TIRAKAT

6.9K 332 38
                                    

Hari itu, tujuh hari sebelum Ujian Nasional tingkat SMA/SMK/MA dilaksanakan. Seluruh murid kelas dua belas dijadwalkan untuk menginap di sekolah. Itulah tradisi di sekolahku. Kami akan dibimbing untuk melakukan tirakat dalam rangka meraih kelulusan seratus persen tanpa contekan. Dengan berdoa kepada Sang Maha Kuasa dan bermunajat sesering mungkin lewat wirid serta zikir sebagai usaha seorang pelajar.

Jadwal hari pertama sudah ditentukan. Kami semua diwajibkan puasa. Puasa seperti biasa, sahur dan berbuka layaknya puasa sunah. Membaca wirid yang ada beberapa bagian. Setiap bagiannya dibaca seribu sampai sepuluh ribu kali. Ya, tentu saja itu berat. Namun, semangat kami yang menginginkan kelulusan murni hasil sendiri tentu akan berubah memjadi ringan. Apalagi kami melakukannya bersama-sama.

"Jangan lupa, besok jadwalnya kita puasa mutih! Cuma makan nasi, minumnya air putih. Ingat! Gak pakai lauk, ya." Sebut saja dia Pak Sholeh. Guru yang mengajar pelajaran agama di sekolah kami.

Semua murid mengiyakan dengan serempak. Mereka yang awalnya sama sekali tak pernah puasa, sekarang harus menahan haus dan lapar demi sebuah kelulusan. Itulah mengapa sekolah ini terkenal karena pendidikan agamanya yang meyakinkan para orang tua.

"Wiridmu udah kelar, Win?" tanyaku pada Winarti yang masih asyik membaca buku. "Eh, kok kamu malah baca komik sih, Win?" lanjutku dengan nada sedikit meninggi. Secara, mau ujian bukan baca buku pelajaran malah baca komik.

"Duh, Nit. Kita kan udah melaksanakan tirakat, nih. Sampai rela menahan lapar dan haus, membaca wirid yang banyaknya minta ampun dan melaksanakan perintah Pak Sholeh dengan baik. Jadi ya kita gak perlu belajar lagi, kan. Dijamin kita lulus, deh." Winarti mulai mengoceh panjang lebar.

"Tirakat yang kita lakukan ini tuh, bukan berarti kita pasrah sepenuhnya sama Tuhan, Win. Ini hanya perantara untuk memanjatkan doa kepada-Nya. Untuk hasil tentu kita sendiri yang harus berusaha. Semoga nantinya, Tuhan akan menerangkan jalan pikiran kita dalam mengingat yang sudah kita pelajari. Kalo bacamu komik terus ya, ntar yang diinget kisah di komik itu, Win." Winarti mendelik seketika mendengar penjelasanku yang sebenarnya asal saja. Kami pun terbahak bersama.

Sekolah di jam sore seperti ini tentu saja sangat sepi. Jam di dinding menunjukkan waktu pukul lima sore. Tak apalah aku berdiam diri di Mushola sambil menunggu maghrib. Baru beberapa langkah menuju teras Mushola, ada seseorang lewat dengan sangat cepat hingga membuatku kaget dan terdorong keras ke tembok.

"Astaghfirullah! Gak bisa pelan apa, ya? Udah kayak setan aja," gerutuku sambil menatap sekitar. "Loh, kok sepi! Terus tadi siapa, dong?" Kali ini aku mulai merinding. Seumur-umur belum pernah mengalami hal aneh seperti ini. Aku memilih berbalik arah dan kembali menuju kelas.

Sejak saat itu, aku jadi sering mimpi buruk. Menginap di sekolah sudah memasuki hari kelima. Semua temanku masih baik-baik saja dan menikmati proses yang diarahkan Pak Sholeh. Sedangkan aku, sudah mulai gelisah dan ingin pulang.

"Besok kita mulai puasa pati geni, ya! Diawali dengan sahur lalu kita akan berpuasa hingga bertemu jam sahur kembali. Selama puasa pati geni, kita baca wirid yang ini," ucap Pak Sholeh dengan menunjukkan tulisan arab di papan tulis lengkap dengan berapa kali harus dibaca. Kami semua pun kompak mengiyakan.

"Malam ini les terakhir Bahasa Inggris, kan, Nit?" Ardi datang tiba-tiba dan bertanya soal les terakhir. Aku yang masih memikirkan tentang beberapa kejadian aneh akhir-akhir ini justru terkejut atas kedatangannya.

"Eh, Ardi. Kamu ngomong apa barusan?" Dia pun mengulangi pertanyaannya.

Memang, malam ini adalah malam terakhir les mata pelajaran Ujian Nasional. Selama seminggu kami benar-benar diajarkan hidup tirakat. Tak ada hiburan di televisi, bermain bebas, ponsel pun belum banyak yang punya saat itu.

PATI GENITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang