NICO - empat

12.9K 772 11
                                    

Selama perjalanan pulang, Nicky terus menceritakan Amara tanpa henti. Semua cerita yang Amara ceritakan kepada Nicky, diulang Nicky untukku. Aku hanya bisa tersenyum menanggapinya.

Ya. Tidak bisa bohong, aku bisa melihat dengan jelas Nicky itu menyukai Amara. Amara juga menyukai anak kecil. Intinya, mereka berdua kalau bersama seperti anak seumuran.

Seharusnya aku bahagia, karena anakku bahagia mendapat seorang teman. Bagiku, Amara terlihat seperti teman Nicky. Tapi juga sedih, karena aku menyadari satu hal yang begitu nyata.

Nicky butuh kasih sayang dari seorang wanita.

Dari kecil, Nicky hanya mendapatkan perhatian dariku, Leo dan Ello. Tidak ada wanita yang memberikannya ASI, atau sekedar menimang dan menyanyikannya nina bobo. Tidak ada...

Yang ada di sekitar Nicky hanya para lelaki yang bermodalkan otot dan otak. Modal yang dari asalnya diprogram hanya untuk bekerja bukan mengasuh dan memberi kasih sayang!

Huff...

"Paaa.... Tante Amara itu baik banget deh! Katanya besok Nicky mau diajak main ke rumahnya. Boleh ga?" Nicky menatapku memohon.

"Memangnya ga repotin Tante Amara?" Tanyaku bijak sebelum mengijinkan.

"Tante Amara sendiri yang bilang dia ngajak Nicky. Yahhh... Nicky sih yang maksa..." Suara Nicky berubah seperti mencicit.

Aku melirik Nicky yang duduk di kursi penumpang di sebelahku. Dia menunduk dalam. Walau keadaan mobil gelap gulita, tapi aku yakin bisa melihat wajah Nicky yang hampir menangis.

Ow...

Aku langsung meminggirkan mobil dan menarik rem tangan. Menyalakan lampu dan menatap putri kecilku. Benar saja, air mata putri kecilku sudah membasahi pipinya.

"Ada apa? Kenapa Nicky maksa???" Tanyaku meraih wajahnya dan menghapus air mata yang terus mengalir itu dengan ibu jariku.

"Habis..."

"Habis...?" Aku setia menunggunya menjelaskan maksud kata-katanya kepadaku.

"Habis ga mungkin Nicky minta Papa ngajarin Nicky bikin kue... Papa kan sibuk kerja, nanti Nicky ganggu... terus... temen-temen Nicky semua diajari Mamanya bikin kue..." Tangis Nicky semakin keras.

Oh my...

Dengan cepat, aku melepaskan seatbelt Nicky dan menggendongnya ke pangkuanku. Mendekapnya erat. Putri kecilku menangis... Putriku yang cantik menangis.

Ini bukan karena aku tidak telaten menjaganya. Bukan juga karena aku tidak memenuhi keinginannya. Tapi karena satu hal yang menjadi kekurangan di keluarga kami. Aku menghela nafas dalam... Ya. Kekurangan seseorang...

Aku harus mengakui kalau aku tidak bisa mengurus Nicky sendirian. Aku butuh sosok seorang wanita untuk Nicky. Sosok seorang ibu.

Butuh ... sangat butuh....

Aku benci mengakuinya, tapi Nesya benar.

"Nicky jangan nangis... iya, Papa ga akan marah. Besok Nicky boleh ke rumah Tante Amara. Tapi jangan nyusahin Tante Amara ya." Bujukku.

Nicky masih terisak, tapi tak lama kemudian dia benar-benar berhenti menangis. Aku yakin kemejaku basah karena air matanya, tapi lebih baik begitu daripada Nicky menangis sendirian. Lebih baik putriku menangis di dalam dekapanku daripada seorang diri di rumah tanpa seorang pun melihatnya.

Lebih baik aku ikut merasakan sedihnya Nicky, daripada aku melihatnya tersenyum menutupi semua sakitnya sendirian. Setidaknya, dengan begini aku tahu kalau putriku butuh sesuatu. Walau sesuatu itu tidak bisa aku penuhi...

"Iya.. Nicky ga akan nyusahin. Pokoknya Nicky janji..." kata Nicky melepas pelukan dan menatap kedua mataku.

Aku tersenyum dan mencium pipinya. Nicky membalas dengan memelukku erat.

"Pokoknya Nicky janji ga akan bikin Papa susah. Papa kan mau kerja... biar nanti bisa ngajak Nicky liburan sebentar lagi. Biar kali ini ga batal lagi kayak kemarin-kemarin."

"Iya... Papa juga janji buat kerja keras buat Nicky, biar Nicky bisa jalan-jalan. Kita jalan-jalan.. Oke?"

Aku mengaitkan kelingkingku dengan kelingking mungilnya. Pinky promise. Nicky tersenyum lebar, dan mau tak mau, melihatnya membuatku bahagia. Apapun akan aku berikan demi melihat senyumnya ini.

Apapun... demi Nicky.

Anakku dan Anika...

Nicky...

I Love Her 3 : NicholasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang