20. Pendidikan

125 46 0
                                    

Pattar dan Hana berjalan bersama menyusuri jalan yang cukup gelap karena hanya disinari oleh lampu jalan yang minim. Langit mendung, bulan dan bintang tak terlihat menghiasi langit. Pattar tidak lagi mengenakan jubah hitam dan rambut palsunya, kini ia mengenakan kaus hitam panjang dan celana olahraga dengan warna senada. Hana masih mengenakan kostum Minnie Mouse yang dilapisi jaket putih milik Pattar. Hana kelihatan mungil karena mengenakan jaket Pattar yang terlalu besar untuknya. Mereka berjalan tanpa membicarakan apapun.

Tak lama setelahnya, mereka tiba di depan rumah Hana. Hana meraih engsel gerbang untuk membukanya. Tepat saat Hana mendorong pintu gerbang untuk membukanya, Pattar menarik ujung jaketnya. Hal itu membuat Hana menunda kegiatannya mendorong gerbang.

"Kenapa?" Hana bertanya dengan nada kesal.

"Maaf." Pattar berbicara dengan suara yang pelan. Hana nyaris tidak bisa mendengar ucapannya.

"Maaf untuk apa?" Hana menatap Pattar. Cahaya yang minim tidak mendukungnya untuk menyelami sorot mata Pattar.

"Karena gue terlalu egois. Kalau dulu gue gak egois, lo gak akan sedih seperti sekarang." Suara Pattar masih terdengar pelan.

Hana mencondongkan tubuhnya mendekat ke arah Pattar. Hana ingin memastikan jika orang yang berdiri di hadapannya ini adalah Pattar.

"Lo masih mau jadi sahabat gue, kan?" Suara Pattar kini terdengar lebih keras dari sebelumnya.

Hana menutup mulutnya tidak percaya. Ia memutar tubuhnya dan tersenyum.

"Hana." Pattar kembali menarik ujung jaket yang Hana kenakan.

Hana sengaja tidak menjawab Pattar. Ia masih menikmati penyesalan dari sahabatnya.

"Oke kalau lo gak mau sahabatan lagi sama gue. Mungkin ini pertemuan terakhir kita, setelah ini gue akan merantau karena gue sudah diterima di Universitas Jatayu."

Hana membalikkan badannya dengan cepat, kemudian ia memeluk Pattar singkat. Jika dihitung mungkin kurang dari lima detik. Pattar membeku ditempatnya. Bukan, ini bukan pertama kalinya ia dipeluk oleh gadis. Sudah puluhan kali ia merasakan hal itu, baik dari kekasih atau gadis korban PHPnya, tapi pelukan dari Hana terasa berbeda.

"Selamat. Kenapa gak cerita dari tadi?" kata Hana dengan antusias.

"Jadi lo beneran gak mau sahabatan sama gue lagi?" Pattar bertanya dengan serius. Pelukan singkat itu menyebabkan jarak di antara mereka menipis. Hana bisa melihat keseriusan itu dari tatapan mata Pattar.

"Masih dong. Keterima di jurusan apa nih?"

Pattar tersenyum, "Teknik Mesin. Lo gimana? Mau lanjut kemana?"

"Coba tebak." Hana berbisik saat mengatakan dua kata itu.

"Jangan bilang kalau lo juga diterima di Jatayu?" Pattar mencurigai nada bicara Hana.

"Selamat, anda benar." Hana bertepuk tangan layaknya MC sebuah kuis yang biasa tayang di televisi.

Pattar mengerutkan dahi dan tangannya menyentuh puncak kepala Hana, "Lo gak bercanda, kan?"

Hana menggeleng cepat.

"Jurusan apa?"

"Biologi." Hana menyingkirkan tangan Pattar yang masih ada di kepalanya.

Pattar menghela napas lega. Ia sempat menduga-duga jika Hana akan mengambil jurusan kedokteran seperti Petra. Pattar sangat lega karena Hana tidak perlu banyak berurusan dengan Petra.

"Kok lo lega banget?" Hana menyadari helaan napas Pattar sebelumnya.

"Gak apa-apa." Pattar tersenyum hingga matanya membentuk bulan sabit dan bibirnya menampilkan senyum yang sudah lama Hana rindukan.

Dwiyata Pattareksa, sahabatnya telah kembali.

***

Pattar berbaring di ranjangnya. Ia memegang sebuah kertas yang membuatnya senang sekaligus sedih. Ia senang karena bisa diterima di universitas yang sama dengan Petra, tapi ia sedih kalau harus meninggalkan Papa. Selama dua tahun, ia kembali merasakan kehangatan dari sosok Papa yang sebelumnya tidak ia rasakan tapi beberapa minggu ke depan ia harus pergi ke kota lain untuk melanjutkan pendidikannya. Pattar sempat ragu tapi setelah mendengar Hana juga akan menempuh pendidikan di Universitas Jatayu, tekad Pattar bulat. Ia akan melanjutkan pendidikannya ke Universitas Jatayu. Suara ketukan dari balik pintu membuat Pattar bangkit dari ranjangnya.

"Papa, kok belum tidur?" Pattar membuka pintu lebar-lebar dan mempersilahkan Papa masuk.

Papa menarik kursi dari meja belajar Pattar dan menghadapkan kursi itu ke arah Pattar. "Kamu sudah memutuskan akan melanjutkan sekolah kemana?"

Pattar menyodorkan kertas yang sejak dua hari lalu ia sembunyikan di salah satu laci meja belajarnya. Setelah membaca isi surat itu, Papa memeluk Pattar dan menepuk bahunya dengan bangga.

"Kenapa kamu baru bilang?"

Pattar menggaruk tengkuknya, "Tadinya aku mau sekolah di sini aja, biar bisa pulang ke rumah," ia berbicara ragu-ragu, kemudian nadanya berubah tegas "tapi sekarang aku yakin, aku akan sekolah di Universitas Jatayu."

"Papa bangga sama kamu. Kamu sama hebatnya dengan Petra. Teknik mesin, cocok untuk kamu."

Senyum Pattar mengembang. Baru kali ini ia mendapat pujian sehebat itu.

"Kamu mau kos satu gedung dengan Petra atau mau pisah?" Papa sudah kembali duduk di kursi belajar Pattar.

Pattar sempat ragu, tapi akhirnya ia menggeleng, "Untuk kos, boleh aku yang cari sendiri?"

"Kamu yakin?" Dahi Papa berkerut.

"Yakin, Pa." Pattar mengangguk mantap.

"Oke, kalau begitu nanti Papa bicarakan dengan Mama." Papa bangkit dari duduknya.

"Sepertinya Mama akan langsung setuju. Aku kan bukan Petra."

Perkataan Pattar berhasil membuat Papa menghentikan langkahnya dan menoleh.

"Aku hanya bicara fakta, Pa." Pattar tersenyum, tapi ada sorot sedih di matanya.

Papa melanjutkan langkahnya tanpa mengatakan apa-apa. Setelah pintu ditutup, Pattar merebahkan tubuhnya di ranjang dan ia menghela napas panjang. Beberapa minggu lagi, kehidupan barunya akan dimulai.

The Untold Story ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang