11. Tak Dirindukan

15 2 0
                                    

Pernahkah kau duduk diam di depan jendela sembari menatap kosong ke luar? Kalau kau pernah, apa yang kau rasakan?

Untukku, aku merasa hampa dan kosong. Kukira aku bisa menyimpan perasaan ini dalam-dalam. Mengubur seolah tak terjadi apapun. Berusaha tenang dan bahagia tiap kali ia menghubungiku. Tapi dua hari belakangan, rasanya sedikit menyedihkan. Ia menyakitiku dengan menceritakan wanita barunya. Mungkin dia berpikir apa yang kupinta adalah cerita mengenai hubungannya. Kalau ia benar-benar berpikir seperti itu, artinya ia benar-benar tega bukan?

Jemariku bahkan ragu untuk menuliskan ini. Rasanya, dia menghubungiku bukan karna merindukanku. Tapi hanya memenuhi permintaan-permintaanku. Menyedihkan dan tak menyenangkan sama sekali. Kukira ia mampu bersikap sama selayaknya biasa. Tapi ternyata? Aku yang harus memahami kondisinya. Terasa tidak adil tapi aku ikuti. Namun akhirnya aku disini, merasa sakit namun aku tetap diam.

Menulis satu-satunya tempat aku melarikan diri. Seolah dunia tak lagi mendengarkan kesedihanku. Sedikitpun ia tak memahami kalau rasanya sakit. Hanya selalu merasa aku menyalahkannya atas semua sikapnya. Itu tak adil. Sangat tidak adil Tuhan.

Ingin sekali aku merasa dirindukan kembali. Merasa seolah aku benar-benar dibutuhkan. Bukannya seolah aku pengemis yang benar-benar membutuhkan belas kasihan. Aku tak mau seperti ini. Aku bukan perempuan yang bisa kau anggap seperti itu. Ingin memakimu, memarahimu, tapi kalau seperti itu hanya menambah pikiran jelekmu mengenaiku.

Kenapa selalu aku yang kau pandang jelek? Kenapa tak berpikir kalau sikapmu yang seenaknya membuatku seperti ini.

Apa maksudnya menceritakan wanita barumu? Aku temanmu? Cih, aku tak pernah sudi sekedar dianggap teman. Lebih baik kututup buku ini dengan kasar.

Selamat tinggal cinta pertamaku.

1095 Days, The 18 LoverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang