28. Reset

11K 872 9
                                    

•••

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

•••

"Boleh duduk di sini?"

Deelara mengangkat wajahnya dari buku yang sedang di bacanya, menatap seseorang yang berdiri di depannya dengan bingung. Perempuan itu tersenyum lembut, senyum yang menular hingga membuat Deelara juga ikut menarik kedua sudut bibirnya.

"Silahkan!"

Perempuan itu mengulurkan tangannya setelah duduk di hadapan Deelara, "Aku Safiyya, kamu bisa panggil aku Yaya. Kita memang belum pernah ketemu sebelumnya tapi sedikit banyaknya aku tau tentang kamu dari Tian."

Deelara menyambut uluran tangan Yaya dengan kening berkerut, meskipun bingung Deelara tetap mengangguk sopan dan menyebutkan namanya.

"Deelara."

Deelara menelan ludahnya. Nama yang sudah dua minggu ini tidak pernah lagi di dengar, nama yang... ternyata masih memberikan efek yang luar biasa bagi hatinya.

"Aku nggak ganggu kan?" Tanya Yaya lagi.

Deelara tersenyum tipis, lalu menggeleng pelan. "Nggak kok." Deelara menatap Yaya, "Kayaknya kamu juga ada yang mau di bicarain sama aku." Tebaknya langsung.

"Ternyata bener, apa yang di bilang Tian." Yaya juga menatap Deelara, meneliti wajah perempuan itu dengan seksama. "Kamu cantik." Yaya terkekeh pelan lalu menoleh ke arah meja di sudut Kafe. "Tadi aku duduk disana, cukup lama merhatiin kamu. Kamu terlihat nyaman dengan duniamu." Yaya lagi-lagi tersenyum, "Persis seperti apa yang Tian bilang."

"Apa lagi yang dia bilang selain itu?" Tanya Deelara, lalu terkekeh hambar. "I hope you hear only good things."

Yaya ikut terkekeh, "Sayangnya, iya. Setiap kali cerita tentang kamu, dia selalu terlihat bersemangat. Matanya berbinar-binar setiap kali nyebut nama kamu. Like a child boasting about his favorite toy. He likes you that much."

Melihat Deelara yang hanya diam saja, Yaya semakin semangat melanjutkan kata-katanya.

"Seharusnya perempuan baik-baik kayak kamu nggak terlibat dengan laki-laki brengsek kayak Tian kan?" Yaya tersenyum lembut saat Deelara menatapnya penuh tanya. "Itu yang aku bilang ke dia saat pertama kali dia cerita tentang kamu, tentang seorang perempuan bernama Deelara Adira yang menjadi alasannya berhenti main-main dengan banyak perempuan. Tentang Deelara Adira yang bikin dia ingin berubah jadi lebih baik, tentang Deelara Adira... satu-satunya perempuan yang ingin dia perjuangkan. Lucu ya? Laki-laki brengsek itu ternyata bisa berubah semanis itu. Jangankan kamu, aku aja masih susah percaya. Bukan karena aku meragukan perasaan dia---" Wajah Yaya berubah serius kali ini, Yaya menatap tepat ke manik mata Deelara. "Tapi karena aku terlalu lama mengenal dia, meskipun Anay jauh lebih tau brengseknya Tian sampe ke ujung kukunya. Oh ya! Anay itu salah satu sahabat kita, btw." Yaya langsung menjelaskan tanpa di minta, seolah tahu kebingungan yang melanda Deelara. "Aku percaya kalo cinta bisa merubah seseorang, begitupun dengan si brengsek Tian." Lanjut Yaya lagi, Yaya menepuk punggung tangan Deelara yang berada di atas meja. "He loves you, Deelara."

Untuk sepersekian detik, Deelara kehilangan kata-katanya. Semua perkataan Yaya seperti ada tangan tak kasat mata yang membuka kembali pintu yang sudah hampir tertutup. Deelara mengalihkan pandangannya ke luar jendela dengan pikiran yang luar biasa kacau.

"Aku nggak tau harus ngomong apa, Ya." Cicit Deelara pelan, matanya tiba-tiba memanas.

Deelara hanya tidak bisa lagi menahan semuanya sendirian, di tidak bisa terus berpura-pura baik-baik saja seolah kehilangan Tian bukanlah apa-apa. Karena sesungguhnya bukan hanya laki-laki itu yang hancur. Deelara juga hancur, hancur karena ulahnya sendiri.

"Aku pengecut, Ya." Ujar Deelara dengan suaranya nyaris berbisik. "Aku pengecut karena membiarkan Tian pergi, aku pengecut karena nggak berani membuka hati. Dan aku..." Deelara menghembuskan napasnya panjang, "Aku pengecut karena nggak pernah berani mengakui perasaanku sendiri." Deelara menatap Yaya, satu air matanya luruh begitu saja. Dan Yaya bisa melihat penyesalan disana.

"Aku cinta sama dia. Aku cinta sama sahabat kamu yang brengsek itu, Ya." Ujar Deelara dengan satu tarikan napasnya, matanya menatap Yaya dalam. Deelara akhirnya berani mengakui perasaannya untuk pertama kali. Tapi ada sesuatu yang masih mengganjal di hatinya, sesuatu yang tidak bisa Deelara abaikan begitu saja.

"Tapi selain perasaanku, aku juga nggak bisa mengabaikan perasaan kamu. Kita sama-sama perempuan dan aku enggak bisa..."

"...Kamu salah paham." Sela Yaya cepat. Yaya memajukan wajahnya, menggenggam tangan Deelara cukup erat. Tahu apa yang sudah di pikirkan Deelara meskipun perempuan itu tidak mengatakan apa-apa.

"Apapun yang kamu liat, itu semua nggak seperti apa yang kamu pikirin. Tian sayang sama aku dan Anay murni sebagai seorang sahabat, sebagai seorang kakak pada adiknya dan nggak pernah lebih dari itu. Kalo kamu tanya gimana perasaanku... I love him as a good friend, a good brother and a good protector. Just like Anay, they have the same meaning in my life. Aku nggak punya siapa-siapa di dunia ini selain Tian dan Anay, aku terlahir tanpa pernah tau di mana orangtuaku." Yaya tersenyum menenangkan saat melihat perubahan wajah Deelara. "Enggak pa-apa. Aku sekarang udah nggak sendirian, ada kedua sahabatku dan keluarga mereka yang udah ku anggap sebagai keluargaku sendiri."

"Sorry, Ya." Ujar Deelara pelan, wajahnya terlihat menyesal. Entah apa yang dia sesalkan, menyesal karena pernah salah paham atau menyesal karena sudah begitu cemburu pada posisi Yaya di hidup Tian.

Yaya mengangguk, masih dengan senyum tulusnya. "Kamu akan tau seperti apa Tian sebenarnya kalo aja kamu mau buka hati, Deelara." Yaya berkata pelan namun terdengar sungguh-sungguh, lalu menyederkan punggungnya ke sandaran kursi. "Sebagai sahabatnya aku akui dia brengsek, Tian di mata Anay bahkan lebih buruk dari itu. Dan aku yakin, kamu bakalan ilfeel kalo denger langsung dari mulut Anay." Yaya terkekeh geli, mengingat semurka apa Anay setiap kali Tian menghabiskan malamnya bersama perempuan random.

Yaya menyampirkan sling bag-nya lalu berdiri. Sebelum benar-benar pergi, Yaya kembali berujar.

"Pikirin lagi semuanya, Deelara. Tanyain sama hati kamu, apa hati kamu baik-baik aja tanpa Tian? Karena sepertinya... Tian juga nggak baik-baik aja."

Setelah mengatakan itu, Yaya pergi meninggalkan Deelara yang masih terpaku di tempatnya.

Tanpa di mintapun, semua ingatannya tentang Tian terputar begitu saja di kepalanya. Seperti sebuah film, berawal dari pertemuan yang tidak sengaja, hingga malam panas yang menjadi alasan keduanya sering bertemu. Mengisi kekosongan masing-masing dan tanpa di sadari rasa nyaman itu muncul. Tian seperti seseorang yang di takdirkan untuk menggenggam tangan Deelara, seseorang yang di takdirkan untuk menarik Deelara keluar dari lubang hitam.

Akhir film ini seperti berada di tangan Deelara. Deelara yang menentukan, apakah dia akan menerima uluran tangan itu dan keluar dari lubang hitam yang selama ini membelenggunya dan membiarkan filmnya happy ending. Atau tetap tenggelam di dalam lubang hitam itu dan membiarkan penonton kecewa dengan akhir film yang menyedihkan.

Lifeline - Septian Pramudya Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang