4. Sekolah Baru

210 71 11
                                    

Hari baru dimulai ketika Pattar dibangunkan oleh suara ketukan dibalik pintu kamarnya. Pattar menggeliat kemudian mengerjapkan matanya beberapa kali sebelum akhirnya bangkit dari ranjangnya dan membuka pintu.

"Selamat pagi anak Papa. Ini hari pertama kamu sekolah loh. Cepat siap-siap ya." Papa berdiri di depan pintu kamar Pattar dengan senyuman yang sama. Senyuman yang selalu Pattar kagumi. Senyumannya mampu membuat orang yang melihat ikut tersenyum.

"Iya, Pa."

Pattar menutup pintu kamarnya dengan cepat. Pattar menarik napas dalam-dalam kemudian ia menirukan suara Papa dengan serius, "Kamu tumbuh jadi anak yang pemberani dan dingin. Mirip papa waktu muda." Pattar tertawa sambil bertepuk tangan, "dimana dinginnya? Dari dulu Papa memang sudah lucu."

Puas tertawa hingga pipinya terasa sakit akhirnya Pattar berjalan ke arah jendela yang menghadap ke garasi dan mulai menarik tirai hingga sinar matahari masuk ke dalam kamar yang berukuran 4x4 itu. Sinar matahari yang masuk terasa mulai panas dan itu artinya hari sudah menuju siang. Pattar meraih handphonenya yang terletak di atas nakas kemudian ia mengetuk layarnya dua kali dan angka yang terlihat adalah 07.10. Pattar membelalakkan mata, melempar handphonenya ke kasur dengan sembarangan lalu ia berlari ke kamar mandi yang berada di kamarnya.

Sepuluh menit kemudian, Pattar sudah siap dengan seragam baru yang diberikan Mama semalam. Tas punggung berwarna hitam tersampir di bahu kirinya. Tangan kanan Pattar meraih gagang pintu, ia menarik napas dalam-dalam untuk bersiap menyapa Mama dan Petra. Pattar keluar dari kamarnya seperti pencuri yang baru memasuki ruangan target, ia berjalan mengendap-endap, sesekali Pattar melirik kebelakang untuk memastikan Petra tidak ada di belakangnya. Kamar Pattar tepat berada di samping tangga, hal itu membuatnya sangat bersyukur karena ia tidak harus melewati kamar Petra untuk mencapai tangga. Pattar bernapas lega karena mendapati hanya Papa yang ada di meja makan.

"Pagi, Pa." Pattar tersenyum lebar hingga deretan gigi bagian depannya terlihat.

"Pagi, anak Papa," Papa menyodorkan roti yang sudah diberi selai coklat kepada Pattar yang sudah duduk di kursinya "kamu mau Papa temani ke sekolah? Hari ini kan hari pertama kamu."

"Aku bukan anak kecil lagi, Pa. Aku bisa berangkat sendiri." Pattar tersenyum kemudian ia kembali melahap roti yang ada di tangannya.

"Mama kamu titip salam, katanya kamu harus belajar dengan baik."

Pattar berhenti mengunyah makanannya, "Seperti Petra, Papa pasti sudah menghilangkan bagian itu."

Papa menelan makanannya dengan paksa, "Bukan begitu..."

"Jadi benar, Mama gak berubah. Petra tetap nomor satu dan aku hanya pelengkapnya aja supaya dia kelihatan semakin hebat. Iya kan?" Pattar meletakkan roti yang masih tersisa setengah kemudian ia bangkit berdiri dan bergerak menghampiri Papa.

"Papa gak perlu merasa bersalah. Ini semua salah aku yang gak terlahir sepintar Petra." Pattar meraih tangan Papa dan mencium punggung tangannya. "Aku berangkat, Pa."

Papa tidak mampu menghentikan langkah Pattar. Papa hanya memandang punggung Pattar dengan tatapan bersalah.

***

Pattar berangkat ke sekolah dengan mengendarai motor sport barunya. Ia melaju dengan kecepatan diatas rata-rata. Kepala Pattar dipenuhi dengan pikiran-pikiran aneh. Mama kembali membandingkannya dengan Petra. Sejak kecil Mama selalu lebih perhatian pada Petra. Petra selalu diberikan barang yang ia mau sedangkan Pattar hanya akan mendapat barang yang sama dengan milik Petra. Kalau kata Papa, itu namanya adil, supaya tidak ada yang cemburu. Tapi kenyataannya, Pattar cemburu karena ia tidak pernah mendapatkan apa yang diinginkan.

Pattar tiba di sekolah tepat sebelum pintu gerbang ditutup. Motor sport hitamnya terlihat sangat gagah saat memasuki tempat parkir. Beberapa gadis kontan menghentikan langkahnya untuk mengamati seperti apakah rupa dibalik helm full face berwarna hitam itu. Pattar melepaskan helmnya dengan gerakan cepat, ia menggeser letak spion ke arahnya kemudian ia merapihkan rambut hitamnya dengan jari. Pattar dapat mendengar suara pekik tertahan dari beberapa gadis di sekitarnya. Pattar melihat sekitar dengan menggerakkan kaca spion. Ia tersenyum jahil ketika melihat pantulan seorang gadis yang berdiri tidak jauh di belakangnya. Pattar mengenali gadis itu.

Pattar berjalan cepat ke arah gadis itu dan menepuk pelan pundaknya, "Maaf permisi, apa saya boleh minta tolong?"

Gadis itu menoleh kemudian membalikkan badannya, "Minta tolong apa?"

"Saya anak baru, ini hari pertama saya sekolah di sini. Bisa tolong tunjukin ruang kepala sekolah?"

Gadis itu menatap wajah Pattar dengan seksama hingga ia memiringkan kepalanya, "Tapi sepertinya kita pernah ketemu di suatu tempat. Kamu kenal saya?"

"Reihana Elvazia." Pattar menatap lama pada name tag yang tersemat di baju Hana kemudian ia tersenyum.

Tatapan mata Pattar membuat mata Hana melihat ke arah yang sama. Setelah melihat name tagnya sendiri, Hana mendengus kesal. Hana meyakinkan dirinya bahwa orang yang ada di hadapannya bukanlah Pattar. Pemuda ini terlalu tinggi dan tampan untuk jadi Pattar yang Hana ingat. Hana melihat seragam Pattar yang tidak memiliki name tag, Hana sebenarnya penasaran tentang nama laki-laki yang berjalan di sampingnya ini tapi ia sudah terlalu kesal melihat senyum jahil yang tidak hilang dari wajahnya.

Sesampainya di ruang kepala sekolah, Hana meninggalkan Pattar begitu saja setelah menunjuk papan nama kepala sekolah yang menggantung di depan sebuah pintu besar. Pattar sempat tertawa geli melihat Hana yang terlihat kesal. Kegugupan Pattar menghilang sempurna, saat ini yang ada di kepalanya adalah antusiasme untuk bertemu teman baru dan satu teman lama. 


#30daywritingchallenge #30DWCJilid24 #Day6

The Untold Story ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang