Sebuah Kebebasan

649 52 12
                                    

Ada yang bilang : Kebebasan membuat kita mengenal batasan kita.

  Terinspirasi dari lagu YoasobiYoru ni Kakeru
Story written by Usagi_Prince


Ada yang bilang : Kebebasan membuat kita mengenal batasan kita.

  Terinspirasi dari lagu Yoasobi – Yoru ni Kakeru

Hujan menjadi saksi akan kefrustrasian Wang Yibo yang meringkuk seperti kucing diatas lantai beralaskan karpet bulu berwarna kecokelatan. Rambutnya turut berbaring, berserakan diatas karpet. Dihadapannya perapian bergaya eropa abad pertengahan menyala dengan api sedang, membantu mengatasi dingin ini.

Pandangan itu jatuh keatas bara yang menyala, serasa dirinya yang terbakar diatas sana, membakar sampai meleleh, hangus, terpecah jadi abu. Apa benar jika nanti dia mati dan dikremasi seperti itu dosanya akan luruh? Apa dia akan ke surga? Setelah mandi dikubangan dosa dan tertawa bahagia bagai seekor babi hina, bisakah dia mendapatkannya? Kelopak mata itu perlahan turun menghambat segala refleksi yang akan ditangkap retina, matanya terpejam. Ditutup rapat, merasakan gelombang hangat perapian.  Membayangkan pertemuan yang membuatnya semakin dekat bersama pria itu. Pertemuan yang begitu hangat bagai angin musim panas yang membuatnya berkeringat sekaligus seperti angin musim dingin yang membuat menggigil karenanya.

Wang Yibo duduk di sudut meja sembari mempusatkan atensinya untuk seorang pria yang sibuk dengan menatap makanan di depan meja dengan tatapan kosong. Dia bangkit dari kursi, berderap menghampirinya.

Tatapan itu berubah mengerjap ketika sebuah tangan menyentuh lembut puncak kepalanya. Si pria menegang, deru napas seseorang terdengar jelas sekarang, dia tak tahu.

Xiao Zhan menghela napas, rasa tegang dalam ototnya menguap. Kepalanya memutar ragu sampai sepenuhnya menatap si pemilik kenakalan tangan.

“Wang Yibo?” tanyanya seolah mereka tak pernah saling mengenal.

“Kelas sudah kosong, apa kau akan benar-benar membiarkan dirimu di sini sendirian?” sarkas pria itu.

Xiao Zhan tahu bahwa Wang Yibo tak menyukainya, butuh keajaiban untuk membuat pria itu berbicara padanya.

“Aku tidak bermaksud untuk perhatian padamu. Hanya saja ini musim dingin, aku tidak mau melihat kau mati di sini.” Wang Yibo meredam amarah dengan wajah yang sudah memerah. Keningnya berkerut namun ekspresinya tetap tenang.

Xiao Zhan mengedipkan bulu matanya, terdengar kaget. “Kau mau pulang bersama?”

Pria itu sudah banyak membalas perkataan Wang Yibo dengan sebuah pertanyaan. Ekspresi Wang Yibo menunjukan bingung sekaligus terkejut. “Apa? Mana mungkin. Kau pulang sendiri. Apa itu sulit?”  Xiao Zhan melunakkan pandangannya. Pria itu akhirnya bangkit, namun tidak pergi.

Menghela napas, Yibo merasa keki dengan kerapuhan yang biasa ditunjuk Xiao Zhan. “Kalau...” nada suaranya memelan. Dia membuang muka, “tidak keberatan.”

Matahari menyorotkan cahaya terakhirnya sebelum turun tenggelam. Melumeri lantai dengan bias jingga. Xiao Zhan masih berdiri di sana, di samping jendela dengan tubuh yang ikut bersinar. Dengan senyum lembut, dia berucap dengan gerakan pelan, “Terima kasih.”

KONTES MENULIS Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang