencuci mobil yang biasanya digunakan oleh supir keluarga mereka. Ia menyemprot permukaan mobilnya dengan menggunakan selang.
"Tumben." Papa keluar dengan secangkir kopi dan koran yang diapit di sela-sela ketiaknya.
"Papa nggak kerja?" Petra bertanya tanpa menoleh.
"Kamu nggak kerja?" Papa malah balik bertanya setelah meletakkan cangkir kopi dan koran di atas meja.
"Lagi libur, masa kerja terus." Petra mulai menyabuni sisi mobil sebelah kanan.
"Papa juga, lagi cuti. Anak sulung Papa pulang, masa Papa kerja terus."
Gerakan tangan Petra terhenti. Ia menatap wajah laki-laki yang sedang sibuk membaca korang yang terbentang di depannya.
"Papa tahu kok kalau papa ganteng. Biasa aja lihatnya." Papa sengaja melipat korannya dan tersenyum. Senyum yang sama seperti yang ia tunjukkan saat berbicara pada Pattar. "Mau Papa bantu?"
Petra jadi terharu. Matanya berkaca-kaca, tapi senyumnya mengembang. Kemudian ia mengangguk.
Papa meraih satu spons dan ikut menyabuni sisi lainnya. Diam-diam, Papa meraih selang dan mengatur kekuatannya agar tidak terlalu deras. Ia sengaja mengarahkan semburan air ke sisi yang sedang Petra sabuni. Petra sempat terkejut, tapi ketika ia melihat senyum jahil pada wajah Papa, ia ikut tersenyum. Papa jadi tambah jahil karena Petra malah tersenyum karena perbuatannya. Papa mengulangi kegiatan menyemprot Petra hingga tiga kali. Pada percobaan ketiga, akhirnya anak sulungnya itu mengerti kalau itu adalah tanda perang. Petra meraih selang lainnya dan menyemprotkan air ke arah Papa. Akhirnya perang air pun pecah. Papa dan anak sulungnya saling menyiram dan tertawa. Tawa mereka sampai mengundang Mama keluar dari dapur.
"Kalian ngapain sih?" Mama datang masih dengan apron menggantung di lehernya.
"Papa ngajak perang." Petra menjawab sambil terus menghindar dari serangan Papa.
"Nggak ke rumah sakit, Ma?" Papa bertanya sambil terus memburu Petra yang bersembunyi di balik mobil.
"Nggak, soalnya nanti siang Pattar pulang. Minggu lalu kan kita belum sempat makan bersama karena calon dokter satu itu."
"Kok aku? Kan Pattar yang nggak bisa langsung pulang."
"Iya, iya. Sudah masuk sana. Sudah basah kuyup gitu, nanti masuk angin." Mama menggeleng pelan.
Setelah Mama sakit, saat ia berada di Lombok, hubungan adiknya dengan Mama jadi jauh lebih baik. Pattar jadi lebih sering pulang. Bahkan, saat libur hanya satu hari dan ditambah weekend, ia akan pulang. Mereka jadi lebih sering makan bersama. Mama sudah mengurangi jadwalnya dan lebih sering menghabiskan waktu berdua dengan Papa. Rumah mereka kembali terasa hangat. Tidak ada lagi perang dingin yang terjadi.
Setelah semua keindahan yang sudah lama ia dambakan didapatkan, dalam sekejap semuanya direnggut. Apa semesta selalu sebercanda itu? Semesta selalu mampu membuat hidupnya menjadi panggung lelucon. Petra ingin tertawa, tapi ia tidak mampu.
***
Melihat Petra tidak ikut naik ke mobil, Hana mengurungkan niatnya untuk pulang bersama Pattar. Hana kembali ke makam Papa untuk melihat kondisi Petra.
Hana melihat, Petra terus memandangi nisan Papa dengan tatapan kosong. Hana menunggu beberapa saat sampai ia meyakinkan diri untuk menghampiri Petra.
"Bang Petra." Hana duduk di samping Petra.
Petra terkejut melihat Hana berada disampingnya. Petra merasa seluruh pertahannya akan runtuh saat ini juga, ia benar benar ingin berteriak dan menangis sejadinya melihat Hana ada di sisinya sekarang.
"Abang lagi nggak baik-baik aja sekarang, Abang boleh nangis kok. Aku akan tunggu Abang sampe selesai." Hana menepuk pundak Petra pelan.
Seketika tembok pertahanan Petra hancur berantakan. Petra menangis tanpa suara. Hana menggenggam tangan Petra sebagai bentuk dukungan "Abang pasti kuat."
"Maaf, Hana." Petra menarik Hana ke dalam pelukannya, kemudian ia menangis sejadinya.
Hana terkejut dengan situasi itu. Jantungnya berdegup dengan kencang. Setelah beberapa saat, Petra kembali tenang. Kini mereka sudah duduk di samping makam Papa.
"Kamu tau Hana, kenapa aku nggak nangis selama perjalanan dari rumah sampai ke pemakaman?"
Hana hanya menatap Petra dengan sedikit senyum di bibirnya.
"Karena aku nggak mau kelihatan lemah. Aku harus kuat. Aku adalah orang yang akan menggantikan posisi Papa. Hal itu nggak bisa dihindari." Petra menatap mata Hana, "Kamu tahu kenapa aku akhirnya nangis tadi?"
"Karena Abang pasti sedih." jawab Hana dengan suara yang pelan.
"Benar. Dan itu karena hanya ada kamu. Di depanmu aku nggak takut kelihatan lemah."
Terima kasih sudah membaca.
Partnya miwek dulu ya. Setelah ending, nanti kita akan ketawa. Setidaknya hubungan Pattar dan Petra sudah jadi lebih baik. Sebelum meninggal, Papa juga sudah memperbaiki hubungannya dengan Petra.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Untold Story ✓
Teen FictionHafta Petramula dan Dwiyata Pattareksa adalah saudara kandung. Petra dan Pattar, mendengar nama mereka saja sudah membuat orang lain terkagum. Nama mereka terdengar serasi sebagai kakak-adik, namun hubungan mereka tidak sekompak nama. Pertalian dar...