26. Treating the wounded

10.3K 908 12
                                    

•••

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

•••

"Muka lo kenapa sih? Gagal ejakulasi apa gimana?"

Tian mengumpat pelan. "Shit, Ya. Mulut lo kenapa lama-lama jadi mirip Anay sih?"

Yaya tergelak, "Ya abisnya, muka lo kayak orang lagi nahan ngeluarin itu Yan, sumpah!" Ujar Yaya di sela-sela tawanya.

Tian menghembuskan napasnya kasar, terlalu malas untuk membalas kata-kata sarkas Yaya yang mulai mirip dengan Anay, Ibu hamil yang tingkat kewarasannya perlu di pertanyakan itu.

Yaya menghentikkan tawanya setelah tidak kunjung mendapatkan respon dari Tian. Tian lebih pendiam dari biasanya.

"What's going on?" Tanya Yaya.

"Something's broken here..." Tian menyentuh dada bagian kirinya, matanya menerawang jauh. "Ini bahkan lebih sakit dari pada ngeliat Siska jalan sama om-om dulu. Gue harus apa, Ya?" Tanya Tian frustasi.

Jujur saja, Yaya tidak tahu harus berkata apa. Ini pertama kalinya Tian terlihat kacau gara-gara perempuan, apalagi laki-laki itu baru saja membuat pengakuan yang sangat langka. Patah hati? seorang Septian Pramudya yang hobby bergonta-ganti teman tidur baru saja patah hati. Lelucon macam apa ini?

Sebenarnya di bandingkan dengan kata-kata penyemangat, Yaya lebih ingin menertawakan Tian yang mungkin sedang di hadapkan dengan karmanya. Tapi melihat kondisi Tian saat ini, sepertinya Yaya harus mengurungkan niatnya itu.

"Is this still the same girl?"

Tian mengangguk pelan, bahunya terkulai lemas. Tian memang seterbuka itu, dia tidak pernah berniat menyembunyikan siapapun perempuan yang dekat dengannya. Hampir semua dia ceritakan kepada dua sahabatnya, Yaya dan Anay. Termasuk tentang Deelara. Bagaimana awal keduanya bertemu, menghabiskan malam bersama, hingga usahanya dalam mendekati Deelara.

Yaya lega sekaligus miris, kenapa Tian harus merasakan jatuh cinta dan patah hati secara bersamaan? Awalnya Yaya pikir, Tian hanya penasaran dengan Deelara, Tian mungkin hanya merasa tertantang dengan penolakan perempuan itu. Tapi sepertinya dugaan Yaya salah. Semuanya tidak sesederhana itu.

"Dan lo akhirnya memutuskan untuk menyerah?" Tanya Yaya setelah keduanya terdiam cukup lama.

Tian menghembuskan napasnya panjang, wajahnya semakin kusut. "Gue nggak punya pilihan lain, Ya. Setidaknya gue udah berusaha, meskipun hasilnya nggak sesuai dengan apa yang gue inginkan. Lo tau kan Ya, gue udah berhenti berharap sama perempuan setelah kejadian Siska itu. Gue ngerasa kayak... terikat dengan satu perempuan itu hanya buang-buang waktu. Gue yang saat itu mati-matian nunjukin keseriusan gue aja di selingkuhin, dan itu bukan hanya dengan satu laki-laki." Tian tersenyum miris, "Gue nggak tau apa yang bikin gue suka sama Deelara. Selain dia beda banget sama Siska, Deelara juga bukan tipe gue. Lo tau sendiri kan, tipe gue yang semok-semok gitu." Ujarnya sembari terkekeh geli. Sementara Yaya mendengus keras.

"Tapi Deelara beda, Ya." Ujar Tian lagi setelah tawanya reda, tatapan matanya melembut dengan senyuman kecil di bibirnya. "Dia nggak ngapa-ngapain aja, udah bikin gue tertarik. Aneh ya?" Tian menghempaskan punggungnya ke sandaran sofa, menatap langit-langit apartemen Yaya. "I want to protect her, I want to be the person she's always looking for when I wake up, I want to be someone for her. I'm willing, Ya... but she's not."

"Dari mana lo bisa yakin kalo dia nggak merasakan hal yang sama? Dugaan lo bisa aja salah, Yan." Ujar Yaya cukup sanksi.

Tian mengangkat bahunya acuh. "Menurut lo gue harus apa, kalo orang yang sedang gue perjuangin masih terus membangun tembok kokohnya?" Tian balik bertanya, lalu menggeleng pelan. "Gue nggak akan bisa ngerobohin tembok itu kalo pemiliknya sendiri bersikeras membentengi diri, Ya. Ini memang bukan salah Deelara, sejak awal dia memang nggak pernah menjanjikan apa-apa sama gue. Sejak awal dia emang nggak pernah ngundang gue masuk, gue sendiri yang menerobos masuk ke hidup dia. Saking pengennya gue masuk ke dunia Deelara, gue lupa dengan dunia gue sendiri." Tian menatap Yaya serius. "Lo boleh nggak percaya ini, tapi gue udah nggak pernah tidur sama cewek random manapun setelah malam itu. Deelara memang nggak pernah menuntut gue untuk berubah, dia nggak pernah komen apapun soal tato gue yang segini banyaknya. Tapi gue... gue yang pengen jadi baik untuk dia. Gila ya gue?" Tian tertawa sumbang. Lebih tepatnya menertawakan dirinya sendiri.

Yaya yang sejak awal menyimak ceritanya dalam diam, hanya bisa menepuk-nepuk pundak Tian dengan tatapan prihatin.

"Kalo menurut gue sih, perasaan lo nggak bertepuk sebelah tangan." Ujar Yaya yang langsung menarik perhatian Tian. Laki-laki itu kini sepenuhnya menatap Yaya. "Kalo dia emang nggak ada rasa sama lo, dia nggak mungkin diem aja pas lo deketin. Apalagi lo bilang, kalian udah deket beberapa bulan ini kan?" Tanya Yaya memastikan dan Tian langsung mengangguk.

Yaya langsung mencibir, "Cowok emang nggak pernah peka!" Yaya membenarkan duduknya agar sepenuhnya bisa berhadapan dengan Tian. "Gue nggak akan jalan lebih dari dua kali sama orang yang gue nggak suka, gue juga nggak akan balas ciuman cowok yang gue nggak suka. Mungkin gue juga bakalan nampar dia karena udah berani nyium gue tanpa ijin. Lo tau itu artinya apa?"

Tian menggeleng dengan raut wajah bingung.

Yaya kembali mendengus keras. "Artinya, Deelara itu juga suka sama lo goblok!" Semprot Yaya setengah kesal. "It's about feeling, dude. Nggak bisa lo logikain kayak lo ngadepin klien lo. Lo sendiri yang bilang kan kalo Deelara beda sama perempuan-perempuan yang selama ini singgah di kasur lo, jadi fix! She likes you too, Septian Pramudya." Ujar Yaya gemas.

Tapi Tian malah menggeleng tidak setuju, "Udah gue bilang Ya, Deelara itu..."

"...Dia juga punya perasaan yang sama. Tapi terlalu takut untuk kembali memulai." Tebak Yaya tepat sasaran. "Yang harus lo lakuin adalah biarin dia berdamai dengan masa lalunya, kasih dia waktu untuk menata hatinya kembali. Udah kodrat sih kalo cewek itu susah ngelupain kenangan."

Tian terdiam. Memutar kembali ingatannya bersama Deelara selama beberapa bulan ini, lalu meraba perasaannya sendiri.

Apakah masih ada harapan?

"Jadi gue harus gimana, Ya?" Tanya Tian setelah lama terdiam.

Yaya memijit pangkal hidungnya, terlihat frustasi. "Kenapa lo jadi tolol gini sih? If you love her, you have to fight again. Make her believe in your feelings and get her." Ujar Yaya berapi-api.

Melihat itu Tian malah tersenyum geli, "Lo sadar nggak Ya, makin kesini lo makin mirip sama Anay. Yaya yang gue kenal itu Yaya yang kalem, Yaya yang penyabar, Yaya yang ngomongnya alus..."

"Get the fuck of out here!"

Dan bukannya tersinggung, Tian malah tertawa ngakak. Tidak menyangka jika Yaya sang ibu peri ternyata bisa mengumpat dengan lantang.

Lifeline - Septian Pramudya Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang