28. Bunda

120 37 6
                                    

Petra pernah membaca di sebuah buku kalau kasih sayang seorang ibu tidak akan bisa diukur dengan apapun. Ia tahu betul mengenai hal itu. Ia merasakan cinta yang melimpah dari Mama, tapi tidak dengan Pattar. Sejak kecil, adiknya selalu menjadi nomor dua. Sebenarnya ia sudah mengetahui fakta itu sejak dulu, tapi ia terlalu naïf untuk mengakuinya. Meskipun sempat ragu, Petra tetap menelepon Mama.

"Halo, Ma."

"Halo, sayang. Gimana cerita hari ini?" Mama menanyakan pertanyaan rutin yang selalu ia ajukan ketika Petra menelepon malam hari.

"Hari ini aku senang, tadi sempat main sama Hana dan ketemu sama teman-teman himpunan."

"Katanya senang, kok suara kamu kedengaran gak senang?"

Petra menghela napas, "Kapan terakhir Mama telepon Pattar?"

Tidak ada jawaban. Petra sempat melihat layar handphonenya untuk memastikan kalau telepon masih terhubung. Ia tidak menuntut jawab, namun ia tetap menantikan jawaban dari seberang sana.

"Kenapa kamu tiba-tiba tanya begitu?" Suara wanita itu terdengar kaku dan terbata.

"Gak apa-apa. Pattar sakit, tadi aku sama Hana sempat ke kosnya. Tapi demamnya sudah baikan kok."

Kembali sunyi. Petra menunggu respon dari Mama setelah mendengar kabar itu.

"Sudah malam, Mama mau tidur. Bye. I love you." Begitu saja, sambungan telepon itu terputus.

Petra menatap layar handphonenya tidak percaya.

***

Bunda tengah duduk santai menonton TV ketika Hana masuk. Wanita paruh baya itu mengenakan daster merah yang lebih mirip gaun. Rambut sebahunya terlihat sangat hitam dan berkilau. Hana selalu kagum dengan penampilan Bunda. Ia juga mendengar cerita kalau dulu bundanya adalah kembang desa. Istilah kembang desa mungkin terlalu berlebihan, tapi kata Ayah, hal itu benar adanya.

"Sore, Bun." Hana langsung meraih tangan wanita itu dan mengecup punggung tangannya.

Hana duduk di samping bundanya, ia memeluk wanita itu erat. Kapan lagi ia punya waktu bebas dengan bundanya tanpa gangguan si bungsu, Reva.

"Kamu main sama siapa tadi?" Bunda mengusap lembut puncak kepala putri sulungnya.

"Sama Bang Petra, terus tadi sempat ke kos Pattar. Masa Bun, dia pura-pura pingsan buat prank aku. Untung aku gak gampang ketipu. Dari kemarin memang dia flu, malamnya sempat demam juga. Tapi jahat banget kan, Bun? Pura-pura pingsan." Hana melonggarkan pelukannya.

"Jadi Pattar sakit? Sudah ke dokter kan? Malam ini dia makan apa ya? Apa Bunda ke kos Pattar aja?" Bunda jadi panik.

Hana melepaskan pelukannya dan duduk tegak, "Bun, anak Bunda itu aku atau Pattar?"

"Ya, kamu dong sayang. Tapi kan kasihan Pattar. Mamanya sudah ditelepon?" Bunda langsung sibuk merogoh kantong dasternya untuk mencari handphone.

"Bun, Pattar cuma demam. Sudah ke dokter juga. Bang Petra pasti sudah kasih tahu mamanya." Hana menjelaskan dengan nada kesal.

"Berarti Bunda telepon Pattar aja kalau gitu." Jari-jari wanita itu sibuk menyentuh layar handphonenya.

" Bun!" Hana benar-benar kesal saat bundanya malah menarik tubuhnya menjauh.

***

Pattar baru saja memejamkan mata ketika handphonenya bergetar. Ia meraih benda itu dari atas nakas. Begitu membaca nama yang tertera pada layar, ia tersenyum. Ia segera menarik tubuhnya untuk duduk.

The Untold Story ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang