27

401 63 5
                                    


Dirinya sudah berjanji untuk tidak menangis. Meskipun sakit dan kecewa begitu dalam dia rasakan. Seseorang yang dia anggap sebagai dunianya telah hilang, binar mata yang seindah bintang telah lenyap. Rengkuhan terhangat yang sangat nyaman hanya tinggal kenangan yang mungkin akan sulit pergi sekuat apapun angin meniupnya.

Ini salahku, bukan sepenuhnya salah dia. Akhir yang seperti ini pasti akan terjadi. Itulah yang selalu dia katakan pada dirinya sendiri untuk menguatkan. Meskipun air mata dan sesak masih mengikat indah di hatinya. Hyunjin, harus terbiasa dengan itu.




"Chris...kenapa diam ?"

"Hyunjin...dengarkan baik-baik,"

"Aku benar mencintaimu. Sangat. Aku ingin selalu bersamamu seumur hidup, itu benar. Bahkan, aku lebih mencintaimu daripada Yina. Itu sangatlah benar, Hyunjin," Bangchan menjilat bibir bawahnya karena gugup. Dirinya bingung untuk memilih kalimat yang tepat agar tidak terlalu menyakiti Hyunjin.

Bangchan menatap lekat kedua manik Hyunjin yang mulai terlihat gelisah, "Terkadang pasangan yang sudah begitu saling mencintai bahkan saling terikat pun belum tentu berakhir sesuai yang mereka inginkan,"

"Chris...."

"Aku tidak bisa meninggalkan Yina, dan juga Jessica. Maaf Hyunjin...maaf, aku harus nglepasin kamu," Bangchan menunduk, tidak sanggup menatap kekasihnya -lebih tepatnya mantan kekasihnya- yang meneteskan air matanya tanpa suara.

"Setidaknya kita harus berpakaian dulu, Chris," ucapnya meninggalkan Bangchan yang terdiam di bawah shower yang masih mengguyur.

Keduanya berpakaian dalam diam. Tidak ada yang memulai pembicaraan. Hyunjin yang berdiri di depan lemari pakaiannya, dan Bangchan yang memandangi punggung Hyunjin. Punggung sempit yang selalu dia peluk, pinggang ramping yang selalu dia rengkuh, leher jenjang yang selalu dia hirup aromanya. Menjauh dan terlepas oleh takdir, setidaknya itu menurut Bangchan.

"Aku pergi, Hyunjin," menyempatkan memeluk Hyunjin dari belakang. Dan memberikan kecupan terakhir di pipi kirinya. Hyunjin hanya diam. Merelakan pria yang telah menjadi semestanya, berjalan membuka pintu kamarnya dan melangkah kembali ke tempat seharusnya dia berada.




"Kamu yakin mau pergi ?" tanya pada sosok yang kini memeluknya.

"Iya, Ji," pelukan pun terlepas, senyum yang nampak ia paksakan terukir. "Tiket ke Jepang sudah ku beli, rugi kan kalau aku tidak jadi pergi,"

"Baiklah. Aku tidak akan menahanmu. Kamu butuh waktu setelah seminggu ini kamu hanya terus menangis di kamarmu. Semoga kamu menemukan kebahagiaan sejati. Terus kabari aku, ya," Jisung ikut meneteskan air mata. Melihat sahabatnya yang hatinya hancur karena ulah kakak iparnya.

"Pasti, Ji. Pasti. Salam buat kak Minho dan sampaikan maafku untuk kak Yina. Aku pergi,"

Bukankah sering kita melakukan kesalahan untuk tahu kebaikan. Bahkan tak jarang pula manusia harus terjebak dalam cinta yang dalam pada orang yang salah. Yakin bahwa ia akan menjadi jodohnya, rela menyerahkan seluruh hati dan hidupnya atas nama cinta.

Tapi itulah manusia. Hanya bisa mencintai, tanpa tahu akhir dari ceritanya. Sedih ataukah bahagia, hanya Tuhan yang memegang rahasia-Nya.

DI ANTARA -CHANJIN- ☑️Where stories live. Discover now