10. Feel or think!

15.2K 1.1K 6
                                    

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

Tian tidak langsung membawa Deelara pergi dari sana, ada sesuatu yang perlu dia urus sebelum meninggalkan Hell Club. Karena itulah Tian membawa Deelara ke atap gedung tiga lantai miliknya ini, suasana roftoop yang cukup nyaman dengan meja berbentuk mini bar yang menghadap langsung ke arah jalanan, memudahkan mereka untuk menikmati pemandangan kendaraan yang berlalu lalang di bawah sana. Penerangan di atas sini memang sengaja di buat remang-remang dengan hiasan lampu-lampu kecil berwarna kuning di keempat sudut roftoop yang berguna selayaknya lampu taman. Cukup aman untuk sekedar menjadi tempat pelarian dan Deelara bersyukur atas itu karena dia tidak perlu malu memperlihatkan wajahnya saat ini kepada Tian.

Jujur saja, Deelara sangat malu. Kenapa Tian harus melihatnya dalam keadaan seperti ini, apalagi dengan fakta bahwa Tian-lah pemilik dari Club ini. Tempat yang dulu mempertemukannya dengan Tian dalam kondisi yang berbeda dan berakhir dengan mereka yang menghabiskan malam panas.

Deelara tersadar dari lamunannya ketika satu kaleng bir dingin di letakkan di depannya. Dengan santainya Tian duduk di samping Deelara dengan pandangan lurus kedepan, meneguk birnya tanpa melihat Deelara yang tengah memandangnya intens.

Entah kenapa, Tian yang sedang meneguk birnya itu terlihat seksi di mata Deelara. Padahal itu hanyalah gerakan biasa yang akan di lakukan semua orang ketika meneguk minumannya. Buru-buru Deelara menggeleng, berusaha mengenyahkan pikiran-pikiran liarnya.

"Kenapa nggak di minum?" Tanya Tian yang entah sejak kapan sudah menatap Deelara.

Deelara menatap Tian dan bir di depannya secara bergantian. Jujur saja, dia mulai trauma dengan segala jenis minuman yang mengandung alkohol. Meskipun kadar alkohol di bir kaleng itu serendah kalorinya.

"Tenang aja. Kadar alkoholnya di bawah lima persen, nggak akan bikin lo jadi senekat malam itu." Jelas Tian santai yang langsung mendapatkan umpatan dari Deelara. Bukannya tersinggung, Tian malah terkekeh. Menikmati setiap ekspresi yang di tunjukan oleh Deelara.

Deelara langsung mengambil birnya dengan tangan bergetar, masih ada sisa-sisa ketakutan akibat pertumpahan darah tadi. Meskipun tidak sampai menewaskan Andreas.

Seakan menyadari hal itu, Tian langsung mengambil alih bir dari tangan Deelara lalu membukanya.

"Sorry." Ujar Tian dengan nada yang lebih serius.

Deelara yang hendak meneguk birnya, langsung mengurungkan niatnya. Kali ini, Deelara sepenuhnya menatap Tian.

"Kenapa minta maaf?"

Tian tidak langsung menjawab, tapi matanya memperhatikan kedua tangan Deelara yang masih mencoba kuat dengan menyalurkan ketakutannya dengan meremas bir dengan kedua tangannya.

"Lo ketakutan."

"Oh! Gue---"

Deelara semakin bergerak gelisah, tapi dia tahu jika Tian tidak akan berhenti sebelum menemukan jawaban atas pertanyaannya.

"Nyokab gue meninggal di tangan Bokap gue sendiri. Physical Abuse, Emotional Abuse, Domestic Abuse or whatever people call it. But in my eyes, all of that was terrible in the eyes of a seventeen year old. Sementara gue harus menjalani kehidupan yang sama dengan yang pernah di alami Nyokab. Bedanya sama Nyokab, gue masih tetap hidup sampe sekarang meskipun dalam bayang-bayang ketakutan itu."

"Dan Bokap lo?"

Deelara tersenyum getir. "Di penjara. Udah hampir enam tahun gue menjadi anak dari seorang pembunuh."

"Dan lo belum bisa berdamai dengan itu?"

Deelara menoleh, menatap Tian tepat di matanya. "Do you think I can forgive him? Atas apa yang sudah dia lakukan ke Nyokab? Ke hidup gue?"

Tian tersenyum teduh, menepuk puncak kepala Deelara beberapa kali.

"Berdamai dengan kenyataan bukan berarti memaafkan kesalahan Bokap lo. Berdamai untuk diri lo sendiri." Tian menunjuk dadanya sendiri, "Biar disini nggak menyimpan banyak dendam---" Tangannya beralih menunjuk kepalanya. "Dan biar disini juga nggak menyimpan kenangan-kenangan buruk yang nggak seharusnya di ingat-ingat. Life must go on. Your mom will be happy when she sees you happy too. Some have said, people who are dead will become stars in the sky." Tian terkekeh kecil, menyadari kebodohannya. Lalu tatapannya beralih menatap langit malam yang berbintang, "It sounds stupid, but you can believe it. Anggap aja Nyokab lo lagi ngeliat kita dari atas sana, dan dia tau kalo ternyata anaknya selama ini masih menyimpan kenangan buruk itu di otak kecilnya." Ujar Tian, reflek tangannya kembali menepuk puncak kepala Deelara.

Tampaknya Deelara juga tidak keberatan, karena telapak tangan Tian yang besar itu ternyata cukup hangat. Deelara ikut memandang langit malam yang berbintang, lalu menunjuk salah satu bintang yang paling bersinar terang.

"Can I think it's my mom?" Tanya Deelara lirih, matanya bahkan sudah berkaca-kaca. Di dalam bayangannya, dia melihat Mamanya yang sedang tersenyum bahagia ke arahnya.

"Anggap aja gitu. Kalo ada yang keberatan, bilang sama gue."

Deelara menoleh, menatap Tian dengan satu alis terangkat. "Untuk apa?"

"Biar gue hajar pake tongkat baseball yang tadi." Ujar Tian santai.

Deelara mendengus namun tetap tidak bisa menutupi senyumnya. Deelara kembali menatap bintang yang dia pikir sebagai Mamanya.

"Ma, thank you for being my mom and sorry for..." Deelara menjeda kata-katanya, kata-kata terakhirnya terasa sulit untuk di ucapkan.

Deelara tersentak saat kedua lengan kokoh itu menariknya dalam pelukan, tepukan pelan di punggungnya berhasil membuat air mata yang sejak tadi Deelara tahan luruh begitu saja.

"It's okay, everything will be fine. It's not too late to be happy, you deserve to be happy Deelara." Bisik Tian menenangkan.

Kata-kata Tian bagaikan mantra di telinga Deelara. Diam-diam ada secuil harapan untuknya, Deelara juga ingin melupakan kenangan buruk itu dan bahagia. Termasuk melupakan Andreas, laki-laki itu entah sejak kapan mulai berubah. Beberapa bulan belakangan ini Andreas seperti menjadi wujud lain dari Papanya. Emosinya sering meledak-ledak hanya karena hal sepele, mulai sering membentak sampai sikapnya yang kasar. Seperti menampar, mendorong hingga menyeret Deelara di depan umum. Beruntungnya, Andreas selingkuh dan hal itulah yang menjadi alasan untuk Deelara lepas dari jeratan Andreas.

Lifeline - Septian Pramudya Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang