23. Sepak Bola

127 44 6
                                    

Ada beberapa hari yang tidak bisa dilupakan Petra. Hari saat ia mengantar adiknya ke rumah nenek, hari saat ia menemukan fotonya di meja belajar Pattar, dan hari ini. Untuk pertama kalinya ia datang ke pertandingan sepak bola yang diadakan di lapangan kampus. Kampus mereka memang terkenal dengan sport center yang sering digunakan untuk ajang bergengsi. Petra mengenakan kemeja hitam dan topi dengan warna yang sama. Ia buru-buru datang ke lapangan itu dengan pakaian rapi karena setelah menonton pertandingan, ia harus menemui salah satu dosennya untuk membahas beberapa jurnal medis. Petra mengangkat topinya untuk melihat posisi adiknya. Ia tidak menemukan Pattar di bangku pemain cadangan yang sudah terisi oleh anggota tim Universitas Jatayu.

"Bang Petra?"

Laki-laki yang sengaja memakai topi untuk menyamarkan diri itu tersentak. Ia menoleh dan mendapati gadis yang sangat ia kenal tengah tersenyum ke arahnya. Ada seorang laki-laki berkacamata yang tidak ia kenali berdiri di belakang gadis itu.

"Abang sendiri aja nih? Baru tahu kalau Abang suka bola." Tanpa permisi gadis itu duduk di samping Petra.

"Cuma mampir untuk lihat seseorang." Petra melepaskan topi yang ia kenakan.

"Cie, mau lihat Pattar kan?" Gadis berbaju biru itu menyenggol lengan Petra.

"Hana..." Petra kembali memakai topinya. Jari-jari tangannya terus bergerak mengetuk kursi.

"Kalian bisa baikan aja gak sih? Kalian sama aja, peduli tapi pura-pura cuek."

"Bukan gitu, aku cuma...." Petra tidak melanjutkan kalimatnya. Ketukan jari-jarinya pada kursi semakin cepat.

Hana menyadari kebiasaan Petra yang satu itu. Ia akan menggerakkan tangan, kaki atau benda yang ada di dekatnya secara berulang jika ia merasa tidak nyaman.

"Kenalin, ini Zaivan. Teman satu kos Pattar." Hana berusaha mengganti topik lain, "Zai, ini Petra, abangnya Pattar."

Petra mengulurkan tangannya dan disambut Zai dengan hangat. Ketika melihat wajah Petra dengan seksama, dahi Zai berkerut dan jari telunjuknya menunjuk laki-laki yang baru saja ia jabat tangannya.

"Abang, ketua pelaksana masa orientasi awal semester baru kemarin kan?"

Petra tersenyum dan menganggukkan kepalanya.

"Wah, jadi merasa terhormat bisa ketemu Abang di sini."

"Sudah cukup kali salamannya." Hana menatap malas pada kedua laki-laki yang berdiri di kiri dan kananya. Setelah ditegur Hana, keduanya melepaskan tautan tangan mereka.

Masih ada beberapa waktu sebelum pertandingan dimulai. Petra dan Zai mulai membicarakan banyak hal, mulai dari buku, kafe terbaru hingga tentang otomotif. Hana yang terjebak di antara mereka tidak bisa ikut dalam obrolan mereka. Kedua lelaki yang terlihat semakin akrab itu seperti tidak menganggap keberadaan Hana. Sepertinya ini adalah salah satu pesona Zai, semua orang bisa tiba-tiba akrab dengannya.

***

Hari ini, Pattar tidak masuk dalam daftar pemain cadangan. Untuk pertama kalinya ia akan menjadi pemain inti pada pertandingan kali ini. Kebetulan Hana dan Zai bisa hadir untuk menontonnya hari ini. Kehadiran mereka bisa menjadi semangat tersendiri baginya. Begitu menginjakkan kakinya di lapangan, ia mencari ke tribun penonton dan menemukan seseorang yang tidak terduga hadir. Petra duduk di sana untuk menontonnya. Pattar mendapat kesempatan terhormat untuk menjadi penyerang dalam timnya. Babak pertama berakhir dengan skor seri. Pertandingan kali ini hanyalah pertandingan persahabatan antar kampus, tapi bagi Pattar pertandingan ini sangat penting karena untuk pertama kalinya Petra datang mendukungnya.

Waktu pertandingan tinggal lima menit lagi, Petra beranjak dari duduknya karena harus menghadiri janji temu dengan dosen. Ia sempat menitipkan sebotol minuman isotonik pada Hana. Tepat setelah Petra meninggalkan tempat duduknya, suara sorakan penonton membuatnya membalikkan badan. Ia mendapati Hana dan Zai tengah melompat kegirangan. Matanya melihat ke arah gawang dan mendapati Pattar tengah dikelilingi oleh teman-teman satu timnya. Petra tersenyum bangga ketika melihat adiknya.

Setelah mencetak gol, laki-laki yang mengenakan sepatu biru itu langsung melihat ke arah tribun tempat saudaranya berada. Ia tersenyum puas. Matanya terus bergerak mencari laki-laki yang mengenakan kemeja hitam itu. Setelah berulang kali melihat ke arah yang sama, ia tidak menemukannya. Saudaranya sudah tidak ada di sana. Petra tidak melihat gol yang mati-matian ia usahakan. Hal itu membuatnya kecewa tapi ia tetap melambai menyapa dua sahabatnya.

Pertandingan berakhir dengan kemenangan yang dipegang tim Universitas Jatayu. Hana dan Zai menghampiri Pattar yang masih duduk di pinggir lapangan.

"Keren banget lo." Hana menyodorkan botol minuman isotonik pada Pattar.

"Gue akhirnya percaya kalau dulu lo adalah pemain andalan waktu SMA." Zai menepuk pundak sahabatnya.

"Oh, iya, itu dari Bang Petra." Hana menyampaikan pesannya dengan senyum yang sangat lebar.

Pattar yang tengah menenggak minuman itu terbatuk hingga matanya berair. Zai sibuk menepuk punggung Pattar, sedangkan Hana malah tertawa.

"Jahat banget lo. Kasih tahunya tunggu gue kelar dong." Pattar menutup botol yang ia pegang dan memukulkan pelan pada lengan Hana.

"Apa sih susahnya berdamai? Segengsi itu kalian berdua untuk minta maaf? Harus ada pihak yang mengalah. Kalau dua-duanya keras kepala, sampai mati juga kalian gak akan damai."

Ceramah Hana diikuti anggukan dari Zai.

"Lo kan gak tahu apa-apa." Pattar meninggalkan kedua sahabatnya tanpa menoleh.

"Sejak kapan mereka gak akur?" Zai memelankan suaranya saat bertanya.

"Sejak SMA. Gue juga gak ngerti kenapa mereka bisa gitu. Padahal, dulu mereka deket banget sampai dikira anak kembar." Hana menghela napas.

"Sampai sekarang juga masih mirip. Pattar itu versi pemberontaknya Bang Petra."

Hana mengangguk. Ia masih bertanya-tanya. Hampir 15 tahun ia mengenal Petra dan Pattar dan ia masih tidak mengetahui menyebab mereka bersikap dingin satu sama lain. Waktu yang ia habiskan bersama kedua kakak adik itu tidak bisa menjawab semuanya. 


Dwiyata Pattareksa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dwiyata Pattareksa

Foto sebelum pertandingan. 


Terima kasih sudah membaca.


The Untold Story ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang