Chapter || 32.

4.6K 209 0
                                    

Tentu Genta tidak akan melakukan kesalahan yang sama. Kini, ia tidak bisa dan tidak boleh menyalahkan Shera atas apa yang terjadi. Dulu, saat Radja meninggalkan mereka untuk selama-lamanya, Genta marah bukan main. Radja, anak laki-laki yang Genta harapkan, harus meninggalkan mereka, Genta butuh seseorang untuk disalahkan. Ia kalap, tempramen menguasainya. Satu-satunya orang yang bisa ia salahkan adalah Shera. Hanya Shera. Ia tidak tau jika perbuatannya fatal dan mampu membuat Shera lepas dari genggamannya.

Genta tidak lagi bodoh. Ia tidak akan menyakiti Shera-nya lagi.

"Ra, makan yuk." Genta menggenggam tangan wanita yang matanya fokus ke tv layar lebar di depannya. Sudah dua hari Shera pucat dan selalu diam seperti ini. Genta mengerti.

Shera hanya menggeleng. Sejak pulang dari rumah sakit, wanita itu seolah mogok bicara pada siapapun, pada Mama Ara, Bapak, bahkan Genta. Genta sendiri tidak mau Shera seperti ini, apalagi jika Avi sudah pulang dan melihat Mamanya seperti ini.

Genta menghela napas. Tubuh Shera yang memang ramping, kini terlihat lebih kurus. "Makan ya, Ra, nanti kamu nambah sakit. Saya nggak mau kamu nambah sakit." Genta naik ke ranjang wanita itu, ia memeluk Shera dengan pelan, seakan Shera adalah barang pecah belah yang bisa rusak kapan saja.

"Sayang kamu, Ra. Saya bakal dampingin kamu di sini, saya nggak akan pergi lagi." Persetan dengan proyek. Perusahaan Genta punya beribu-ribu orng yang bisa dijadikan penggantinya.

Genta merasakan kemejanya basah oleh air mata Shera. Wanita-nya itu menangis lagi. "Nangis aja, saya di sini. Asalkan habis ini kamu makan, ya." Genta merasakan Shera mengangguk di pelukannya.

Genta tersenyum. Perlahan ia melepaskan pelukannya. "Sayang kamu, Ra."

Dengan suara serak Shera membalas, "Sayang kamu, Gentahardja."

Bucin. Genta tau sebutan anak zaman sekarang itu dan kini Genta sudah menjelma menjadi bucinnya Sheravina. Genta tersenyum. "Mau makan, ya? Saya ambil dulu makanannya."

Shera menahan tangan Genta. "Mau makan di luar." Suaranya masih pelan dan sedikit serak. "...sama kamu."

Genta tersenyum lagi dan mengangguk. "Ayo, saya siapin dulu kursi roda--" Genta memang sengaja membeli kursi roda untuk Shera.

"Nggak mau. Mau jalan sendiri aja."

"Ra..."

Shera sudah akan menangis lagi dan membuat Genta menghela napas. Ia harus banyak mengalah. "Ya udah, asalkan hati-hati, ya."

Shera mengangguk. Ia turun dari ranjangnya dan langsung menggenggam tangan Genta. Wanita itu tersenyum. "Ayo."

Pilihan mereka jatuh pada nasi goreng di pinggir jalan yang ada di dekat apartemennya. "Jangan pedes-pedes, Ra," ucap Genta memperingati wanita itu yang sangat suka pedas. Shera mengangguk dan memesan nasi goreng untuk mereka berdua.

"Nanti kalau Avi pulang, gimana saya ngasih tau--"

Genta langsung menggeleng. "Biar saya aja yang ngasih tau." Ia bisa langsung melihat raut wajah lega Shera.

"Jangan banyak pikiran, ya. Kamu fokus sembuh dulu." Genta meyakinkan Shera. Wanita itu mengangguk dan tersenyum padanya.

Shera kini bisa melihat keseriusan Genta untuk membantunya.

***

"Jangan tidur, Ra."

"Hm."

"Rara."

Genta menghela napas. Setelah kenyang memakan nasi goreng yang nambah dua kali dan membuat Genta geleng-geleng sendiri melihat nafsu makan Shera yang meningkat, mereka pergi ke super market untuk membeli minuman dan makanan ringan. Shera manja, Genta tertawa dalam hati. Wanita itu meminta di gendong di punggungnya saat akan pulang ke apartemen.

"Ra, bentar lagi nyampe."

"Hm." Dan Rara-nya pun tertidur.

Genta tertawa kecil. Ia menyadari beberapa orang tersenyum kecil malu-malu padanya ketika melihat seorang wanita tertidur di gendongannya. Genta meringis antara malu namun senang.

Setelah sampai di apartemennya, Genta langsung menurunkan Shera perlahan. Untung saja, wanita itu terbangun dan tidak menyusahkan Genta. Padahal, Genta tidak masalah disusahkan juga, yang penting Shera tetap bersamanya. Bucin lo.

"Ta.."

"Iya?"

"Mau camilan tadi."

Genta tersenyum. Padahal tadi Shera sudah makan banyak.

Sambil memberikan camilannya, Genta berbisik, "Sayang kamu, Sheravina."

***

"Dede Bayi, Kakak Avi udah pulang!" Seruan itu membuat Shera ingin menangis lagi. Ia menatap Genta yang balas menatapnya seperti mengatakan ; saya yang jelasin.

"Hai, Princess. Gimana liburannya?"

Avi tersenyum lebar dan memeluk Papanya, mulai bercerita apa yang dilakukannya selama tiga hari ini. Rita yang ada di belakangnya hanya mengangguk kecil dan tersenyum sebelum pamit untuk membereskan barang-barang Avi.

"Candinya gede banget ya, Pa. Avi sama Mbak Rita capek naiknya."

Shera hanya mendengarkan, sesekali tersenyum. Untungnya, Genta mampu mengalihkan perhatian Avi yang awalnya menanyakan adiknya.

"Dede--"

"Avi, Papa mau ngomong dulu."

Avi menoleh ke Papanya. Duduk manis mendengarkan Gentahardja. "Adik yang ada di perut Mama, ternyata lebih di sayang Allah. Adik Avi yang belum lahir itu, sekarang lagi sama Dede Radja. Dia udah nggak ada di perut Mama."

Avi melongo. "Dede nggak jadi lahir dong? Avi nggak bisa ketemu Dede." Terdengar sekali nada sedih di perkataan Avi. Hati Shera tersayat.

"Iya, tapi itu yang terbaik buat kita. Avi jangan sedih, ya. Princess Papa nggak boleh nangis." Genta memeluk Avi. Ampuhnya, anak itu tidak menangis sama sekali.

Avi beralih ke arah Shera. "Mama."

Shera mencoba menahan air matanya. "Iya, Vi?"

"Avi sayang Mama."

***

L'amour L'emporte [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang