NICO - duabelas

11.4K 708 0
                                    

Jujur, aku bingung harus bagaimana. Setelah menyumpah serapahi kepintaran dan kesoktahuan Amara, aku hanya bisa seperti patung yang diam seribu kata. Mencari-cari objek dan mengamatinya penuh ketertarikan, padahal tidak sama sekali.

Ugh!

Sudah lama sekali aku tidak bertemu Anika dan rasanya aku bingung. Aku tidak berani menatapnya terlalu lama. Aku takut membuatnya merasa tidak enak. Tapi dengan begini, malah aku yang merasa tidak enak! Aku ingin bicara, tapi setiap kalimat yang terlintas di otakku langsung ditolak otot-otot mulutku untuk diucapkan!

Situasinya jadi awkward, dan aku tidak suka ini!

Huff...

Tapi seperti kata Amara, aku tidak melihat adanya koper ataupun tas tangan yang dibawa Anika. Dia benar-benar tidak punya harapan. Dan... Mana mungkin aku membiarkannya terlantar di jalanan!

Aku memberanikan diri untuk menatapnya. Mencoba untuk mengajaknya masuk ke dalam rumah. Tapi kata demi kata yang sudah aku rangkai mendadak hilang! Sesaat, aku kembali menggagumi wajah yang sudah bertahun-tahun tidak aku lihat.

Wajah yang dulu setiap pagi dan setiap malam aku lihat. Wajah yang masih ku kagumi dan ku puja dalam hati. Wajah wanita yang ku cintai...

Tidak ada yang berubah. Dari ujung rambut hingga ujung kaki, Anika tidak berubah. Sama sekali tidak berubah!

Dia masih cantik sama seperti saat dia meninggalkan rumah ini.

Dia masih memiliki mata yang sama seperti mata Nicky. Mata berwarna cokelat terang. Dengan bulu mata lentik. Pipinya, hidungnya, bibirnya yang tipis...

Oh astagaaaa.... Aku benar merindukannya!

Rasanya ingin sekali kurengkuh dan kudekap erat. Merasakan kehadirannya dan meyakinkan diriku kalau ini bukan sekedar mimpi. Dia ada di depan pintu rumahku dan dia ada di hadapanku!

Anika...

"Nic... Mmhh.... boleh aku masuk?" Anika membuka suaranya lebih dulu. Gelagatnya menunjukkan kalau dia tidak nyaman dengan tatapanku yang seperti meneliti setiap senti tubuhnya. Ah... Ketahuan ternyata.

Aku pun jadi salah tingkah.

Sial, aku jadi kehilangan konsentrasi karena kerinduanku!

"Ya... silahkan." Kataku memberi jalan.

Anika melenggang masuk. Bisa ku lihat kalau dia tidak nyaman harus menghadapi situasi ini. Tapi apa yang bisa aku lakukan? Amara entah berada dimana, dan rasanya tidak sopan sekali kalau aku menelepon Amara dan memakinya di saat Anika berada di depanku! Aku tidak ingin Anika merasa aku tidak menyukai kehadirannya!

"Maaf kalau aku... aku bakal merepotkan kamu.." Kata Anika di tengah-tengah perjalanan kami ke sofa ruang keluarga.

"Tidak masalah. Ini juga... rumahmu." Jawabku seadanya.

Ya. Ini juga rumahnya. Rumah kami bertiga. Aku, Anika dan Nicky... rumah kami.

Anika menunduk. Tidak berani menatapku. Aku pun hanya bisa tersenyum tipis. Rumah kami sudah berubah jadi rumahku dan Nicky saja. Nyonya rumahnya sudah lama pergi dan ... saat kembali, dia merasa asing dengan rumahnya sendiri.

Huff...

"Kamu udah makan? Udah sore, sebentar lagi makan malam. Aku bisa membuatkan sesuatu..." tawarku. Bingung juga mau bicara apa.

"Eh... Mm... biar aku saja yang memasak."

Aku menaikkan alisku tidak percaya. Anika menawarkan diri untuk apa tadi? Aku tidak salah dengar kan?

Anika .... memasak?

Aku teringat kejadian yang telah bertahun-tahun berlalu. Tepatnya lima tahun yang lalu. Anika sama sekali tidak bisa bersentuhan dengan semua peralatan dapur. Dia tidak bisa memasak sama sekali. Bahkan sempat membuat panci bolong karena kelupaan memasak air!

Tapi sekarang dia menawarkan diri untuk....... memasak?!

"Aku... aku udah bisa masak. Sedikit... jadi, anggap aja ini ucapan terima kasih karena.... karena mengijinkanku masuk." Walaupun nada suaranya sedikit memaksa, tapi Anika hanya menunduk saat mengucapkan semua kalimat itu.

Huff...

Aku mengangguk. Sepertinya keadaan tidak akan mudah untuk kembali seperti sedia kala. Tapi apa yang aku harapkan?

Bukankah aku selama ini hanya memikirkannya TANPA peduli bagaimana kehidupannya?

Aku duduk di meja makan, sesekali mengintip Anika yang memasak di dapur melalui pintu sambung. Jujur aku kaget sekali. Dia sudah bisa memasak! Dia memotong seperti ahli, memasak dengan lihai, dan membuat aroma masakan yang harum luar biasa!

Lima tahun ternyata waktu yang sangat lama...

Tapi lima tahun tidak membuat perubahan yang berarti. Dia tetaplah Anika yang dulu... tetaplah Anika yang mempunyai segala sesuatu yang dengan melihatnya, aku merasakan perasaan itu.

Perasaan mencintainya dan tidak mampu melakukan apapun selain itu.

Aku berpura-pura membaca koran saat Anika membawa makanan ke meja makan. Aku hanya tidak mau dikira macam-macam, apalagi dituduh mengintip dia memasak! Rasanya tidak lucu sama sekali kan?

"Mm... aku memasak pasta. Aku tidak tahu rasanya cocok atau tidak. Tapi bilang saja kalau memang tidak enak." Kata Anika takut-takut sambil meletakkan piring berisi makanan di hadapanku.

Nyaris saja piring itu terlepas karena tangannya yang bergetar, tapi aku tepat waktu menahan piringnya agar tidak membentur keras meja makan. Ah, berarti bukan hanya aku yang gugup dengan pertemuan kami setelah bertahun-tahun ya?

"Maaf..."

Aku hanya menanggapi Anika dengan tersenyum. Yah, ini tidak akan mudah. Aku tahu itu.

Aku memperhatikan makanan yang ada di hadapanku. Fettucini Carbonara, huh? Tampilannya sangat menarik. Malah seperti pasta yang dibuat di restoran. Ada tomat ceri dan daun-daun yang menambah estetikanya. Kalau aku tidak mengintip Anika memasak tadi, pasti aku mengira dia membeli makanan restoran!

Sungguh sulit dipercaya. Teringat dulu saat aku memakan masakan yang dia buat setelah kami menikah. Aku memang tahu Anika tidak bisa memasak, tapi aku tidak mengira akan seburuk itu. Rasanya hanya pahit! Setiap masakannya terasa pahit tapi aku tidak bilang karena takut menyakiti perasaannya. Ah, tapi itu hal bodoh karena akhirnya Anika menyicipi dan langsung muntah. Lalu dengan segera, dia menyingkirkan semua makanan yang dia masak.

Kami berakhir dengan makan di restoran. Atau aku yang memasak, sekalipun aku hanya bisa masak yang sederhana saja. Itulah hari-hari selanjutnya hidup kami. Anika tidak memasak lagi!

Aku mengambil garpu dan menyuapkan pasta ke dalam mulutku. Tentu saja aku ragu, takut kalau penampilan bisa menipu. Tapi demi Anika yang sudah mau memasak, apapun rasanya aku tidak akan merubah raut wajahku dan memuntahkan apapun.

Sedetik kemudian wajahku berubah. Tidak mungkin aku tidak merubah raut wajahku. Aku menatap Anika tidak percaya!

"Tidak enak ya?" tanyanya takut-takut balas menatapku.

"INI ENAK! Ini enak banget! Aku yakin Nicky pasti suka dengan pasta ini! Rasanya seperti pasta yang kami makan saat kami ke restoran favorit Nicky! Ya ampun, ini enak banget!" Pujiku jujur.

"Syukurlah...." Aku bisa mendengar hembusan nafas leganya.

Ya... Aku tahu dia pasti lega dan tentunya senang. Senyumnya saja sudah terkembang sempurna di wajahnya. Dia memang tidak pandai menyembunyikan perasaannya.

Anika sudah bisa memasak. Dan dia memasak untukku... Sungguh, rasanya bahagia sekali. Hanya pasta, tapi aku merasa ini lebih dari cukup! Makan malam ini terasa lengkap dengan hanya kehadirannya di meja makan ini. Meja makan kami... Seperti saat dulu kami makan bersama di sini. Menikmati obrolan demi obrolan. Melahap sesuap demi sesuap.

Sayangnya, yang ada sekarang berbeda.

"Kamu makan juga..." kataku tanpa melepas mataku darinya. Anika mengangguk, dan dalam diam kami menghabiskan makanan kami.

See? Kami lebih mirip orang asing yang sedang makan bersama.

I Love Her 3 : NicholasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang