Disclaimer:
Cerita ini hanya fiksi belaka.
Murni hasil khayalan penulis.
🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃
Rumah adalah tempat kembali setelah beraktivitas di luar, rumah juga tempat dimana keluh kesah tercurahkan setelah lelahnya menjalani kehidupan di luar, pokoknya bagi kebanyakan orang rumah adalah tempat ternyaman.
Tapi sepertinya deskripsi rumah bagi Lia lain lagi. Sejak kecil dia dibesarkan oleh bundanya seorang diri. Ayahnya bekerja jauh di Eropa. Lia tidak sepenuhnya merasakan peran dan kasih sayang seorang ayah dari ayahnya langsung. Peran ayah dan ibu di emban langsung oleh bundanya seorang diri.
Pola asuh dan cara mendidik bundanya yang terkadang terlalu keras bagi Lia membuat Lia berpikir kalau bundanya itu galak, jutek, dan suka marah-marah. Pernah dulu waktu SMA Lia mengeluh karena sakit, tapi bukannya simpati yang ia terima, tapi malah omelan yang terkesan menyalahkan karena Lia lalai menjaga kesehatannya. Memang benar sih, tapi tetap saja bagi Lia, ibu adalah sosok yang dia takuti, bukan di hormati. Dia lebih nyaman bercerita, mengeluh, dan bermanja kepada kakaknya dibanding ibunya.
Singkatnya, definisi ibu menurut Lia tidak sesuai dengan realita yang Lia terima sampai sekarang.
Sesampainya di rumah, Lia langsung menghampiri bundanya dan mencium tangannya. Setelah itu, orang yang dia cari adalah kakak laki-lakinya.
"Aa mana bun?"
"Di kamarnya tadi mah. Ganti baju dulu, mandi, terus makan. Lauknya panasin lagi kalo udah dingin."
"Iya bun." Nada bicara Lia melemah. Belum apa-apa rentetan perintah sudah masuk ke telinganya padahal Lia sudah bukan anak kecil lagi. Setelah itu dia naik ke lantai 2 dan masuk ke kamar kakaknya.
"Aa!!" Lia berlari untuk menjatuhkan badan di kasur kakaknya. Disana ada kakaknya Lia sedang menonton sesuatu di layar hp nya.
"Eh, dede. Baru nyampe? Kirain gak pulang sekarang." Lia langsung mencium tangan kakaknya kemudian mereka berpelukan singkat.
Berbeda dengan Lia, Jefry —kakaknya, tinggal di rumah karena jarak dari kampus ke rumah cukup dekat, jadi dia tidak pernah merasakan menjadi anak kost seperti Lia. Lagipula Jefry dan bundanya cukup akrab dan terbuka, berbanding terbalik dengan Lia.
Dulu saat Lia mau masuk SMP, dia meminta untuk masuk ke boarding school supaya tidak sering bertemu bunda, tapi permintaannya tersebut di tolak mentah-mentah oleh bunda, papa, dan aa nya.
"Makan dulu gih!" Jefry mengelus rambut adiknya itu.
"Temenin sama aa."
"Manja deh, mulai." Mata Jefry memicing mendengar rajukan dari adik perempuannya.
"Atuh aa ih, yaudah gak makan."
"Iya iya, hayu." Jefry bangkit dari tempat tidur dan mereka berdua turun ke ruang makan bersama.
Jefry menemani adiknya makan sambil minum sekotak susu coklat yang dia ambil dari kulkas. Dia membiarkan adiknya makan dengan tenang karena Jefry tahu, Lia pasti cape dan lapar.
"Udah gede, makan aja masih minta di temenin!" Tiba-tiba bunda ikut bergabung bersama mereka di meja makan.
"A, beliin bunda jus gih ke depan. Bunda mau jus mangga."
"Iya bun, bentar." Jefry langsung naik lagi ke kamarnya untuk mengambil kunci motor dan jaket.
"Dede mau?" tawar bunda kepada Lia yang baru selesai makan.
KAMU SEDANG MEMBACA
ASPRAK [END] ✔
General FictionDenis Dwi Fahreza, si asprak perfeksionis bertemu dengan dia adik tingkat yang bahkan tujuan kuliah pun dia masih bingung. Bisakah Denis membantunya menemukan tujuan hidupnya? Atau memang benar, kalau kuliah itu harus sesuai sama passion? Tapi masal...