Saat berusia 10 tahun, Pattar pernah dua kali berturut-turut mengikuti pertandingan sepak bola pada hari yang sama. Salah satu pertandingannya adalah pertandingan di klub bola dan yang lainnya adalah pertandingan eskul di sekolah. Siang hari ia bertanding di sekolah dan sorenya ia bertanding di klub bola. Ia sudah terbiasa dengan jadwal yang padat. Sekolah pada pagi hari, latihan bola pada siang hari, dan les musik atau les mata pelajaran malam harinya. Tapi entah mengapa, hari ini ia merasa sangat lelah.
"Pak, aku mau ke rumah Hana." Pattar berkata pada supir yang baru menjemputnya dari pertandingan bola.
"Kan masih ada les matematika."
"Aku mau ke rumah Hana."
"Tapi Mas Pattar harus les. Nanti saya yang dimarahi sama Ibu."
Pattar mengabaikan keluhan dari pria paruh baya yang tengah sibuk mengendarai mobil. Pattar membuka tasnya dan mengeluarkan handphone. Ia menekan beberapa tombol dan mulai berbicara dengan seseorang yang berada pada panggilan itu.
"Aku baru pulang tanding, tadi timku menang."
Entah apa yang dikatakan orang yang ada di sambungan itu, tapi senyum Pattar terkulum hingga matanya membentuk lengkungan.
"Aku boleh ke rumah Hana?" Pattar mengaktifkan speaker pada handphonenya.
"Boleh, tapi biarin Pak Maman nunggu ya. Nanti Papa yang bilang sama Mama."
"Oke, Pa." Sambungan telepon terputus. Pattar tersenyum cerah.
"Ke rumah Hana ya, Pak. Kan sudah izin sama Papa."
"Iya, Mas."
***
Pattar membuka gerbang yang lebih tinggi dari tubuhnya. Ia mendorong gerbang itu dengan semangat hingga membuat supirnya berseru kaget. Tanpa mempedulikan Pak Maman yang masih berusaha memarkirkan mobil di halaman rumah yang terbatas, Pattar langsung mengetuk pintu rumah Hana keras-keras. Sebuah suara dari dalam rumah membuatnya menghentikan ketukan.
Anak laki-laki yang masih mengenakan mendali sebagai kalung itu tersenyum ketika mendapati gadis kecil yang ada di hadapannya.
"Wah, Bang Pattar." Gadis itu kontan takjub dengan mendali yang menggantung di leher Pattar. "Itu punya Abang?"
"Iya, dong."
"Wah, Bun, Kak, sini dong. Ini Bang Pattar bawa emas." Reva berteriak heboh.
Bunda berlari ke pintu depan dan langsung mengusap puncak kepala Pattar.
"Bunda bangga sama kamu," Bunda menghentikan gerakan tangannya dan menyentuh dahi Pattar dengan punggung tangannya, "Pattar, kamu panas." Bunda mendudukan Pattar di kursi ruang tamu.
"Iya, Bun. Aku sudah pusing dari tadi." Anak laki-laki berkalung mendali itu tersenyum, tapi matanya berkaca-kaca.
Hana menyusul kemudian dengan mulut penuh cokelat. "Boleh digigit gak itu? Siapa tau palsu."
"Reihana, bersihkan dulu mulutnya." Bunda menatap Hana galak.Tatapannya melunak ketika melihat Pattar. "Kalau sudah pusing kenapa malah main ke sini?"
"Papa lagi kerja ke luar kota. Mama pasti ada di rumah sakit. Bang Petra ada les piano. Kalau aku pulang ke rumah, cuma ketemu sama tembok. Kalau ke sini kan ada Bunda, Hana sama Reva."
Bunda menatap anak laki-laki itu dengan tatapan iba. Keluarga mereka terlihat sangat sempurna, orangtua yang mapan dan dua anak yang berprestasi. Tapi tidak ada sorot bahagia di mata anak ini. Bibirnya tersenyum tapi tidak dengan matanya.
"Pattar, tunggu di sini dulu ya. Bunda carikan obat."
Pattar mengangguk. Ia tidak bergerak dari tempatnya. Bunda kembali tidak lama kemudian, dengan satu botol parasetamol di tangannya.
"Oh iya, kamu sudah makan?"
Pattar menggeleng pelan.
"Ayo, makan dulu. Bunda masak sup ayam." Pattar dibawa menuju meja makan yang berukuran sepertiga dari meja makan di rumahnya.
"Hana sama Reva boleh lanjutin makan kue." Bunda menoleh pada kedua putrinya yang ikut membuntuti mereka ke meja makan.
Hana langsung memutar arahnya dan sibuk bermain dengan mendali yang sebelumnya ada di leher sahabatnya. Hana cuek saja karena menurutnya, Pattar akan baik-baik saja karena mamanya adalah seorang dokter.
"Kok Abang minum obat dari Bunda? Bunda kan bukan dokter, yang dokter itu mamanya Abang."
"Mamanya Bang Pattar kan lagi di rumah sakit jadi belum bisa kasih obat." Bunda berkata dengan hati-hati.
"Dokter kan harus rawat orang sakit. Bang Pattar lagi sakit, kok mamanya nggak datang?" Reva bertanya polos.
"Reva, kamu main sama kakak dulu ya. Bunda mau ngomong rahasia sama Bang Pattar.
Gadis berusia 7 tahun itu cemberut dan membalikkan tubuhnya kesal.
"Kamu nggak apa-apa? Maafin Reva ya." Bunda menepuk pundak Pattar.
Tanpa suara, tetesan bening yang berasal dari mata Pattar jatuh. Bahunya mulai bergetar. Kepalanya tertunduk dalam. Tangannya juga bergetar. Bunda yang melihat hal itu langsung menarik Pattar dalam pelukan. Tangisnya pecah, meski begitu isaknya tidak terdengar.
Terima kasih sudah membaca.
A : Kenapa kemarin gak update cerita?"
B : Kemarin malam diisi dengan bucin NCT dan SVT. HeheheYak, segitu dulu hari ini.

KAMU SEDANG MEMBACA
The Untold Story ✓
Подростковая литератураHafta Petramula dan Dwiyata Pattareksa adalah saudara kandung. Petra dan Pattar, mendengar nama mereka saja sudah membuat orang lain terkagum. Nama mereka terdengar serasi sebagai kakak-adik, namun hubungan mereka tidak sekompak nama. Pertalian dar...