•••
Setelah mengungkapkan isi hatinya kepada Dipta, Deelara memutuskan untuk pergi lebih dulu. Membiarkan Dipta sibuk dengan pikirannya sendiri, Deelara hanya ingin Dipta tahu bahwa semua tidak lagi sama, bahwa saat ini hati Deelara benar-benar terasa kosong. Tidak ada lagi debaran menggila yang kerap kali membuat wajahnya menghangat ketika bersama laki-laki itu, dan mungkin tidak ada lagi tempat untuk Dipta kembali.
Deelara memutuskan untuk mampir ke salah satu toko kue langganannya, Deelara membutuhkan beberapa potong dessert dengan irisan buah di atasnya serta sebotol minuman teh kemasan dengan varian rasa apel yang menyegarkan. Deelara membutuhkan semua itu untuk mengembalikan mood-nya sebelum kembali ke butik dan berhadapan dengan rewelnya permintaan klien.
Baru saja kakinya memasuki pintu toko, pemandangan di depannya langsung membekukan seluruh persendian Deelara. Bukan deretan kue-kue lezat yang menunggu untuk di bawah pulang, tapi pemandangan punggung seseorang yang akhir-akhir ini selalu mengusik ketenangannya yang sekarang ada disana, dan tidak sendiri. Saking seringnya Deelara memandangi punggung itu, Deelara bisa langsung mengenalinya dalam sekali lihat.
Deelara masih terpaku di tempatnya, masih terus memperhatikan Tian yang keliatan nyaman bersama perempuan cantik dengan rambut sepunggung di sampingnya, yang tampak asik memilih beberapa kue. Sesekali perempuan itu memukul lengan Tian ketika laki-laki itu menggodanya, lalu di balas dengan Tian yang mengusap rambut perempuan itu tanpa sedikitpun melunturkan senyumnya.
Berkali-kali Deelara meyakinkan diri bahwa dia baik-baik saja dengan itu, hatinya baik-baik saja ketika tangan besar dan hangat itu ternyata juga melakukan hal yang sama kepada perempuan lain.
Deelara masih bertahan hingga pada titik dimana, Tian dengan santainya merangkul leher perempuan itu dan memberikan satu kecupan singkat di kepalanya. Siapa saja bisa melihat seberapa sayangnya Tian kepada perempuan itu, dan entah kenapa dada Deelara semakin terasa sesak luar biasa.
Deelara mundur satu langkah sebelum akhirnya berbalik, meninggalkan toko kue dengan langkah lebar. Persetan dengan keinginannya untuk memakan kue-kue itu, bukannya membaik, mood-nya justru semakin anjlok plus dada yang sesak luar biasa. Padahal ketika bersama Dipta tadi, rasanya tidak sesakit ini.
***"Muka lo kenapa?"
Tadi begitu baru sampai di butik, Sania yang matanya teramat jeli dan tingkat kepekaan yang luar biasa tinggi itu langsung memberondongnya dengan pertanyaan yang sama. Keingintahuannya tidak tanggung-tanggung, Sania bahkan terus mengekorinya sampai ke pintu toilet---menunggu hingga Deelara selesai dengan urusannya lalu kembali mengekori Deelara hingga ke ruang kerja mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lifeline - Septian Pramudya
RomansaDengan gerakan pelan, Deelara berusaha menyikirkan tangan berotot itu dari perutnya. Lalu bergerak mengumpulkan pakaian dan dalamannya yang berserakan di lantai sambil menahan perih di bagian intinya. Setelah mengenakan semua pakaiannya, Deelara be...