Dengan gerakan pelan, Deelara berusaha menyingkirkan tangan berotot itu dari perutnya. Lalu bergerak mengumpulkan pakaian dan dalamannya yang berserakan di lantai sambil menahan perih di bagian intinya.
Setelah mengenakan semua pakaiannya, Deelara...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
•••
"Lo nambah tato lagi?" Tanya Yaya, memperhatikan punggung tangan kiri Tian.
"Keren nggak?"
Yaya memutar bola matanya malas, "Keren dengkul lo? Itu Tante Anjani nggak ngamuk lagi?"
Sayangnya, Anjani belum melihat tato baru anaknya itu. Sejak awal, Anjani memang tidak terlalu suka dengan hobby anaknya yang gemar membuat lukisan di atas kulitnya itu. Apalagi profesinya sebagai seorang pengacara, kalau bukan karena nama besar dan prestasinya selama ini, orang-orang mungkin akan berpikir seribu kali untuk memakai jasa Tian dan firmanya. Orang gila mana yang mau menggantungkan nasibnya di tangan seorang gangster?
Setiap ada pertemuan keluargapun, Anjani dan suaminya harus berkali-kali mengelus dada setiap kali berhadapan dengan keluarga besar mereka. Anjani harus menahan diri untuk tidak mengamuk kepada siapa saja yang berani menghina anaknya. Meskipun akal sehatnya sendiri menolak menerima semua bentuk karya seni yang terukir di badan Tian.
Tanpa setelan formal dan pin kebanggannnya, Tian adalah gambaran badboy versi nyata. Tipe-tipe yang di benci oleh Ibunya. Oh ya, ngomong-ngomong soal Anjani...
"Mami belum liat. Paling dia cuma syok bentar sama kultum doang." Tian mengangkat bahunya acuh, "Mami udah lama jarang protes soal tato gue, Ya."
Yaya berdecak kesal, "Bukannya jarang protes, capek aja kali ngomong sama lo. Anay aja kesel tato lo nambah tiap tahun, gimana sama nyokab lo." Ujarnya, suaranya terdengar serius kali ini.
Tian menghembuskan napasnya, menarik turun tanganya yang belum lama ini di tato lagi dengan gambar abstrak namun memiliki arti yang cukup dalam.
"Iya, Ya. Janji ini yang terakhir."
"Apaan yang terakhir?"
Suara lain tiba-tiba menarik atensi keduanya, Yaya dan Tian kompak menoleh ke asal suara. Anay menghampiri keduanya dengan Argan yang setia berada di belakangnya. Wajah laki-laki itu tampak cemas sekaligus gemas memperhatikan setiap pergerakan Anay, yang berjalan terlalu cepat tanpa memperdulikan perutnya yang sudah semakin membesar. Lalu ketika Anay dengan santai menghempaskan pantatnya di sofa hingga membuat tubuhnya sedikit memantul, sontak Yaya, Tian serta Argan langsung meringis ngeri.
"Yang---"
"Lo nggak bisa lebih hati-hati lagi?!" Suara teriakan Yaya langsung menggema ke seluruh ruangan. Anay yang mendengar itu tentu saja kaget. Yaya bukan tipe orang yang mudah marah. Sudah Anay bilang kan, Yaya itu seperti malaikat tanpa sayap saking baiknya.
Yaya menghampiri Anay, berdiri di depan perempuan hamil itu dengan kedua tangannya yang di silangkan ke dada. Menatap Anay tajam.
"Lo itu lagi hamil, Sekar Ayu Annaya. Lo nggak bisa apa, bersikap layaknya orang hamil pada umumnya? Kalo lo lupa, yang ada di perut lo sekarang itu bukan balon yang kalo meletus bisa lo suruh Argan tiup lagi. Heran deh gue, kapan sih lo nyadarnya?" Ujar Yaya menggebu-gebu.
Anay menelan ludahnya susah payah, mencoba mencari pertolongan dari Argan namun suaminya itu langsung mengalihkan pandangannya. Baru akan memasang tampang memelasnya, Tian sudah lebih dulu berjalan cepat ke arah dapur.
Sementara di tempat lain juga sedang terjadi perdebatan yang sama, namun dengan orang yang berbeda. Sania masih tidak habis pikir dengan jalan pikiran Deelara.
"Sekarang mendingan lo jawab jujur deh." Sania menatap Deelara serius. "Lo beneran jatuh cinta sama Septian?"
Deelara menunduk lesu. Tidak mengiyakan tapi juga tidak menyangkal, Deelara hanya menolak untuk mengakui.
"Nggak heran sih sebenernya, gue pikir waktu itu lo belum sepenuhnya yakin sama perasaan lo." Sania menepuk pundak Deelara beberapa kali, seakan sedang memberikan semangat pada sahabatnya itu. "Kalo lo udah sadar sama perasaan lo, terus kenapa lo tiba-tiba ngehindar dari dia? Perasaan lo bertepuk sebelah tangan apa gimana?"
"Tian pernah bilang mau ngejalanin sama gue tapi... gue nggak bisa, San. Lo tau sendiri, gue masih capek kalo harus terikat dalam hubungan yang bikin laki-laki makin semena-mena sama gue. Gue cuma takut, setelah berhasil dapetin gue Tian malah jadi kayak Dipta dan Andreas."
"Tapi gue yakin kalo Tian juga punya perasaan yang sama, sama lo. Kalo dia niatnya cuma mau main-main, dia nggak bakalan mungkin seniat itu nyamperin lo kesini tiap hari. Nganter jemput lo padahal muka tuh orang udah kecapean banget. Secara ya, Septian Pramudya, pengacara terkenal nggak mungkin sepi job. Bayangin aja, di sela-sela kesibukannya aja dia masih nyempetin ketemuan sama lo. Apa lagi itu kalo bukan cinta?"
Deelara menggeleng lesu. "Nggak, San. Lo salah!"
Sania yang mulai gerah langsung berdecak kesal. Kesal dengan penyangkalan Deelara. Sania menyilangkan tangannya di dada, menatap Deelara tajam.
"Coba lo jelasin ke gue, bagian mananya dari omongan gue yang salah?"
"Tian pernah bilang, dia nggak bisa terikat sama satu hubungan. Kalaupun gue mau jalanin hubungan---yang entah apa namanya ini..." Deelara menggeleng pelan, wajahnya terlihat murung. "Gue mungkin bakalan menghabiskan sisa umur gue hanya dengan menjadi pacarnya." Delaara tersenyum getir, menatap Sania. "Pernikahan nggak pernah ada di dalam mimpi dia, San. Dan sebagai seorang perempuan, pernikahan adalah impian terbesar gue."
Dan hal itu cukup membuat Sania terperangah di tempatnya. Di mata Sania, kata-kata dan tindakan Tian sama sekali tidak sinkron. Lidah boleh berkata tidak, tapi kalau di hatinya iya? Mau apa? Toh, manusia hanya bisa berencana.
Selama ini Sania memang memilih untuk tidak terlalu ikut campur ke dalam hubungan Deelara dan Tian yang masih tidak jelas mau di bawah kemana, itu semua karena Sania tahu Deelara butuh waktu untuk membuka kembali hatinya. Sania pikir, Tian benar-benar ingin menjalin hubungan yang lebih serius dengan Deelara melihat dari cara laki-laki itu memperlakukan Deelara selama ini. Tidak pernah sedikitpun terpikirkan bahwa Tian juga punya masalahnya sendiri soal hubungan. Jadi untuk apa laki-laki itu selama ini menunjukkan perhatian-perhatiannya? Semua itu terlalu nyata kalau hanya untuk di sebut main-main.
"Jadi itu yang bikin lo ragu?" Tanya Sania, memastikan.
Perlahan Deelara mengangguk, menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi dengan tatapan menerawang.
"Bukan cuma ragu sama hubungan yang akan gue jalani sama dia nanti. Gue juga ragu sama diri gue sendiri, San."
Sania menghembuskan napasnya panjang. Ini masalah percintaan Deelara tapi Sania jadi gemes sendiri karena kebodohan Deelara yang masih saja terpaku pada masalalu.
"Gue kasih lo waktu seminggu untuk meraba perasaan lo sendiri. Coba untuk berhenti denial sama perasaan lo, Dee. Karena menurut gue, lo sama Tian itu sama-sama punya perasaan yang sama tapi terlalu gengsi untuk mengakui. Ini hanya pendapat gue sebagai pengamat kedekatan lo berdua selama ini ya, Tian itu kayak apa ya... mau maju tapi takutnya lo jadi ilfeel dan kabur-kaburan kayak gini. Ya, gue tau Septian Pramudya itu playboy jahanam tingkat dewa, tapi gue yakin dia bukan tipe yang suka Php-in anak orang. Dan lo..." Sania menunjuk Deelara tepat di wajahnya. "...Lo jelas udah jatuh cinta sama dia tapi lo terlalu pengecut untuk mengambil langkah. Jadi mending, lo pikirin lagi baik-baik sebelum nyesel belakangan."