Akhir Cerita Kita

13.3K 402 9
                                    

"Rarara..."

"Ra."

"Rara."

"Raaa."

"Rararararara."

Shera memutar bola matanya jengah mendengar Genta yang terus mengusiknya seraya menoel-noel pipinya, sekali-kali pria itu mencubit pipinya gemas. Shera jadi tidak fokus dengan film yang diputar di hadapan mereka.

"Diem ih, Ta. Sakit tau," dumel Shera pada pria yang ada di sampingnya. Pria itu sengaja memaksanya bersandar di lengannya dan membuatnya leluasa menggoda pipinya.

"Gemes saya, Ra."

Shera berdecak. "Tapi sayanya yang sakit." Bukannya kapok, Genta malah tertawa dan mencubit-cubit pipi Shera lagi.

"Gentahardja!"

Mendengar itu, Genta hanya cengengesan dan berhenti menjahili Shera. Gantinya, pria itu mencium pipi Shera lembut.

Shera tidak mengindahkan perlakuan Genta dan memilih fokus pada filmnya. Jarang sekali ia bisa menonton film dengan tenang begini, karena biasanya Avi akan mengganggunya. Sekarang, anak itu sudah terlelap dan gantian, Genta yang mengganggunya sekarang.

"Wah, jarinya masih kosong tuh." Genta melirik jari manis Shera yang belum terpasang cincinnya.

Shera terkekeh. "Sabar, Ta. Baru juga kamu ngasih cincinnya."

"Kan, saya kira kamu bakal langsung pake."

"Ngarep."

***

Besok siangnya, Shera berniat menjemput Avi sendiri. "Mbak Rita, nggak usah masak makan siang ya, saya dan Avi mau makan siang di luar aja."

Rita mengangguk. "Baik, Bu, hati-hati di jalan."

Shera tersenyum dan mengangguk. Ia berencana naik taksi ke sekolah Avi. Sesampainya di sekolah sang anak, jam pulang sekolah Avi masih setengah jam lagi.

"Mamanya Savianna ya?" tanya seorang ibu di sampingnya ketika Shera menunggu di luar kelas anaknya.

Shera menoleh. Ia tersenyum kecil. "Iya."

"Oalah, cantik tenan yo Mama Avi," ujarnya. Ia mengulurkan tangannya. "Saya Wulan, Ibunya Alvey, teman sekelasnya Avi." Shera tidak tau siapa Alvey yang dimaksud tapi ia hanya mengangguk dan menjabat uluran tangan itu. Mungkin karena Shera jarang ikut mengantar Avi, jadi ia tidak tau siapa teman-teman anaknya itu.

"Sheravina." Shera menjawab singkat. Tanpa mengurangi rasa hormat, Shera tidak suka berkenalan dengan orang asing saat ia tidak mau, termasuk sekarang ini.

"Awalnya saya kira bukan Mama Avi, tapi kok mirip mukanya sama Avi, makanya saya sapa." Sepertinya Ibu Wulan ini adalah tipe ibu-ibu yang cerewet dan gemar menggosip. "Kok jarang jemput anaknya ke sini? Biasanya Avi sama baby sitternya ya?"

Shera mengangguk dan tersenyum kecil (lagi).  "Iya, saya dulu sibuk kerja."

"Ohhh, sekarang nggak kerja lagi?

"Nggak, Bu."

"Lah, kenapa 'tho?" Untungnya, bel berbunyi tepat setelah Wulan melontarkan kalimat itu. Shera bernapas lega, akhirnya ia tidak terjebak di percakapan yang sangat tidak diinginkannya.

"Avi!" Shera memanggil anaknya.

Terlihat Avi terkejut karena Shera yang menjemputnya. Anaknya itu berlari menghampirinya dengan poninya yang bergerak-gerak lucu. "Mama? Kok Mama yang jemput?"

"Iya, habis ini kita ke kantor Papa, yuk? Mau?"

Avi berjingkrak senang. "Mau! Ayo, Ma, ayo." Shera tertawa melihatnya.

***

"Pak Genta, ada yang ingin bertemu." Shera mendengar sekretaris Genta memberitahu pria itu.

"Silakan, Bu."

Avi langsung berlari masuk ke ruangan ayahnya. "Papa! Papa, Avi tadi dijemput Mama Shera."

Genta yang awalnya membaca dokumen pekerjaannya langsung sumringah melihat anaknya dan Shera menemuinya. "Hai, Princess. Gimana sekolahnya?" Genta membawa Avi ke gendongannya.

"Rame, tadi Bu Guru ngeajarin mewarnai tapi bukan pake cat, pake kertas yang disobek-sobek. Namanya Monazik."

Genta dan Shera tertawa mendengarnya. "Mozaik, Sayang." Shera mengelus rambut anaknya.

Avi hanya cengengesan. Ia memilih turun dari gendongan Papanya dan melihat-lihat seisi kantor Genta.

"Hai, kok nggak bilang mau ke sini?" Genta menggenggam tangan Shera dan duduk di sofa yang ada di ruangannya.

"Sengaja, biar surprise buat kamu."

Genta tertawa. Jarinya meraba jari-jemari Shera. Ia tersentak. "Eh?" Matanya tertuju pada cincin di jari manisnya.

Shera pura-pura tidak tahu. "Kenapa?"

"Ini apa yang berkilau-kilau di jari kamu?"

"Oh, cincin yang aku beli di Tanah Abang kemarin."

Genta tergelak. "Bagus ya, baru tau di Tanah Abang ada yang kayak beginian."

Shera ikut tertawa.

Genta menatap mata wanita itu dalam. "Makasih, Rara. Terakhir kali ya?"

Shera mengangguk. "Iya, terakhir."

***

Satu bulan kemudian...

"Syukurlah, acaranya selesai. Nah, gantian kalian ya angkatin sofa sama meja di sana. Kembaliin lagi ke tempat asalnya," ujar Ryani ketika acara pernikahan yang sangat amat sederhana kedua kalinya Genta-Shera usai. Yang hadir tadi hanyalah kedua belah pihak keluarga dan kerabat saja. Acaranya pun diadakan di rumah baru Genta yang sudah dipersiapkan untuk keluarganya.

"Loh? Kan, Genta sama Shera mau belah duren, Bu. Masa disuruh angkat-angkat kursi." Ucapan Genta itu membuat Shera menghadiahkan cubitan keras di perutnya.

"Ish, kamu ini, loh. Jangan ngeyel, cepet bantuin Ibu sama Mama Ara, dari awal kan kami terus yang repot. Sekarang giliran kamu."

Genta menghela napas. "Belah durennya besok aja, ya."

"Genta!"

***

Shera sudah membersihkan dirinya ketika Genta masuk ke kamar mereka. Ia tersenyum. "Avi udah tidur, Ta?"

Genta mengangguk. Sejak acara pernikahan kedua ini dimulai, Avi tidak bertanya apapun dan menganggap acara itu adalah resepsi pernikahan kedua orangtuanya.

Genta memeluk Shera dari belakang tubuhnya. "Makasih, Ra. Saya sayang kamu. Janji ya, ini yang terakhir kalinya."

Shera berbalik. Tangannya ia lingkarkan di leher suaminya. "Janji."

"Saya sayang banget sama kamu, Rara."

Shera terkekeh geli. "Kita udah nikah masih mau pake 'saya-sayaan' lagi?"

Genta tertawa. "Kebiasaan."

Shera memeluk Genta erat. "Makasih udah perjuangin saya sampai sekarang, Mas Genta."

Genta tersenyum lembut walaupun Shera tidak melihatnya. "Saya bakal perjuangin kamu sampai kapanpun, Rara. Selalu dan selamanya."

Shera mendongak dan mencium pipi Genta. "Selalu dan selamanya."

Sebulan sebelum mereka menikah lagi, Genta kembali konsultasi pada Dokter Irawan, psikolog-nya, untuk memastikan bahwa ia sudah bisa mengandalikan sifat tempramennya. Sebenarnya hasilnya tidak penting, karena hanya Genta sendiri yang bisa meredamkan sifat itu.

Yang terpenting, Genta bisa meyakinkan Shera dan dirinya sendiri bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Genta tersenyum memadang wajah ayu Shera. Ia tidak bisa menahan hasratnya dan mencium Shera dengan lembut.

"Sheravina-nya saya. Rara-nya Genta."

***

L'amour L'emporte [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang