7. You make me fly.

16.1K 1.1K 9
                                    

•••

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

•••

"S-stophh!"

"Please!"

Sekuat tenaga Deelara berusaha menahan dada Tian, menghentikan serangan ciuman yang di berikan oleh laki-laki itu. Dengan napas terengah-engah, Deelara mencoba menatap Tian. Melihat mata berkabut gairah itu lagi, dan aroma mint yang semakin menjungkirbalikan akal sehatnya.

"Kenapa? Udah inget?" Tanya Tian, suaranya terdengar serak dan seksi di telinga Deelara.

Deelara bungkam. Mengatur napasnya dan jantung yang berdebar dengan gila. Sisi jalangnya bahkan menginginkan laki-laki itu bertindak lebih jauh. Tanpa sadar Deelara menggigit bibir bawahnya, yang justru terlihat semakin menggoda di mata Tian.

"Shit! you make me crazy, Deelara."

Dan Tian kembali membungkam bibir merah yang sudah agak membengkak itu lagi, mencecap rasa manis dari pelembab bibir perempuan itu hingga tak bersisa. Tian nyaris meledak karena dorongan gairah yang semakin membuatnya bertindak lebih jauh lagi. Tangan yang sejak tadi menahan wajah dan tengkuk Deelara kini mulai menyentuh---membelai leher, pundak, mengusap lengan Deelara dengan sensual hingga turun melewati pinggang dan Tian semakin menggila ketika telapak tangannya menyentuh paha Deelara yang terbuka. Belum sempat tangannya bergerak naik, perempuan itu sudah lebih dulu menahan tangannya dan menghentikan ciuman mereka.

Dengan napas terengah-engah, Deelara berujar. "S-stoph! I remember. I remember everything. You can stop here."

Tian tersenyum miring lalu menarik diri. Memberikan jarak di antara mereka, membiarkan perempuan itu mengambil napas sebanyak-banyaknya.

Deelara langsung berjalan cepat ke arah dapur lalu masuk ke dalam kamar mandi tamu. Buru-buru Deelara membasuh wajahnya dengan air dingin, berharap dengan cara itu akal sehatnya bisa terkumpul sempurna.

Deelara menatap wajah basahnya di kaca, "Udah seminggu, dan rasanya masih segila ini."

Satu tangannya menyentuh dada bagian kirinya, disana jantungnya berdetak dua kali lebih cepat. Bagaimana mungkin laki-laki itu dengan mudahnya datang meruntuhkan pertahanannya yang sudah seminggu ini dia bangun dengan susah payah? Andai Tian tahu, jika bukan hanya dia saja yang di hantui oleh bayang-bayang malam panas itu. Andai Tian tahu, jika sekarang Deelara juga merasakan gairah yang sama. Mungkin malam panas itu akan kembali terulang dan Deelara akan semakin tenggelam di dalam pesona seorang Septian Pramudya.

Deelara menggeleng cepat, membasuh wajahnya sekali lagi lalu menarik beberapa lembar tisu untuk mengeringkan wajahnya. Deelara menarik lalu menghembuskan napasnya panjang, ini saatnya untuk bersikap lebih tegas kepada laki-laki itu. Tembok pemisah itu harus segera di bangun demi ketenangan hidup bersama.

Dengan tekad bulatnya Deelara kembali dengan segelas air di tangannya, meletakan gelas itu di hadapan Tian tanpa berniat kembali duduk di sofa---terkutuk itu.

"Sorry, cuma ini yang ada." Jelas Deelara tanpa di minta.

Tian mengangguk pelan lalu meneguk air itu hingga tandas. Mungkin pergulatan panas tadi memang benar-benar menguras cairan di tubuh Tian.

"Mau lagi?"

Tian menggeleng, meletakan gelas kosongnya di atas meja lalu menatap Deelara dengan satu alis terangkat. Mungkin Tian bingung kenapa Deelara hanya berdiri di depannya.

Seakan menyadari tatapan penuh tanya itu. Seperti biasa, bersikap angkuh untuk menutupi kelemahannya. Deelara menyilangkan tangannya di dada, menatap Tian serius.

"Oke, jadi sekarang lo bisa jelasin alasan kenapa lo bisa ada disini sekarang?"

Tian menyenderkan punggungnya ke sandaran sofa. Mencari posisi ternyaman untuk balas menatap Deelara yang berdiri di depannya.

"Ada yang harus gue pastiin." Ujarnya, matanya melirik Deelara dari atas sampai bawah lalu berhenti tepat di perut rata Deelara.

"Apa?" Deelara bertanya waspada.

"Memastikan apakah sperma gue berhasil membuahi sel telur lo atau nggak!"

"Hah?"

Kenapa Deelara tiba-tiba merasa otaknya mendadak jongkok ketika berhadapan dengan pesilat lidah seperti Tian? Laki-laki itu selalu berhasil membuatnya bungkam dengan berbagai cara.

"Malam itu, gue cuma punya satu pengaman dan kita main lebih dari tiga kali. Dari situ gue rasa lo udah bisa mikir, sekalipun itu pengalaman pertama lo." Jelas Tian. Seperti biasa, tanpa filter.

"Lo bisa aja hamil anak gue." Ujar Tian lagi, kembali memperjelas maksudnya. Takut jika Deelara tidak tahu apa itu sperma dan sel telur.

Bukannya kaget, teriak histeris dan panik sendiri. Deelara justru tersenyum tipis, masih tetap bersikap tenang. Berbeda jika itu adalah perempuan lain, mereka mungkin akan mulai berteriak panik dan menuntut tanggung jawabnya. Tapi tidak untuk Deelara yang jelas-jelas sedang mendapatkan tamu bulanannya.

"Lo kenapa senyum-senyum?" Tanya Tian, terkesan tidak suka.

Deelara menggeleng pelan.

"Emang kenapa kalo gue hamil, lo mau tanggung jawab?" Tanyanya sok serius.

Tian mengangguk tegas, "But sorry to say this, don't expect marriage from me. Gue bisa tanggung jawab dalam bentuk apapun, kecuali untuk yang satu itu."

Deelara menyeringai sinis, "Tipikal laki-laki brengsek yang mendarah daging, brengseknya totalitas tanpa batas ya?" Gumam Deelara yang masih bisa di dengar oleh Tian.

"Sebrengsek-brengseknya gue, gue akan tetap mengakui darah daging gue kalo seandainya lo hamil. Gue akan tetap bertanggung jawab dan menjamin masa depannya meskipun tanpa adanya pernikahan."

"Lo punya trauma sama pernikahan?" Tanya Deelara mulai ingin tahu.

Tian menggeleng pelan. "Orangtua gue sampe saat ini hidup dengan harmonis. Salah satu sahabat gue menikah dengan laki-laki baik yang akhir-akhir ini malah jadi bucin demi membahagiakan istrinya." Tian terkekeh kecil ketika mengingat kebucinan Argan kepada Annaya. "Sejauh ini, masalah rumah tangga yang gue temui hanya dari klien-klien gue. Kebanyakan masalah mereka seputar KDRT, hak asuh anak dan pembagian harta gono-gini. Dan gue rasa, itu juga bukan alasan kenapa gue masih nggak tertarik untuk menikah. Entah gue yang belum menemukan orang yang tepat atau gue emang nggak siap untuk terikat dalam satu hubungan. Gue belum siap menghabiskan sepanjang hidup gue dengan bermain tebak-tebakan, mending gue ngurusin sepuluh kasus klien sekaligus dari pada harus tebak makna tersirat di balik kata 'Terserah' dan 'Aku nggak pa-apa'.

Di akhir kalimatnya, Deelara bisa melihat Tian yang bergindik ngeri. Untuk ukuran laki-laki sekelas Septian Pramudya yang kaya, tampan dan hot, memang bukan hal aneh jika banyak jenis perempuan yang berlalu-lalang di hidupnya. Tian bisa saja bergonta-ganti perempuan setiap harinya jika dia mau.

"Lo gay?"

"Menurut lo?"

"Kok menurut gue sih?!"

"Ya, lo kan udah membuktikan sendiri. Apa perlu gue ulangi lagi?"

"Sialan!"

Tian tersenyum manis lalu menghampiri Deelara, menepuk puncak kepala perempuan itu dua kali.

"Gue anggap itu pujian. Muka lo nggak bisa bohong, kalo lo juga menikmati malam itu Deelara."

Lifeline - Septian Pramudya Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang