26. 127

131 37 7
                                    

Petra menatap Hana penuh tanya. Suara di kepalanya sudah menyerukan supaya ia waspada. Satu nama memenuhi kepalanya. Pattar, hanya dia yang bisa membuat Hana kelihatan sepanik sekarang. Petra meremas tangannya sambil menunggu jawaban dari tatapan tanyanya. Hana tidak menggubris tatapan Petra, ia justru duduk kembali dan memelankan suaranya.

"Zai, jangan bohong sama gue. Dari kecil Pattar itu gak gampang sakit. Benar dia pingsan?"

"Dari tadi gue bangunin, dia gak gerak sedikitpun." Zai berbicara terbata.

"Coba guyur pakai air. Gue ke sana sekarang. Awas ya kalau Pattar baik-baik aja."

"Ini beneran harus diguyur?" Zai bertanya polos.

"Guyur aja, untuk tahu dia bohong atau enggak." Hana segera menutup panggilan itu. Ia memasukkan handphonenya ke dalam tas dan beranjak dari tempat duduknya. "Ayo, Bang."

Petra menatap Hana lembut, "Kamu gak mau jelasin dulu."

Hana nyengir ketika sadar kalau ia tidak memberitahu apapun pada Petra. Hana kembali duduk di kursinya dan menjelaskan bahwa yang barusan menelepon adalah Zai dan Hana menduga kalau Pattar sedang pura-pura pingsan untuk memaksanya datang. 

"Jadi mau pulang sekarang?" Petra bertanya dengan nada kecewa.

"Adik Abang tuh, kalo gak diturutin maunya bisa brabe. Ayo pulang." Hana beranjak dari duduknya dan melewati Petra begitu saja. 

***

Petra dapat menyusul langkah Hana yang jelas lebih pendek darinya. Kini mereka berjalan berdampingan menuju pintu keluar. Langkah mereka terganggu oleh sebuah sapaan dari seseorang yang Hana kenali sebagai salah satu sahabat Petra.

"Tra, mau cabut?" Laki-laki dengan rambut hitam dan senyuman mirip kelinci menghampiri Hana dan Petra.

"Oy, iya nih. Sama siapa lo?" Petra menyapa sambil menepuk pelan pundak laki-laki itu.

"Sama anak-anak. Lagi diskusi untuk ospek maba tahun ini. Lo mau cek dulu?" Laki-laki itu menunjuk satu meja yang diisi oleh beberapa orang.

"Mampir sebentar, gak apa-apa ya?" Petra menoleh pada Hana.

Hana mengangguk kemudian berbisik, "Jangan lama-lama ya, kasihan Pattar." 

"Wah, Pak Kahim datang." Laki-laki yang mengenakan sweater cokelat berdiri menyambut.

Petra menepuk pelan pundak laki-laki itu, "Gimana diskusinya? Ada kendala?" 

"Sejauh ini aman, Kak." Seorang gadis menjawab sambil menatap Petra dengan tatapan kagum.

"Yang baju kuning, boleh dikenalin dong." Laki-laki dengan lesung pipi berbisik pada Petra.

"Oh, iya. Kenalin, ini adik saya Hana. Dia mahasiswi di kampus kita juga, prodi biologi." Petra menggeser sedikit tubuhnya untuk membiarkan Hana menyapa teman-temannya.

"Yang ini Jeffry." Petra menunjuk laki-laki dengan lesung pipi. "Yang itu Johnny," Petra menujuk laki-laki yang mengenakan sweater coklat, "dia yang kakaknya punya studio foto." 

Hana mengangguk sekenanya. Meskipun tidak dapat dipungkiri, ketampanan teman-teman Petra mampu membuatnya mengerjapkan mata berkali-kali. Apalagi yang punya lesung pipi, Hana berani bertaruh laki-laki itu adalah laki-laki tertampan yang pernah ia lihat. 

"Yang ini Orion, tahu kan? Dia sahabat Abang dari SMA." Petra menggeser gelas yang kini isinya tengah disedot Orion dengan gaya sok cool.

Orion yang merasa dijahili, balik memukul tangan Petra yang baru menggeser gelasnya.

The Untold Story ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang