Tujuh Belas

72 11 33
                                    

“Siapa yang melakukan ini?” Aku meraba lengan kanan Taehyung, menyentuh sayatan di sana hati-hati.

Taehyung menjauhkan lengannya dariku. Tatapan kelamnya sulit diartikan. Aku tidak bisa menebak isi kepalanya.

Ia berdiri dan membuka kaus cokelat lengan pendeknya. Mengambil kaus lengan panjang di atas tumpukan kain di koper lalu memakainya. Aku segera memalingkan wajah karena tak sengaja melihat perutnya.

Kurasa ia sengaja menukarnya untuk menutupi lukanya. Setelah selesai berganti pakaian, ia kembali duduk di tempatnya semula. Kami duduk berhadapan dan saling menatap dalam diam.

Aku berusaha tenang untuk bertanya sekali lagi. “Lenganmu kenapa?”

“Bukan apa-apa,” gumamnya menggeleng.

Ia meraih mangkuk bubur yang kusajikan. Mengaduk-aduknya dengan sendok, kemudian makan tanpa banyak berkata-kata. Suasana hening terasa mencekam.

Aku berdehem dan mencoba berbicara lembut, takut melukai perasaannya. “Itu luka serius, V. Kau harus mengobatinya. Aku berjanji tidak akan memaksamu bercerita tentang apa yang terjadi jika kau tidak mau.”

Aku berdiri, berniat mencari dimana Jimin meletakkan kotak P3K. Pria yang gemar tawuran seperti Jimin pasti memiliki banyak stok obat untuk jaga-jaga.

Taehyung menahan lenganku. “Tidak perlu, Ann. Aku sudah sembuh.”

“Sembuh bagaimana?” balasku dengan suara terlalu keras karena panik.

Taehyung menunduk, matanya sayu. “Aku pantas mendapatkan luka ini. Biarkan aku menikmati rasa sakitnya untuk menebus kesalahanku. Jangan mengobatiku, kumohon.”

Tak satu pun kata-kata Taehyung yang bisa kucerna. Aku tidak mengerti apa yang ia sembunyikan. Ini lebih rumit dari soal paradox Matematika yang sanggup membuat otak beberapa orang meledak.

Taehyung seperti membangun tembok yang sangat tinggi di antara kami. Membuat batasan yang tidak bisa kulewati. Ia kelihatan menyimpan banyak rahasia yang tidak ingin dibaginya dengan siapa pun termasuk aku.

“Aku tidak berhak memaksamu menjelaskan semuanya. Tapi setidaknya izinkan aku mengobatinya,” ucapku berdiri dan mengulurkan tangan ke dahinya, mengecek suhu tubuhnya. “Kau masih demam, makan lah buburnya. Setelah itu minum obat.”

Taehyung diam. Tidak bergerak sama sekali. Ia seperti patung pajangan. Melihatnya begitu membuatku berjalan ke atas nakas untuk mengambil obat demam dan vitamin yang tadi diberikan Jimin.

Aku meletakkan obatnya di atas meja. Kemudian mengambil segelas air hangat dan menyodorkan padanya. “Minum lah,” ucapku kembali duduk.

“Jangan terlalu peduli, Ann. Kau bukan siapa-siapaku,” ujar Taehyung dingin.

Aku mengerutkan kening. Berusaha untuk tidak tersinggung atau pun marah. Bukankah tadi Taehyung menangis memelukku dan memohon agar aku tetap di sini untuk menemaninya? Kenapa dia tiba-tiba berubah drastis?

Aku tidak mengerti apa mau Taehyung sebenarnya. Membuatku bingung dalam menentukan sikap.  Mungkin dia sedang banyak masalah dan butuh seseorang untuk melampiaskan amarahnya. Aku harus sabar.

Ponselku yang dari tadi berbunyi memaksaku untuk bergerak merogoh kantung celana olahragaku, dan mengangkat video call  dari Agust. Kakakku itu pasti sudah menunggu kepulanganku sejak tadi.

Wajah Agust tampak di layar ponsel ketika aku menggeser tombol hijau. “Kau dimana? Kenapa lama sekali? Aku sendirian di rumah. Aishh, Mom dan Dad lembur sampai jam 11 malam,” sergah Agust kesal.

Chasing You | KTH Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang