11. I'm crazy and I want you too

15.8K 1.1K 4
                                    

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

"Lupain Andreas."

"Tanpa lo suruh pun, gue juga akan ngelakuin itu." Jawab Deelara tegas, sama sekali tidak ada keraguan di wajahnya.

"Bagus! Berarti mulai sekarang, lo harus terbiasa dengan kehadiran gue."

"Kenapa harus?"

"Karena mulai saat ini, kita akan makin sering ketemu."

Kernyitan di dahi Deelara semakin dalam, Deelara menatap Tian dengan pandangan menyelidik.

"Lo mabok ya?"

Tian sontak tertawa, bagaimana bisa Deelara berpikir jika Tian mabuk hanya dengan sekaleng bir? Ada-ada saja.

"Kalo gue bisa mabuk segampang itu, gue nggak mungkin nekat buka Hell Club."

"Yaa, omongan lo ngaco sih!" Sentak Deelara tidak habis pikir.

Tian tersenyum manis, menopang dagunya dengan tangan sambil memandang Deelara cukup intens.

"Pelan-pelan aja. Lo nggak harus langsung terima kehadiran gue, tapi coba aja. Siapa tau jodoh." Ujar Tian kelewat enteng, saking entengnya Deelara melihat itu sebagai candaan yang sama sekali tidak lucu.

Candaan apa yang bikin orang deg-degan?

Deelara memilih untuk mengalihkan pandangannya ke depan, enggan menatap senyum Tian yang kelewat manis.

"Nggak usah becanda. Nggak lucu." Ujar Deelara ketus. Wajahnya bahkan sudah memerah tanpa di minta.

"Siapa yang becanda sih?"

"Lo suka sama gue?" Tanya Deelara langsung, tatapannya juga lebih serius dari yang tadi.

Tanpa ragu Tian mengangguk, "Suka, tapi belum sayang apalagi cinta. Tapi gue serius soal tawaran yang tadi." Tian bangkit dari duduknya, lalu menepuk puncak kepala Deelara seperti sudah menjadi kebiasaannya. "Pikirin aja dulu, meskipun penolakan lo nggak akan gue terima." Ujar Tian terkekeh pelan, menunjukan deretan gigi putihnya yang tersusun rapi.

"Gue kebawah dulu, mau ngurusin mantan pacar lo yang hampir mati tadi. Jangan kemana-mana." Pesan Tian lalu berlalu begitu saja, meninggalkan Deelara yang masih setia memandang punggung lebar itu berjalan menjauhinya.

"Apa gue bisa?" Tanyanya lirih, Deelara kembali menatap langit malam dengan pikiran menerawang. Mencoba meraba-raba hatinya, masih adakah sisa-sisa keyakinan disana yang bisa dia berikan kepada pengacara bermulut manis itu?

Lifeline - Septian Pramudya Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang