18. Old story

10.8K 881 11
                                    

•••

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

•••

"Sorry, telat!"

Ujar Deelara dengan raut penyesalannya begitu duduk di depan Dipta. Berbeda dengan Deelara yang justru merasa tidak enak karena sudah membuat laki-laki itu menunggu hampir satu jam, Dipta justru mengulas senyum di wajah tampannya.

"Tadinya aku pikir kamu nggak bakalan dateng."

"Kita memang perlu bicara, Dip. Oh ya, kamu udah lama ya?" Tanya Deelara berusaha mengalihkan pembicaraan.

"Nggak pa-apa kok, santai aja Ra. Aku juga baru dateng kok." Ujar Dipta menenangkan.

Tapi wajah Dipta berubah panik saat Deelara tiba-tiba mengulurkan tangannya, menyentuh cangkir kopi di depan Dipta.

"Sayangnya, kamu nggak pinter bohong." Ujar Deelara ketika sudah menarik tangannya kembali lalu menyenderkan punggungnya ke sandaran kursi dan menatap Dipta lekat-lekat.

Dipta menyengir saja ketika sudah tertangkap basah. Memang susah ketika sudah berhadapan dengan Deelara, bukan karena Dipta tidak pintar berbohong. Sebagai seorang polisi yang bertugas di unit Reskrim, selain harus pintar mengungkap kebohongan Dipta juga di tuntut untuk pintar berbohong ketika sedang menjalankan tugas.

Contohnya dalam penyamarannya ketika akan melakukan penangkapan penyalahgunaan narkoba jenis ganja yang di kirim langsung dari Papua, di dalam operasi itu Dipta di tugaskan untuk memantau kedatangan target penangkapan langsung di bandara. Mau tidak mau, Dipta harus menyamar sebagai salah satu Ground Marshall atau tukang parkir pesawat untuk mempersempit ruang gerak target. Dan itu semua bukan tanpa persiapan karena dua minggu sebelumnya Dipta benar-benar mempelajari pekerjaan seorang Ground Marshall. Bukankah Dipta benar-benar totalitas dalam penyamarannya?

Jadi membohongi Deelara seharusnya bukanlah hal yang sulit. Ya, seharusnya. Kalau saja Deelara bukanlah perempuan yang sejak lima tahun yang lalu Dipta cintai diam-diam, dan baru satu tahun kemudian Dipta berani mengungkapkan perasaannya. Betapa bahagianya Dipta ketika Deelara menerima pernyataan cintanya saat itu, meski setelah itu Dipta sendiri yang menghancurkan kebahagiaan itu.

"Hei! Kok bengong?"

Dipta tersadar dari lamunanya karena suara dan lambaian tangan Deelara di depan wajahnya. Dipta meringis karena melihat kebingungan di wajah Deelara.

"Sorry!" Ujar Dipta penuh penyesalan.

Deelara mengangguk saja karena tau-tau seorang waiters sudah meletakkan minuman pesanannya di meja. Lagi, Dipta meringis sambil menggaruk pelipisnya yang tidak gatal. Dipta jadi penasaran, selama apa dia melamun hingga melewatkan banyak hal.

Lifeline - Septian Pramudya Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang