13. Who are you?

14.1K 1.1K 13
                                    

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

Tian selalu bersikap santai dan terkesan cuek, seolah tidak peduli dengan keadaan sekitar tapi sebenarnya Tian selalu mudah membaca situasi. Bukan hanya mudah membaca gerak-gerik seseorang, Tian seperti punya kekuatan lain untuk membaca pikiran seseorang. Mata laki-laki itu terlalu jeli untuk memperhatikan hal-hal kecil seperti perbedaan warna peach dan merah. Bahkan ketika matanya tengah fokus menatap jalanan, Tian bisa dengan mudah melihat perubahan wajah Deelara.

Apa itu karena Tian seorang pengacara yang di tuntut untuk mempunyai insting yang tajam? Deelara jadi kesal sendiri karena merasa rugi banyak. Laki-laki itu selalu dengan mudahnya membaca Deelara, tapi Deelara sendiri tidak bisa menerka-nerka seperti apa Septian Pramudya itu, selain image brengsek yang di sematkan oleh hampir seluruh perempuan se-indonesia.

Sudah satu minggu, yang artinya sudah tujuh hari juga Tian menepati kata-katanya untuk mengantar jemput Deelara setiap hari minus hari sabtu dan minggu karena Space Girl sudah pasti tutup. Bahkan di hari ketujuh mereka berangkat kerja bersama, Deelara masih tidak terbiasa dengan semua perlakuan Tian. Bukan hanya perlakuannya saja yang membuat Deelara bingung, tapi juga penampilan laki-laki itu setiap hari. Tian yang memakai setelan kerjanya dengan rambut yang di tata serapi mungkin, dengan penampilan yang sepenuhnya berbeda dengan Tian ketika di luar jam kerja, ternyata tetap tidak mengurangi pesona laki-laki itu. Dan itu membuat Deelara bingung bagaimana harus menjaga hatinya.

"Yan!"

"Hm."

"Udah gue bilang---"

"Gue juga udah pernah bilang kan, kalo gue bakalan terus muncul di depan lo sampe lo muak?" Sela Tian, tatapannya tetap lurus memperhatikan jalanan.

Deelara menghembuskan napasnya berat, mengalihkan pandangannya ke luar jendela. Tidak tahu lagi harus berkata apa untuk menghentikan apapun yang coba Tian lakukan kepadanya, Deelara sungguh tidak ingin laki-laki itu masuk terlalu dalam ke dalam hidupnya. Deelara tidak ingin Tian menempati tempat kosong itu dan jika saat itu tiba, Deelara benar-benar takut akan di patahkan sekali lagi.

"Stop thinking about everything yourself, Deelara." Ujar Tian setelah hening yang cukup panjang.

Deelara tetap menatap keluar jendela, dengan pikiran menerawang.

"Gimana lo bisa suru gue berhenti mikirin itu saat lo sendiri bikin gue bingung," Deelara tiba-tiba menatap Tian. "Sebenarnya apa yang lo mau dari gue, Septian? Kalo yang lo cari itu seks, sorry gue nggak bisa."

Tian tiba-tiba menghentikkan mobilnya di pinggir jalan, lalu melepas sabuk pengamannya dan menatap Deelara tepat di manik matanya.

"Bagian mana dari sikap gue yang bikin lo berpikir kalo gue cuma butuh seks?" Tanya Tian terdengar dingin, lalu kembali meluruskan pandangannya ke depan. "Kalo gue butuh seks, gue nggak perlu nunggu seminggu buat dapetin itu."

Ada jeda yang cukup panjang sampai akhirnya Deelara membuka suara.

"Terus apa yang lo harepin dari tujuh hari ini? Kenapa lo harus repot-repot ngelakuin ini semua?" Tanya Deelara dengan sorot mata lelah.

Tian balas menatap Deelara, wajahnya serius tapi tidak setegang tadi.

"Tujuan gue masih sama. Dan lo tau itu." Ujar Tian lalu tanpa menunggu jawaban Deelara, karena Tian tahu Deelara selalu membiarkan pertanyaan itu berlalu tanpa berniat menjawabnya. Tian langsung menjalankan kembali mobilnya, membiarkan keheningan menyapa mereka hingga Deelara turun di butiknya dan Tian langsung menuju ke kantornya. Tidak ada yang tahu jika masing-masing dari mereka masih memikirkan hal yang sama.

•••

Tian melempar berkas di tangannya ke atas meja dengan kasar, "Gue kasih lo waktu satu bulan buat kumpulin bukti-bukti kejahatan Abraham Salahudin dan apa ini? sampah apa yang barusan lo kasih ke gue sialan?!" Bentak Tian tidak habis pikir.

Tian melonggarkan simpulan dasinya dengan kesal, melepas satu kancing paling atas lalu menggulung kedua lengan kemejanya sebatas siku. Memperlihatkan ukiran tatonya dengan jelas dan hal itu sukses mengintimidasi lawan bicaranya.

Ibram menelan ludahnya susah payah, "Sorry Yan, Gue usahain---"

"Setelah satu bulan lo baru bilang mau usaha?" Tanya Tian tidak percaya, masih dengan tatapan murkanya. Tian menggebrak meja kerjanya dua kali, "Denger Bram, gue nggak mau tau dan gue nggak butuh usaha yang setengah-setengah. Kalo lo masih mau ada disini, kerja yang bener. Semua orang punya masalah tapi sebagai orang yang tugasnya membantu menyelesaikan masalah orang lain, lo harus tetap profesional."

Ibram mengangguk lesu, meski bukan pertama kalinya menghadapi kemarahan Tian, rasanya tetap saja menusuk sampai ke ulu hati. Ajaibnya, dari mana Tian tahu jika Ibram sedang menghadapi masalah lain di luar pekerjaan? Apa hasil kerjaannya memang sekacau itu?

Saat hendak berbalik meninggalkan ruangan Tian, ponsel di saku Ibram berbunyi menandakan sebuah pesan masuk. Tanpa curiga Ibram langsung membuka ponselnya, sedetik kemudian dia langsung berbalik menatap Tian dengan ekspresi syok. Saking syoknya, Ibram sampai kehilangan kata-kata. Karena itulah yang bisa dia lakukan hanya menatap Tian dan layar ponselnya secara bergantian.

"Itu bonus lo bulan ini. Salam buat Nyokab lo, semoga cepet sembuh." Ujar Tian tenang, wajah dan suaranya sudah tidak semenyeramkan tadi.

"Ta-tapi Yan, bonus gue kan---"

Tian mengangguk, menyilangkan kedua tangannya di dada. "Lebihnya buat biaya perawatan Nyokab lo. Gue harap setelah ini lo bisa lebih fokus sama kerjaan, karena gue nggak pernah kasih kesempatan ketiga buat orang yang nggak profesional."

Seketika seluruh persendian Ibram melemas. Ibram membungkuk, meremas kedua lututnya dengan kepala menunduk. Tidak lama kemudian Ibram kembali berdiri lurus, menatap Tian dengan tatapan penuh haru.

"Gue nggak ngerti lagi terbuat dari apa lo sebenernya, Yan. Baru beberapa menit yang lalu rasanya lo mau cekik leher gue sampe mampus, tapi lihat sekarang---" Ibram menunjukan layar ponselnya, mati-matian bertahan agar suaranya tidak sampai bergetar. "Lo bahkan bantuin biaya Rumah sakit Nyokab gue. Anjing nggak tuh?! Lo kalo mau jahat, jahat sekalian. Jangan setengah-setengah dong, gue jadi terharu bangsat?!" Ujar Ibram dengan napas memburu, Ibram benar-benar terharu dengan sikap Tian tapi terlalu malu untuk menangis di depan laki-laki itu. Bisa di bully sampai mati dia.

"Gue tendang lo kalo sampe nangis disini." Ancam Tian sambil menunjuk Ibram dengan mata melotot, tidak ingin terlibat dengan drama pertumpahan air mata apalagi sampai harus berpelukan dengan Ibram.

Lifeline - Septian Pramudya Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang