16. Why?

10.8K 910 6
                                    

•••

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

•••

"Gue nggak ngerti!" Deelara menggeleng pelan, menatap Tian. "Kenapa lo harus nyuruh dia datang lagi? Sementara lo---"

"Sedang berjuang?"

Deelara tidak mengangguk ataupun menggeleng, keduanya hanya saling menatap seakan mata bisa menjelaskan semuanya. Setelah kepergian Dipta tadi, keduanya memilih masuk ke dalam mobil tanpa berniat pergi kemanapun. Deelara sibuk dengan pikirannya, sementara Tian senantiasa memperhatikan gerak-gerik Deelara. Memperhatikan dahi Deelara yang tak henti-hentinya berkerut, seakan perempuan itu sedang berpikir keras. Dan dalam diamnya, Tian menyukai semua yang ada pada diri Deelara. Bagaimana cara perempuan itu berekspresi, menekuk wajahnya hingga berkali-kali Deelara menarik lalu menghembuskan napas beratnya. Semua itu tidak pernah luput dari pengawasan Tian.

"Cepat atau lambat, kalian memang harus bicara." Tangan Tian terangkat, menepuk puncak kepala Deelara dengan lembut. Sontak hal itu langsung menarik atensi Deelara dari lamunannya dan mata mereka akhirnya bertemu. "Ibarat buku, lo nggak bisa baca dua halaman sekaligus. Selesaikan apa yang lo pikir udah seharusnya selesai dan tutup buku itu. Buka lembaran baru, mungkin lo bisa mulai dengan menata hati lo kembali."

Ada jeda yang cukup lama sampai akhirnya Deelara membuka suara.

"Kalo gue masih nggak bisa gimana?"

Tian tersenyum tipis, mengusap pipi Deelara dengan ibu jarinya.

"Mungkin saat itu gue akan berhenti."

Entah kenapa ada sedikit perasaan tidak rela di hatinya. Lagi-lagi perasaan dan logikanya berperang, dan logikanya-lah yang selalu menang. Logika memaksa Deelara untuk berkali-kali denial setiap kali rasa itu mulai muncul.

Deelara menatap tepat di manik mata Tian, mencoba mencari alasan disana untuk membuatnya yakin.

"Jujur aja, lo bikin gue bingung. You like to play with my heart, Septian. You pull me closer and then you push me away. So do you really want me or not? tell me because I hate not being able to guess what's on your mind." Ujar Deelara dengan segenap keberaniannya, dan lawan bicaranya cukup terkejut atas keberanian itu.

Selanjutnya yang Tian lakukan adalah semakin mengikis jarak di antara mereka, Deelara bahkan bisa merasakan hembusan napas beraroma mint itu di wajahnya.

"Kalo gue bilang yang gue mau itu lo, apa hati lo siap?"

Deelara membeku. Meskipun sudah menduga kalau Tian akan memberikan jawaban gamblang seperti ini, rasanya tetap saja mendebarkan. Ingin rasanya Deelara menjawab tapi lidahnya mendadak kelu.

Sementara Tian yang merasa pertanyaannya tidak akan mendapatkan jawaban, langsung menarik diri dan menyenderkan punggungnya ke sandaran kursi. Kembali memberikan jarak di antara mereka.

"Jangan maksain diri, nggak pa-apa kalo lo belum bisa jawab." Jawab Tian terdengar tenang.

Meskipun laki-laki itu terlihat seperti biasa atau lebih tepatnya, mencoba terlihat biasa. Deelara tahu, laki-laki dan egonya pasti terluka ketika mendapatkan penolakan. Karena itulah Deelara memilih mengalihkan pandangannya ke luar jendela.

"Gue pasti perempuan pertama yang udah nolak lo." Cetus Deelara tiba-tiba.

Tian mengangguk meski tahu Deelara tidak akan melihatnya, "Dan juga perempuan pertama yang bikin gue mau berjuang. Penolakan memang melukai ego gue sebagai laki-laki, tapi lo tenang aja." Tian tersenyum manis ketika Deelara tiba-tiba menoleh dan menatapnya. "Keinginan untuk bersama lo jauh lebih besar dari pada ego gue."

"Yan..."

"Kenapa? Lo udah mulai suka sama gue?" Tebak Tian dengan senyum menggodanya. Niatnya ingin mencairkan suasana dengan membuat perempuan itu kesal, tapi selanjutnya yang terjadi adalah...

"Iya."

"Hah?" Tian menganga percaya tidak percaya, matanya terbuka lebar. Terlihat jelas keterkejutan di wajah laki-laki itu.

"I think I started liking you, I feel safe and scared when I'm by your side. Sekarang gue bukan hanya takut untuk memulai, tapi gue juga takut dengan kenyamanan yang lo tawarkan. Gue selalu berpikir bahwa apa yang gue mulai akan selalu berakhir sama. Ya, I know. That sounds stupid. Tapi gue juga nggak bisa menahan diri untuk berhenti berpikir sejauh itu."

Ada jeda yang cukup panjang sebelum Deelara kembali membuka suara.

"Pradipta, his name. Three years ago we loved each other. And now, that feeling is gone." Ujar Deelara seakan menjawab semua pertanyaan yang bersarang di kepala Tian sejak tadi.

"Why?" Tanya Tian, menatap tepat di manik mata Deelara.

"What do you mean by 'why'?"

"Gue pikir lo bukan tipe perempuan yang bisa dengan gampangnya berpaling, apa yang salah dengan Pradipta?"

Deelara tersenyum tipis, lalu menggeleng. "Gue nggak pernah berpaling, Yan. Dia yang pergi."

Tian tidak lagi menjawab, tapi jari-jarinya bergerak masuk di antara sela jari-jari Deelara. Menggenggam tangan mungil itu semakin erat. Keduanya hanya saling melihat dan Deelara menyukai bagaimana cara Tian menunjukan kehadirannya.

Mungkin Deelara harus mulai merubah cara berpikirnya, merubah caranya menilai seseorang hanya dari cover-nya saja. Semakin lama menghabiskan waktu bersama Tian, sedikit banyak membuat Deelara paham akan cara berpikir laki-laki itu. Meskipun kadang-kadang Tian bisa berubah menjadi sangat abu-abu. Deelara tahu, tidak baik jika menilai seseorang hanya dari masalalu atau track record seseorang.

Karena itulah Deelara memutuskan untuk mulai menerima kenyataan bahwa Tian bukanlah laki-laki baik yang catatan dosanya bersih, meskipun hati Deelara sendiri masih terlalu sulit untuk menerima kehadiran seseorang. Semua ini bukan hanya soal waktu, Deelara tidak bisa memastikan berapa lama hatinya akan benar-benar siap menerima Tian.

Apakah seorang Septian Pramudya sanggup menunggunya tanpa kepastian?

Lifeline - Septian Pramudya Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang