29. Perihal Percaya

14 2 0
                                    

Pukul 20.30 waktu setempat, aku menyesap kopi hitam dengan kaos kedodoran sembari melihat layar laptopku. Blank. Rasa ingin melukai memenuhi buku jariku, "Ayolah ... kumohon waras sekali saja. Orang-orang ini tidak setimpal. Mereka hidup diliput oleh rasa bahagia, tolong kau bangkit." Suara batin ini lirih memenuhi pikiran.

Aku benar-benar menyesali setiap pilihan dalam hidupku. Apa gunanya terlihat bagus dan bahagia kalau hanya sebentar? Pada akhirnya aku sendiri menanggung malu, seolah kotoran hangat yang dilemparkan ke muka.

Aku tak pernah ingin dibohongi dan dihancurkan seperti ini. Memangnya aku salah ya selama ini terlalu mempercayakan segalanya pada manusia?

"Tentu, kau salah besar, sungguh memalukan bukan?" Logika dan kesadaranku menertawaiku, yang tak lebih murah dari buku usang terbengkalai. Semua orang merubahmu menjadi monster. Lalu apa gunanya bersikap layaknya seperti manusia?

***

Aku membangun rasa percaya dilandasi pencitraan palsu yang dibumbui roman penyalamat di setiap kedatangannya. Di atas kasur aku menangis tersedu, semua rahasiaku dijadikan bahan guyonan yang akhirnya mempermalukanku sendiri. Setiap jengkal rasa ketidaknyamananku dikorek habis seolah aku harus pergi atau kata-kata itu akan terus dilontarkan.

Kurasa dalam proses pendewasaan, saat-saat terburuk yang kualami adalah saat melihat warna asli orang-orang yang kukagumi. Semua orang berharap aku mati, atau pergi. Aku takut mati, aku takut setiap kali melihat ujung pisau yang bisa merobek tubuhku mengiris pergelangan nadiku. Tapi makin hari, persoalan semakin bertambah berat.

Aku memilih pil pahit yang bahkan berharap aku tak ada saat yang kuharap hanya semangat untuk menjalani hidup.

Secara tragis orang-orang menghujani setiap langkahku dengan cerca atau kalimat manis penuh hunusan tajam yang siap melukai hatiku. Aku diam? Ya tentu saja.

Kalau aku melawan yang mereka pikirkan, aku hanya orang yang tak tau berterima kasih.

Kalau aku mengutarakan pikiran, aku hanya perempuan tak tau malu yang tak pernah mengerti posisi orang lainnya.

Kalau aku memberontak, aku hanya perempuan kasar yang tak bisa menjaga omongannya.

***

Hey, kau tau kan bila seseorang mempercayaimu seharusnya kau tak membocorkan rahasia atau bahkan mengataiku dengan rasa sakitnya itu? Kepercayaan itu seperti gelas kaca yang sulit kembali bila pecah. Ah atau mungkin tujuanmu hanya ingin menghancurkanku sama seperti wanita dalam album koleksimu itu?

1095 Days, The 18 LoverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang